NovelToon NovelToon
Rahim Untuk Balas Budi

Rahim Untuk Balas Budi

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Pengganti / Romansa
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: Mommy Sea

Satu janji, satu rahim, dan sebuah pengorbanan yang tak pernah ia bayangkan.
Nayara menjadi ibu pengganti demi menyelamatkan nyawa adiknya—tapi hati dan perasaan tak bisa diatur.
Semakin bayi itu tumbuh, semakin rumit rahasia, cinta terlarang, dan utang budi yang harus dibayar.
Siapa yang benar-benar menang, ketika janji itu menuntut segalanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Sea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 27 — Ketegangan di Balik Senyum

Langit malam sudah berubah lebih gelap ketika para pengurus panti mengumpulkan berkas untuk ditunjukkan kepada Rendra dan Karina. Lampu ruang tamu menyala terang, memantulkan bayangan halus di dinding. Di luar, suara rintik hujan terdengar samar, menambah kesan sunyi yang menusuk.

Nayara berdiri di ambang pintu dapur, memegang segelas teh panas yang baru saja ia buatkan untuk para tamu. Tangannya bergetar ringan, hampir tidak terlihat… kecuali oleh Nadim yang berdiri tepat di sampingnya.

“Kak… kalau kamu nggak kuat, biar aku aja yang nganter,” ucap Nadim pelan.

Nayara menggeleng kaku. “Nggak. Aku staff. Aku harus tetap kerja.”

“Tapi itu Rendra,” Nadim menahan suara, menekan setiap kata. “Kamu mau pingsan di depan dia?”

Nayara menarik napas panjang sampai dadanya terasa panas. “Aku cuma nganter teh, Dim. Bukan ngobrol sama dia.”

Nadim memijat batang hidungnya, mendesah pasrah. “Kalau gitu… aku ikut di belakang. Biar kalau ada apa-apa—”

“Aku nggak mau kamu kelihatan panik,” potong Nayara. “Nanti justru makin curiga.”

Nadim terdiam, tapi ia tetap mengikuti kakaknya sampai ambang pintu koridor.

Nayara melangkah pelan, berusaha menormalkan napasnya. Setiap langkah seperti menarik benang kenangan dari sepuluh tahun lalu—sakit, tegang, dan tidak tuntas.

Ia tahu ia tidak boleh muncul terlalu dekat dengan Rendra. Tapi Bu Lilis memintanya langsung yang mengantar teh malam ini, “karena Nayara yang tangannya paling halus dan penyajiannya paling rapi.”

Ironi yang menyiksa.

Di ruang tamu, suasananya terasa hangat tapi penuh sesuatu yang tidak terlihat. Karina duduk tegap di sofa, merapikan rok sambil sesekali memandang ke arah pintu. Rendra duduk di sampingnya, tapi tubuhnya sedikit condong ke depan, seperti ada sesuatu di pikirannya yang sulit diabaikan.

Aruna duduk di kursi kecil sebelah ayahnya, memainkan ujung dress-nya. Sesekali ia menatap pintu dengan harapan Aru muncul lagi, tapi bocah itu sudah dibawa Nadim masuk ke kamar.

Rendra melirik jam tangan. “Seharusnya kita bantu cek area luar juga, besok tidak perlu bolak-balik.”

Karina mengangguk sopan, tapi matanya tidak pernah benar-benar lepas dari arah pintu koridor.

Untuk alasan yang bahkan ia sendiri tidak pahami, ada rasa tidak nyaman sejak tadi menusuk dadanya. Bukan tentang panti, bukan tentang donasi… tapi tentang anak itu.

Aru.

Wajah kecil polos itu terasa seperti wajah yang pernah ia lihat… atau pernah ia dengar. Tapi di mana? Kapan? Ia tidak bisa mengingat. Dan itu membuat hatinya gelisah.

Pintu koridor akhirnya terbuka.

Nayara masuk.

Langkahnya pelan dan terukur. Kepala sedikit menunduk. Ia menjaga jarak pandang agar tidak melihat langsung pada siapapun di ruangan itu.

Ia hanya berkata pelan, sopan, dan rapi:

“Permisi, Pak, Bu. Ini tehnya.”

Suara itu lembut. Terlalu lembut bagi Rendra.

Rendra mendongak spontan.

Dan Nayara berhenti bernapas.

Untuk sepersekian detik — hanya sepersekian detik — mata mereka bertemu.

Waktu serasa berhenti.

Tidak ada suara hujan.

Tidak ada suara anak-anak.

Tidak ada gerakan lain.

Dunia Ciut.

Menjadi hanya dua pasang mata yang saling menubruk tanpa diduga.

Mata Nayara membesar sebelum ia buru-buru menunduk. Sedangkan Rendra… wajahnya menegang. Tidak percaya. Bingung. Berusaha mengingat.

Karina langsung meraih tangan suaminya.

“Ren? Kenapa?”

Rendra tidak menjawab. Karena ia pun tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya.

Wanita itu…

Suaranya…

Gerakannya…

Tatapannya yang ia tangkap sekilas…

Semua terasa familiar, tapi terlalu cepat menghilang.

Nayara buru-buru meletakkan nampan di meja. Ia memastikan suara gelas tidak bergetar meski tangannya hampir kehilangan kendali.

“Saya permisi.”

Ia ingin pergi secepat mungkin sebelum siapa pun memperhatikan sempat goyahnya bahunya. Tapi sebelum ia melangkah, suara Karina menghentikannya.

“Ibu… Nayara, ya?”

Langkah Nayara membeku.

Suara itu menusuk tepat di tengkuknya.

Perlahan ia menoleh, menampilkan senyum rapi yang sangat profesional.

“Ya, Bu. Betul.”

