"Kehilangan terbesar adalah kehilangan yang terjadi lagi setelah kehilangan yang sebelumnya. Karena itu menandakan kita selalu kehilangan lagi, lagi dan lagi."
Season : I ....
જ⁀➴୨ৎ જ⁀➴
“Kamu udah nyerah satu tahun yang lalu!” gertak Ernest.
“Itu dulu, sekarang beda!” Kakiku pun mengetuk lantai, dan kami berdiri saling berhadapan.
“Terserah! Aku enggak mau harga diriku kamu injak-injak!”
“Kamu masih sayang sama aku kan, Ernest?”
Dia enggak berkedip sedikitpun. “Tandatangani aja suratnya, Lavinia!!!”
“Gimana kalau kita buat kesepakatan?”
“Enggak ada kesepakatan. Tandatangani!!”
“Mama kasih aku dua bulan di sini. Aku janji, dua bulan lagi ... apa pun yang terjadi ... mau ingatan aku pulih atau enggak ... kalau kamu masih pingin cerai, aku bakal tandatangani! Tapi please ba—”
“Udah, lah!! Aku jemput kamu jam sembilan, Sabtu pagi!” dengusnya sambil membanting pintu.
Aku ambil surat cerai itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Aku enggak akan tanda tangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I. Kelas Melukis
...୨ৎ L A V I N I A જ⁀➴...
Kita sedang di tengah sesi kedua.
Waktu ada ibu-ibu dengan name tag bertuliskan “Lusianah”, dia menyeretku ke kursi kosong di sebelahnya.
“Kamu manis banget, udah ngelakuin itu buat dia. Aku udah dengar gosipnya, kamu tahu kan si Hattie itu rajin banget nyebarin kabar di radio rumpi cucunya. Katanya kamu kehilangan ingatan, ya?”
Aku mengangguk. Rasanya aneh saja mengobrolkan hal ini dengan orang asing.
“Pantesan acara ini tiba-tiba vakum. Sekarang masuk akal.”
Aku memiringkan kepala. “Apa yang masuk akal?”
Lukisan Bu Lusianah hampir 'plek-ketiplek' sama punyanya instruktur, cuma dia menambahkan detail seperti cahaya di sekitar bulan dan serpihan hujannya enggak cuma titik-titik saja.
“Ibu seniman, ya?” tanyaku.
Dia tertawa. “Wah, kamu benaran lupa segalanya ya?”
Aku kerutkan dahi. “Jadi, dulu?”
Dia tertawa lagi sambil menaikkan kacamata hitamnya. “Kita dulu sering ngobrolin soal .…” Dia mengangguk ke arah Ernest.
“Kita sering ngobrolin?”
Dia bersandar sedikit lebih dekat. “Kamu suka banget menggambar. Itu alasan kamu mulai membuat acara-acara kayak gini. Supaya dia, Ernest ... mau gambar lagi. Kamu benaran gak ingat ya?”
Aku mencoba mencerna maksudnya. Kenapa juga aku harus capek-capek membuat acara gambar di panti jompo cuma agar membuat Ernest mau menggambar?
Kalau dia memang suka, ya tinggal menggambar saja di rumah, enggak usah ribet datang ke sini.
“Lavinia sayang, bisa anterin aku balik ke kamar?” pinta Bu Lusianah.
Ernest melihatku dari seberang ruangan. Dia mencoba bangun, tapi aku angkat tangan menyuruhnya duduk lagi.
“Minta tolong Irvy aja buat anterin Lusiii,” kata si Sudjiwo. “Anak itu juga males lihat barang-barang mewah kamu.”
Lusianah berdiri sambil ambil tongkat. “Tutup mulutmu, kakek cerewet.” Dia menunjuk dengan tongkatnya ke Sudjiwo.
Aku tahan tawa, dan Ernest geleng-geleng dari ujung ruangan.
Kita keluar bareng dari ruangan saat semua orang mulai mengeluh karena lukisan pohonnya gak mirip pohon dan gunungnya pun enggak punya puncak.
Bu Lusianah jalan dengan langkah pasti dan kita sampai ke kamarnya di ujung koridor. Si Sudjiwo benar, “mewah” itu kata yang cocok buat kamar dia.
Interiornya, semuanya terlihat mahal dan estetik. Tapi yang membuatku bengong itu dindingnya. Lukisan, gambar, pahatan, semuanya keren banget.
“Duduklah,” katanya sambil jalan ke kulkas.
Dia balik lagi bawa sebotol wine dan dua gelas kosong, sambil masih pakai tongkat.
