Bagi Heskala Regantara, kehidupannya di tahun 2036 hanya soal kerja, tanggung jawab, dan sepi. Ia sudah terlalu lama berhenti mencari kebahagiaan.
Sampai seorang karyawan baru datang ke perusahaannya — Aysha Putri, perempuan dengan senyum yang begitu tipis dan mata yang anehnya terasa akrab.
Ia tak tahu bahwa gadis itu pernah menjadi bagian kecil dari masa lalunya… dan bagian besar dari hidupnya yang hilang.
Lalu, saat kebenaran mulai terungkap, Heskal menyadari ...
... kadang cinta paling manis lahir dari kesalahan yang paling tak termaafkan.
•••
"The Sweetest Mistake"
by Polaroid Usang
Spin Of "Gairah My Step Brother"
•••
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Polaroid Usang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 12
•••
FLASHBACK
Tahun 2025
BRAK!
BRAK!
BRAK!
"ZELINE! KELUAR KAMU! KELUAAAR!!!"
BRAKK!
Suara nafas yang berderu cepat teredam oleh dobrakan yang tak kunjung berhenti dari pintu. Disudut kamar kecil itu, Zeline meringkuk dengan tubuh gemetar. Tangannya memegang bahunya yang terasa begitu nyeri, pasti tak lama lagi akan menjadi lebab baru disana.
"ZELINEEEEE!!!!"
Anak itu menutup telinga, mulai terisak mendengar teriakan nyaring yang tak terkontrol itu.
"Aku laporin kamu ke Papi kamu! Jangan harap bisa keluar rumah!"
BRAK!!
Suara itu berhenti.
Hening—hanya terdengar isakan kecil yang tertahan. Zeline masih meringkuk di sudut kamar, bahunya bergetar.
Perlahan, ia bangkit. Membuka pintu kamarnya sedikit untuk melihat situasi. Saat tak melihat pengasuhnya, perlahan Zeline keluar, berjalan pelan menuju kamar utama yang ditempati pengasuhnya itu.
Pecahan-pecahan make-up yang tadi tak sengaja terjatuh dari meja pengasuhnya masih bertebaran di sekitarnya, membentuk warna merah muda, foundation, dan kaca retak yang mencerminkan wajah kecilnya sendiri—pucat, penuh ketakutan.
Zeline menahan napas saat langkah kaki terdengar mendekat. Terdengar derit pintu terbuka.
"LIAAATT! BARANG AKU HANCUR SEMUA!!!"
Tangan kasar itu menarik rambut Zeline, membuat tubuh mungil itu terhuyung. Seakan masih belum puas telah memukul anak itu sejak tadi.
"A–aku nggak sengaja…" Suaranya parau, nyaris tak terdengar. Zeline berusaha menahan tangan pengasuhnya di rambutnya.
"NGGAK SENGAJA KATAMU?!"
Tamparan keras mendarat di pipinya. Seketika, rasa perih menyengat menjalar ke seluruh wajah Zeline
Zeline berusaha menahan tangis, tapi air matanya tetap jatuh, bercampur dengan darah di sudut bibirnya.
"NGGAK SENGAJA?! KAMU UDAH MULAI BERANI MASUK KAMAR AKU DAN HANCURIN BARANG AKU!! NGGAK SENGAJA ITU NAMANYA?!"
Pengasuh itu mendorongnya ke lantai, menendang barang-barang di sekitar dengan amarah membabi buta.
"Aku laporin kamu sekarang juga! Biar Papi kamu tahu anaknya cuma pembuat masalah!"
Pintu dibanting keras.
Sunyi kembali.
Zeline terisak. Tubuhnya sakit, tapi yang paling menyakitkan adalah perasaan bahwa tak ada seorang pun yang akan menolongnya.
Perlahan, tangannya memungut barang-barang yang berserakan, meletakkannya di meja. Dia berjalan lunglai keluar dari kamar pengasuhnya, berniat mengambil sapu dan kain pel.
Jika ia tak segera membersihkannya, pengasuhnya itu pasti akan memukulnya lagi.
Hingga tanpa sengaja, matanya menangkap handphone yang dibelikan oleh Heskal tergeletak dikolong kasur kamarnya —sengaja ia sembunyikan disana.
'Kalau sedih, nggak papa bilang sedih.'
'Lo hebat, Cil! Keren!'
'Nanti kalau lo butuh bantuan, atau cuma sekedar mau main, jangan ragu telpon gue ya, Cil!'
Air matanya jatuh satu per satu. Zeline memasuki kamarnya, membuka handphone-nya dan mencari kontak Kak Heskal.
Ia menekan tombol panggil.
...
"Zeline?" Suara di seberang terdengar agak serak, tapi lembut.
Zeline langsung menangis, suaranya pecah di antara isak.
"K–kak… tolong aku… aku takut…"
"Cil? Lo kenapa? Dimana? Lo dijahatin nenek lampir lagi?" Suara itu berubah panik, terdengar langkah terburu-buru dari seberang.
Zeline terisak makin keras. "Dia marah... Kak, dia mukul aku... aku nggak bisa keluar rumah… Dia pergi dan kunci pintu, didepan juga ada satpam. Aku nggak bisa kabur. Ng-nggak lama lagi dia balik, a-aku pasti bakal dikurung dan nggak dikasih makan..."
