Yun Sia, gadis yatim piatu di kota modern, hidup mandiri sebagai juru masak sekaligus penyanyi di sebuah kafe. Hidupnya keras, tapi ia selalu ceria, ceplas-ceplos, dan sedikit barbar. Namun suatu malam, kehidupannya berakhir konyol: ia terpeleset oleh kulit pisang di belakang dapur.
Alih-alih menuju akhirat, ia justru terbangun di dunia fantasi kuno—di tubuh seorang gadis muda yang bernama Yun Sia juga. Gadis itu adalah putri kedua Kekaisaran Long yang dibuang sejak bayi dan dianggap telah meninggal. Identitas agung itu tidak ia ketahui; ia hanya merasa dirinya rakyat biasa yang hidup sebatang kara.
Dalam perjalanan mencari makan, Yun Sia tanpa sengaja menolong seorang pemuda yang ternyata adalah Kaisar Muda dari Kekaisaran Wang, terkenal dingin, tak berperasaan, dan membenci sentuhan. Namun sikap barbar, jujur, dan polos Yun Sia justru membuat sang Kaisar jatuh cinta dan bertekad mengejar gadis yang bahkan tidak tahu siapa dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29 — Tawa yang Kembali Bernapas
Pagi berikutnya datang tanpa membawa kabut. Langit pagi di atas Istana Lang terhampar biru tipis, seolah alam ikut menarik napas lega setelah satu malam yang penuh darah dan kebenaran.
Matahari menembus kisi jendela paviliun timur dan jatuh tepat ke wajah Yun Sia yang masih tertidur pulas, rambutnya berantakan seperti biasa, satu tangan menggenggam ujung selimut, kaki satunya keluar tak sopan dari ranjang.
Pemandangan itu… kembali hidup.
Tidak ada lagi ketegangan dingin.
Tidak ada bayangan gelap.
Yang tersisa hanya… gadis hutan yang berhasil pulang.
A-yang berdiri di depan pintu kamar, belum masuk. Ia hanya bersandar pelan, menyilangkan tangan, memperhatikan melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Mochen berdiri dua langkah darinya dengan wajah datar. Liyan di sisi lain, menguap tanpa menutup mulut.
“Dia tidur seperti tidak pernah mengadili puluhan orang kemarin,” gumam Liyan.
Mochen menjawab datar, “Karena bagi Putri… itu hanya hari lain untuk bertahan hidup.”
A-yang tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap wajah Yun Sia yang mengernyit kecil, menggumam sesuatu dalam mimpinya, lalu berguling dan hampir jatuh dari ranjang.
Refleks A-yang bergerak masuk.
Ia menangkap pundaknya.
Yun Sia mengerang kecil. “Hmm… kelinciku… jangan rebut jamurku…”
A-yang menahan senyum. “Bangun,” ucapnya lembut.
Yun Sia perlahan membuka satu mata. “…Ay…”
Mata satunya menyusul. “…yang?”
Wajah itu langsung cerah.
Ia langsung duduk.
“Kamu masih di sini?!”
A-yang menghela napas pelan.
“Aku belum lari.”
Yun Sia tersenyum lebar, lalu tanpa peringatan menarik lengannya dan bersandar ke bahunya.
A-yang membeku.
Liyan tersedak udara.
Mochen mengalihkan wajah.
“Wah, pagi yang indah,” gumam Liyan.
Yun Sia menguap besar lalu mengucek mata.
“Aku kira semua ini mimpi,” katanya sambil menempelkan pipinya ke bahu A-yang. “Aku takut bangun dan kembali sendirian di hutan…”
A-yang menepuk kepalanya pelan.
“Kau tidak sendiri sekarang.”
Yun Sia tersenyum lebih dalam.
“Makanya… aku mau lari keluar.”
A-yang mengerutkan kening.
“Keluar ke mana.”
Yun Sia menoleh cepat.
“Ke dapur.”
Mochen menoleh.