Karina menilai dari kepala sampai kaki. Ada sesuatu dari wajah wanita ini… sesuatu yang tidak ia kenali tapi sekaligus membuat hatinya terasa tidak nyaman.

Mungkin karena mata wanita ini… merah seolah habis menangis. Mungkin karena cara ia berdiri… seperti menahan sesuatu yang berat. Atau mungkin… karena firasat seorang ibu yang tidak ingin sesuatu menggoyahkan keluarganya.

“Berapa lama kamu bekerja di sini?” tanya Karina.

“Sekitar… delapan tahun, Bu.”

Rendra menoleh cepat, hampir refleks.

Delapan tahun.

Aru usia sepuluh.

Dua angka itu bertemu di kepalanya, menimbulkan getaran halus di dada.

Karina tidak sadar tatapan suaminya berubah; ia masih fokus mengamati Nayara. “Aru itu anak yang sopan dan pintar. Itu pasti karena ibunya membesarkannya dengan baik.”

Nayara menelan ludah pelan. “Terima kasih, Bu.”

“Dia mirip seseorang,” gumam Karina sambil memiringkan kepala. “Aku tidak tahu siapa.”

Nayara terpaku.

Rendra langsung mengalihkan pandangannya.

Karina tersenyum, tapi matanya menusuk.

“Kalau boleh tahu… ayah anak itu di mana?”

Ruangan langsung membeku.

Rendra menegakkan punggung.

Aruna berhenti menggoyangkan kakinya.

Nayara hampir kehilangan suaranya.

Bu Lilis tersenyum canggung, mencoba menengahi. “Ah, Bu Karina… soal itu—”

Tatapan Rendra tiba-tiba jatuh ke berkas di meja. Ia berusaha terlihat acuh, padahal telinganya menangkap setiap huruf dari percakapan itu. Dan jantungnya… entah kenapa berdetak lebih keras.

Nayara menunduk pelan.

“Saya membesarkan Aru sendiri, Bu.”

Satu kalimat sederhana — tapi bagi Nayara, itu seperti membuka pintu neraka.

Karina menatapnya lebih lama. Ada rasa iba… tapi juga sesuatu yang lain. Sesuatu yang seperti… penilaian. Kecurigaan samar.

“Aku paham. Berat sekali pasti,” ujar Karina pelan.

Nayara hanya mengangguk.

“Kalau begitu,” lanjut Karina, “suatu saat aku ingin bicara lebih panjang denganmu. Tentang Aru.”

Nayara membeku.

Rendra menoleh sekilas, kaget. Aruna mengangkat wajah, penasaran. Bu Lilis tampak antara senang dan khawatir.

Karina tersenyum lembut…

tapi ada sesuatu di balik senyum itu yang menusuk.

“Aru anak yang menarik,” katanya lagi. “Aku ingin tahu lebih banyak tentang latar belakangnya.”

Nayara hampir tidak bisa bernapas. Ia menunduk dalam-dalam, menyembunyikan keguncangan yang hampir merobek wajahnya.

Sebelum ia sempat menjawab, Bu Lilis memanggilnya dari pintu dapur.

“Nayara, sini sebentar,” panggilnya.

Nayara langsung menunduk hormat pada para tamu. “Permisi.”

Ia pergi secepat mungkin tanpa menoleh lagi.

Sementara itu, Rendra mengikuti gerakannya dengan ekor mata. Satu hal mengganggu pikirannya, lebih kuat dari sebelumnya:

Suara wanita itu…

Pernah ia dengar.

Di dapur, Nayara langsung memegang meja agar tidak jatuh. Nafasnya tersengal, dadanya terasa penuh.

Nadim menekuk alis. “Kak? Kak! Duduk dulu!”

Nayara menggeleng lemah. “Karina… tanya tentang Aru… tentang ayahnya…”

Nadim mengepalkan rahang. “Sial.”

Nayara menutup wajah dengan kedua tangan. “Dia bilang mau bicara lebih jauh tentang Aru. Dia curiga, Dim… aku lihat cara dia menatap aku.”

Nadim menarik kursi, memaksanya duduk. “Tenang dulu. Karina itu cuma ibu-ibu penasaran. Banyak kok yang begitu.”

“Enggak, Dim…” suara Nayara pecah. “Firasatku bilang… dia merasakan sesuatu.”

Nadim menelan ludah, tidak bisa menyangkal.

Karena ia merasakan hal yang sama sejak pertama melihat cara Karina memandang Aru.

“Aku takut,” Nayara berbisik.

Nadim menggenggam tangan kakaknya.

“Aku tahu. Tapi kita belum kalah. Kita masih punya waktu.”

Nayara menggeleng pelan, air matanya pecah.

“Waktu kita tinggal sedikit, Dim…”

Dan untuk pertama kalinya—

Nadim tidak membantah.

1
strawberry
Karina takut Rendra berpaling darinya karena Aru mirip Rendra, Nayara takut Aru diambil Rendra dan takut akan perasaannya. Rendra takut perasaannya jatuh hati pada Nayara dan pada Aru yg mirip dengannya.
Mommy Sea: pada takut semua mereka
total 1 replies
strawberry
Dalam rahim ibu kita...
Titiez Larasaty
ikatan batin anak kembar dan ayah
strawberry
mulai ada rasa cemburu...
Titiez Larasaty
semoga rendra gak tega ambil aru dia cm mengobati rasa penasaran selama ini kasihan nayara harus semenyakitkan seperti itukah balas budi😓😓😓
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
Muhammad Fatih
Bikin nangis dan senyum sekaligus.
blue lock
Kagum banget! 😍
SakiDino🍡😚.BTS ♡
Romantisnya bikin baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!