"Denger, Cil," nada Heskal berubah tegas tapi tetap hangat. "Tenang dulu okay, minum air putih dulu, kalau nangis terus nanti dada lo sesek. Lo kirimin alamat rumah lo, gue otw sekarang juga. Kita pergi dari sana."
"Tapi Kak… kalau ketahuan aku—"
"Zeline." Nada itu membuat Zeline diam.
"Lo... Udah hebat banget bisa bertahan sejauh ini. Sekarang jangan pikirin apapun lagi. Gue bakal bawa lo pergi dari sana. Gue bakal jagain lo."
Air matanya pecah lagi—bukan karena takut, tapi karena untuk pertama kalinya... seseorang bilang akan menjaganya.
...
Hujan turun pelan malam itu, dan di sela gemuruh petir, Zeline melihat lampu mobil berhenti di depan rumahnya. Dia tahu, Kak Heskal-nya pasti benar-benar datang.
•••
Flashback off
•••
Tahun 2036
Hujan turun deras malam itu. Cahaya petir sesekali menyambar, menembus tirai jendela kamar dengan cahaya putih yang menyilaukan.
Aysha tersentak. Nafasnya memburu sesaat, dada terasa sesak tanpa alasan yang jelas. Hujan selalu membawa bayangan masa lalu—teriakan, rasa takut, dan suara pintu yang digedor.
Ia menatap ke sisi ranjang, memastikan Shala masih terlelap dengan pelukan boneka kelincinya. Namun ranjang di sebelahnya kosong.
"Noa?" Panggilnya pelan.
Tak ada sahutan.
Aysha beranjak, menuruni anak tangga menuju ruang tamu yang remang.
Lampu kecil di pojok ruangan masih menyala, dan di sana—Noa duduk bersila di sofa, menatap jendela yang dipenuhi titik-titik air.
"Sayang, kenapa belum tidur?" Suara Aysha lembut, tapi ada nada khawatir di ujungnya.
Anak itu menoleh, lalu tersenyum kecil. "Aku kaget, Mi. Tadi petilnya kelas banget."
Ia menatap kembali ke luar jendela. "Tapi cahayanya kelen, aku suka."
Aysha tersenyum tipis, duduk di sampingnya dan memeluk tubuh kecil itu dengan gemas. Noa terkekeh kecil.
Hening sejenak. Hanya suara hujan yang menemani mereka. Lalu, tiba-tiba Noa menatap wajah ibunya dengan polos.
"Mimia…"
"Hm?" Tangan Aysha terangkat mengelus rambut Noa yang berantakan.
"Kenapa Om Heskal manggil Mimia 'Aysha'? Kenapa bukan 'Zeline'?"
Dada Aysha sontak menegang. Senyum di bibirnya perlahan memudar. Pertanyaan itu sederhana—tapi seperti anak panah yang tepat menembus luka lama yang belum sempat benar-benar sembuh.
Dia menatap wajah kecil itu dengan perasaan campur aduk. Wajah yang benar-benar duplikat ayahnya, Heskala Regantara.
Aysha——Zeline, dia menarik napas pelan. "Karena... Mimia pakai nama Aysha sebagai nama kerja Mimia." Jelas Zeline pelan.
Noa mengerutkan dahi, bingung. "Kenapa?"
Zeline menggigit bibir dalamnya, berusaha tersenyum, "Nggak papa, Noa."
"Karna Mimia nggak punya suami, ya? Karna Noa ama Shala nggak punya ayah?"
Sebelum genangan air matanya luruh, Zeline menarik Noa kedalam pelukannya. Memeluk tubuh kecil itu untuk saling menguatkan.
"Maafin, Mimia, ya Noa?"
Noa hanya diam, memeluk Mimia-nya. Melihat mata Mimia-nya berkaca-kaca Tangan kecilnya perlahan bergerak menepuk punggung Mimia-nya.
"Hujannya masih lama, Mi?"
Ibu muda itu segera menghapus air matanya, menahan rasa sesak di dadanya. Tau bahwa Noa sengaja mengalihkan pembicaraan, menyesal telah membuat Mimia-nya sedih. Noa itu ... Selalu lebih dewasa dari anak-anak seusianya.
"Kayaknya iya."
Zeline menatap jendela lagi. Petir menyambar, membuat pantulan cahaya menari di bola matanya.
Dan dalam hening itu—di antara suara hujan dan detak jantung yang berlari cepat—Zeline melihat sesuatu. Entah firasat, atau sekadar ilusi.
Saat cahaya petir kembali datang sepersekian detik, siluet laki-laki di halaman rumahnya kembali terlihat. Tinggi, tegap, memegang payung yang tak benar-benar bisa melindungi tubuh besar itu dari derasnya hujan.
"Kak Heskal?"
•••
Kayak bisa banget jabarin perasaan tokohnya, bikin kita bener2 ngerasain apa yang tokoh rasain😭😭😭
penulisannya juga rapi, tanda bacanya rapi, enak bgt dibacaaa!!
love bgt pokoknyaaa🥰🥰
DEGDEGANNN