“Eh, aku gak yakin boleh minum deh. Kayaknya mereka nungguin aku balik.”
“Suka-suka kamu.” Dia tuangkan wine ke gelasnya dan duduk di kursi goyang yang jelek banget dibandingkan sofanya. “Ini tempat duduknya si Pandji.” Dia usap sandaran tangan kursinya. “Dia meninggal tiga tahun lalu. Dia pernah bilang, ‘Lakuin apapun yang kamu mau, aku cuma minta kursi ini jangan dibuang.’ Jadi ya udah, ini satu-satunya tempat yang membuatku nyaman. Dia benar sih, buat menyelamatkan kursi ini dari tempat sampah.”
“Pantesan,” kataku.
Dia minum, terus menggeser botol wine ke arahku, seperti mengajak minum juga, kalau-kalau aku berubah pikiran.
“Karena di sini cuma ada kita berdua, aku mau cerita sesuatu.”
Aku bersandar sedikit. “Oke, jadi apa yang ibu mau ceritain?”
“Empat tahun lalu kamu datang ke Wisma Sentosa, ngaku cucunya Hattie. Semua staf langsung sayang sama kamu. Jadi waktu kamu bilang pingin ngajar melukis yang kamu adain dua kali sebulan, mereka langsung setuju.”
“Tapi ... Apa ada alasan lain?”
Waktu Hattie dan Joanna mendatangiku di Java Jamboree, aku sempat berpikir kalau Lavinia versi lama itu enggak sejahat yang aku pikirkan. Dia volunteer di Panti Jompo, masa, sih egois?
Tapi mungkin saja aku salah.
Bu Lusianah geleng-geleng dan minum lagi, membuatku makin penasaran. Rasanya ingin banget aku rebut itu gelas dari tangannya biar dia cepat-cepat cerita.
“Butuh waktu setahun sampai kamu cukup percaya buat cerita ke aku, Lavinia ... Suatu malam, si Ernest enggak datang, dan akhirnya kamu mau cerita semuanya. Kamu biasa puji-puji lukisan aku, tapi kita enggak pernah ngobrol benaran. Dan ya, Hattie sama Joanna itu emang agak posesif.”
Aku bisa mengerti.
“Sekarang juga si Hattie pasti lagi mikir, ‘Kok si Lavinia belum balik juga?’” Dia melirik ke pintu.
“Terus kenapa aku membuat acara gambar-gambar ini?”
Dia menatapku dalam-dalam. “Karena kamu ngelakuin itu buat dia.”
“Buat ... dia?”
“Ernest ... Kamu bilang dia suka banget menggambar. Tapi setelah menikah, dia mulai jarang menggambar. Kamu gak mau dia meninggalkan hal yang dia cintai. Jadi kamu membuat acara ini, biar minimal dua kali sebulan dia bisa menggambar lagi, meskipun kamu harus paksa dia, nyeret dia, teriak-teriakin dia.”
Aku langsung tuang wine dan teguk. “Serius?”
“Uh-huh.” Dia elus-elus lututku. “Waktu aku cerita ini ke mendiang Pandji, dia pegang tangan aku dan bilang, ‘Mereka berdua bakal langgeng.’”
Aku mengangguk.
Itu memang esensinya cinta, ingin melihat orang yang dicintainya bahagia, bahkan jika harus mengorbankan sesuatu untuk dirinya sendiri.
“Kenapa aku gak bilang langsung aja ke dia?” gumamku.
“Soalnya kamu ingin dia cinta sama kamu karena memang dia yang mau, bukan karena merasa kewajiban. Kamu kasih dia kebebasan, buat bakatnya juga. Kamu tahu kan, orang kreatif tuh gak suka diatur. Sampai-sampai dia enggak ngereken telepon dari partner aku.”
Aku berusaha mengingatnya, “Telepon yang mana?”
“Kita sempat ngirim beberapa lukisan kalian ke partner lama aku di Australia. Gila, lukisan kuda itu bagus banget, ya?”
“Dan Ernest gak pernah respon hal itu?” tanyaku.
Dia mengangguk pelan. “Enggak. Padahal dia berbakat banget. Aku, sih udah jauh dari dunia itu sekarang, tapi aku suka karyanya.” Dia tuang lagi wine ke gelasnya. “Sekarang kamu harus pergi. Enggak mau, kan, dimarahin Hattie.”
Dia mencolek kakiku pakai tongkatnya dan aku pun langsung loncat dari sofa. Saat mau keluar, aku malah balik badan, peluk dia. “Makasih.”