“Yang Mulia Putri—”
Yun Sia berdiri dari ranjang dan menunjuknya. “Kau!”
Mochen berdiri lebih tegak. “Ya.”
“Bantu aku.” ujar Yun Sia
Mochen mengangguk.
Liyan memiringkan kepala.
“Mulai terasa tidak adil.”
A-yang memijat pelipis.
“Kenapa dapur.”
Yun Sia mengaitkan jarinya ke lengan A-yang.
“Karena aku kangen bau bawang.”
A-yang terdiam. “…Itu alasan terbodoh sekaligus paling jujur yang pernah kudengar.”
Yun Sia tertawa dan menariknya. “Cepat. Aku mau masak.”
Sekitar satu jam kemudian…seluruh istana gempar, bukan karena pengkhianatan, bukan karena sidang dan bukan karena darah tapi karena… aroma wajan.
Dapur kerajaan sekarang penuh dengan pengawal yang berdiri kaku, pelayan yang mengintip, kasim yang bingung, dan satu kaisar dari negeri lain yang berdiri mematung memegang… pisau dapur.
A-yang.
Ia menatap potongan daun dan daging di papan seperti sedang berada di medan perang.
“Ini… bagian mana,” tanyanya.
Yun Sia mengamati potongan itu.
“Kepala bawang.”
A-yang mengernyit.
“Kenapa dipotong.”
“Supaya sedap.”
“…Kenapa supaya sedap adalah jawaban semua hal di dapur.”
Yun Sia tertawa dan mengambil pisau dari tangannya.
“Kamu lucu kalau bingung.”
Liyan di belakang mereka mengangkat tangan.
“Aku keberatan secara moral, Yang Mulia.”
Yun Sia menoleh.
“Apa.”
“Kenapa dia yang kamu ajari duluan.” jawab Liyan sembari menunjuk Mochen
Mochen mendengus. “Karena kau tidak bisa diandalkan.”
Liyan mencibir. “Aku lebih berguna dari kamu dalam peperangan.”
Yun Sia menepuk meja. “Aku tidak memasak peperangan!”
Semua terdiam sesaat.
Lalu tertawa.
A-yang bahkan tersenyum kecil.
Yun Sia berdiri di tengah dapur dengan celemek kuning kecil yang entah dari mana muncul, rambutnya diikat asal, wajahnya penuh semangat.
“Baik,” katanya. “Hari ini, kita makan bukan sebagai kaisar, bukan sebagai pengawal. Tapi sebagai…”
Ia berpikir. “…keluarga hutan.”
Liyan berkedip. “Keluarga apa?”
Yun Sia melambaikan tangan. “Keluarga yang tidak tahu aturan sopan.”
Mochen meluruskan pundak. “Aku bisa tidak ikut.”
Yun Sia menunjuknya.“Kamu ikut.”
Pagi itu…
Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun…
Istana Lang mendengar:
suara wajan,
tawa keras,
bumbu jatuh,
A-yang memotong bawang sambil menahan air mata,
Mochen kena percikan minyak,
dan Liyan… makan sambil dikencingi ayam.
Ya.
Ayam.
Yun Sia tiba-tiba masuk membawa ayam putih yang entah dari mana.
A-yang tertegun.
“…Itu apa.”
“Namanya Bumi.”
“…Kenapa ayam.”
“Dia mengikutiku dari luar paviliun.”
Liyan menyeringai.
“Dia memilih keluarga yang tepat.”
Ayam itu langsung melompat ke meja.
Dan tanpa rasa malu…
mengencingi dekat piring Liyan.
“HEI!”
Yun Sia menjerit.
“BUMI! TIDAK SOPAN!”
Ayam itu berkoak seperti menang.
Mochen menepuk bahu Liyan.
“Kau sudah dipilih.”
A-yang tertawa.
Tanpa sadar.
Yun Sia terdiam memandangnya.
Ia jarang sekali melihat A-yang tertawa seperti itu.
Bukan senyum tipis.