Dia tepuk-tepuk punggungku. “Sama-sama. Sekarang pergi sana!”
Aku keluar dari kamarnya, merasa lega. Dia enggak tahu kalau barusan dia sudah kasih aku hadiah besar. Aku tutup pintu dan menyempatkan diri mencerna lagi perkataannya.
Mungkin Lavinia yang dulu enggak seburuk itu. Dia jelas banget sayang sama Ernest. Saat aku lagi berpikir, tiba-tiba aku lihat Ernest berdiri di koridor. “Aku lagi mau nyusul kamu,” katanya.
“Maaf ya, udah kelamaan?” Kita ketemu di tengah koridor, tangannya langsung melingkar di pinggulku, menyandarkanku ke dinding.
“Aku pingin habis ini ... berduaan sama kamu.” Bibirnya menempel di bibirku, ciuman dia membuat napasku habis. “Ini baru appetizer, nanti malam lebih dari ini.” Dia kedipkan mata, tarik tanganku, dan ajak masuk ke ruangan. “Bu Lusianah bilang apa tadi?”
“Cuma pingin ketemu aja.” Aku benci harus bohong, tapi aku masih butuh waktu buat berpikir. Aku ingin tahu seberapa penting melukis itu buat Ernest.
“Mereka sayang banget sama kamu,” katanya.
Kita masuk ke ruang kegiatan, semua orang sudah mulai beres-beres, cuci kuas, dan simpan lukisan mereka di rak pengering.
“Aku capek banget. Makasih, Lavinia,” ucap Joanna memelukku.
Sudjiwo malah buang lukisannya ke tempat sampah. “Sialan. Kabari aku kalau ada model cewek telanjang.”
Aku ambil dan taruh di rak. Semua lukisan itu bagiku tetap saja seni.
Hattie peluk kita juga. “Jangan lupa kuenya, ya,” bisiknya.
Setelah berpamitan sama instruktur, Ernest masih berdiri di depan lukisannya. Aku jalan ke dia dan dia langsung merangkul pinggangku.
"Udah siap?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Kamu mungkin lupa, tapi ini momen spesial buat kita.”
Aku memperhatikannya, “Maksudnya apa?”
“Aku tuh enggak pernah gambar kayak yang lain. Aku gambar apa yang aku mau, dan kamu selalu suka kejutan.”
“Wah, aku gak sabar,” kataku.
Dia memutar kanvasnya, dan aku langsung bersandar ke pelukannya. Dia melukisku, aku dengan tangan yang menyentuh pipi sendiri, rambut panjang menutupi sebagian muka. Tapi senyumku ... senyum jatuh cinta.
“Aku suka,” kataku sambil kecup pipinya.
“Sip. Kita bawa pulang aja, ya.”
Kata pulang dari mulut dia, rasanya berbeda.
Setelah bereskan kuas dan berpamitan sama Irvy dan yang lain, kita mematikan lampu dan keluar dari Wisma Sentosa sambil bergandengan tangan.
“Kamu pernah nyesel gak sih, gak jadi kuliah design?” tanyaku.
Dia tarik napas. “Jangan mulai, deh. Kan, aku udah bilang, aku bahagia.”
“Tapi kan belum telat juga, kamu masih bisa ngejar, kok.”
Dia bukakan pintu mobil, kecup hidungku. “Aku suka sama kerjaan aku sekarang. Aku bahagia.”
Dia tutup pintu, duduk di belakang kemudi, dan taruh gambar itu di jok belakang.
“Cuma saran aja, kok,” kataku.
Dia menyalakan mobil. “Tapi jujur ya, aku udah lama banget enggak menggambar. Lebih dari setahun. Dan saat tadi aku mulai gambar lagi, hal pertama yang keluar dari pensil itu, adalah hal paling penting di hidupku sekarang ... kamu.”
“Tapi Ernest .…”
Dia menggeleng, memasukan gigi satu. “Jangan kebanyakan mikir, deh. Aku enggak pernah ngerasa jadi seniman. Buat aku ini cuma sekedar hobi.”
Dia keluarkan mobil dari parkiran, dan pembicaraan itu berakhir begitu saja, membuat hatiku enggak tenang.
Apa sebaiknya aku membuat acara seni ini diam-diam biar dia ingat lagi sama impiannya?
Ya ampun, jangan-jangan dulu aku meninggalkan dia cuma agar dia bisa mengejar karier di Australia?
Padahal sekarang hubungan kita sudah membaik, tapi aku tahu, aku enggak bakal meninggalkan dia tanpa alasan yang kuat.