Tapi benar-benar… tertawa.
Dan tanpa sadar…
ia mendekat.
Dan berkata pelan.
“Kamu terlihat hidup kalau tertawa.”
A-yang berhenti.
Menatapnya.
Dan berkata jujur.
“Karena bersamamu… aku lupa siapa aku.”
Yun Sia mengangkat bahu.
“Itu bagus.”
“Kenapa.”
“Karena yang kamu lupakan… adalah kaisar.”
A-yang tersenyum.
“Dan yang tersisa?”
Yun Sia mendekat lebih dekat.
Dengan wajah nakal.
“Orang biasa yang jatuh cinta.”
Dapur langsung diam.
Mochen mengedipkan mata.
Liyan dramatis memegang dada. “Oh, tidak. Dunia akan runtuh.”
A-yang terdiam lalu tertawa lirih. “Sejak kapan kau tahu kata itu.”
Yun Sia berpura-pura berpikir. “Sejak aku tahu… aku tidak mau kamu pergi.”
A-yang meraih tangannya.
Lembut.
“Dan aku… tidak mau kamu hilang.”
Ayam itu kembali berkoak.
Seolah ikut berkat.
...****************...
Siang harinya, Yun Sia diajak berjalan-jalan oleh Kaisar Lang dan Permaisuri.
Tapi ia menyeret A-yang ikut.
“Kami mau lihat taman.”
A-yang melihat Kaisar Lang.
Kaisar Lang hanya tersenyum
Yun Sia memeluk Permaisuri tanpa ragu dan berkata ceria.
“Ibu!”
Permaisuri terdiam.
Air mata langsung jatuh.
Dan ia mengelus rambut Yun Sia.
“Iya…”
A-yang berdiri sedikit di belakang.
Mengamati.
Hatinya… terasa hangat.
Terlalu hangat untuk ditinggalkan.
Di taman, Yun Sia kembali menjadi gadis hutan.
Ia menaiki batu.
Memetik bunga.
Menarik tangan A-yang.
“Mari ayunan!”
A-yang menatap ayunan kayu di sudut taman istana.
“…Aku Kaisar.”
Yun Sia mengangkat alis.
“Dan aku putri” Ia menariknya dan A-yang… menyerah.
Mereka duduk berdua. Ayunan bergerak.
Pelan.
Yun Sia bersandar.
“Kalau dunia tidak sekejam ini,” gumamnya, “mungkin aku hanya akan jadi gadis yang memasak jamur.”
A-yang memandangnya.
“Dan aku akan jadi lelaki yang makan jamur setiap hari.”
Yun Sia menoleh.
“Dan tidak bosen?”
A-yang mendekatkan dahi ke dahinya.
“Kalau yang memasaknya kamu?”
Yun Sia tersenyum.
“Tidak.”
“Kenapa.”
“Karena aku akan buat yang berbeda setiap hari…”
Ia berbisik.
“…supaya kamu selalu menunggu besok.”
A-yang terdiam.
Tangannya merapat ke jari Yun Sia.
Dan berkata dengan suara rendah.
“Kalau begitu… aku tidak akan pernah ingin mati.”
Yun Sia menatapnya.
Dan kali ini…
ia tidak bercanda.
“Aku juga.”
Angin bergerak.
Ayunan berderit.
Dan di kejauhan…
para pelayan mengintip dengan iri.
Beberapa menghela napas.
Beberapa tersenyum.
Beberapa berkata,
“Putri kita sudah kembali.”
Dan malam hari…
Saat lentera menyala…
Yun Sia merebahkan kepala di bahu A-yang sambil memandangi ayam yang tertidur di pangkuan Liyan.
Dan berkata sambil tertawa,
“Aku pikir… aku akan menculik kamu selamanya.”
A-yang menjawab tanpa ragu.
“Aku akan ikut.”
Mochen mengerang pelan.
“Kenapa aku tidak dikirim ke perbatasan saja.”
Bersambung.