 
                            Di kehidupan sebelumnya, Max dan ibunya dihukum pancung karena terjebak sekema jahat yang telah direncanakan oleh Putra Mahkota. Setelah kelahiran kembalinya di masa lalu, Max berencana untuk membalaskan dendam kepada Putra Mahkota sekaligus menjungkirbalikkan Kekaisaran Zenos yang telah membunuhnya.
Dihadapkan dengan probelema serta konflik baru dari kehidupan sebelumnya, mampukah Max mengubah masa depan kelam yang menunggunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wira Yudha Cs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13 TIBA DI UTARA
Max selesai melewati gurun tepat ketika matahari kembali terbenam. Kini mereka sudah memasuki hutan wilayah Utara. Bannesa sangat akrab dengan hutan ini. Hingga sesekali dia
menceritakan hal-hal menarik tentang hutan, seperti adanya berbagai tumbuhan langka dan binatang suci yang telah mencapai ranah dewa sebagai pelindung wilayah Utara.
Bannesa tidak menyebutkan secara spesifik, binatang apa itu. Namun, Max sedikit banyak sudah mengetahui tentang Wilayah Utara. Jadi dia dapat dengan mudah menyimpulkan mengenai binatang suci apa yang menjadi pelindung wilayah bebas rezim kekaisaran ini. Jika Max tidak salah menebak itu pastilah burung Vermilion yang sangat melegenda. Maka dari itu, keluarga bangsawan di wilayah ini sangat menghormati burung vermilion, hingga mereka menjadikannya sebagai
simbol kehidupan yang tentram dan damai.
"Jika kita sepanjang malam melanjutkan perjalanan, mungkin kita akan tiba di ibu kota Utara pada pagi hari. Bagaimana menurutmu, Paman. Apakah kita kan melanjutkan atau kita
berhenti untuk beristirahat?" tanya Bannesa yang saat ini duduk tepat di sebelah Max yang sedang fokus mengendarai kereta kudanya.
"Aku akan melanjutkan perjalanan di malam hari. Kau bisa kembali ke dalam untuk beristirahat." Max mengatakan hal itu tanpa menoleh menatap Bannesa.
Riana yang mendengar pembicaraan jtu dari dalam gerbong,
sedikit merasa khawatir karena Max terlalu memaksakan diri untuk segera tiba ke wilayah Utara. Wanita paruh baya itu pun segera angkat bicara.
"Max, lebih baik kita cari tempat dulu untuk beristirahat. Dari pagi hingga malam kamu bahkan tidak berhenti untuk mnengendarai kereta ini."
"Kurasa, Nenek berkata benar, Paman. Lebih baik kita menepi sejenak untuk beristirahat." Bannesa menimpali dengan maksud meyakinkan. Dia memang bersemangat karena sebentar lagi akan tiba di rumah. Namun, dia tidak bisa membiarkan penyelamatnya jatuh sakit hanya karena terburu-buru untuk sampai di wilayah Utara.
Mendengar desakan itu, Max akhirnya menyetujui mereka. "Baiklah. Kita akan beristirahat ketika tengah malam tiba."
Bannesa dan Riana puas kala mendengarnya. Sementara Ansel,
bocah kecil itu duduk patuh di pangkuan Riana sembari memainkan kuas dan batu tinta sisa Bannesa setelah menuliskan surat untuk ayahnya.
***
Ketika matahari menyingsing, Bannesa terkejut ketika membuka tirai gerbong. Kereta kuda sudah memasuki jalan tanah rata yang menuju langsung ke gerbang masuk wilayah Utara. Tanpa Bannesa dan Riana ketahui, setelah mereka tidur lelap tadi malam, Max menjalankan kereta kuda secara perlahan.
"Paman, apa kamu tidak tidur semalaman? Kita sudah hampir
sampai!" Suara Bannesa mengejutkan Max yang sedang fokus pada jalanan. Dia hanya menoleh singkat sebelum berkata, "Seberapa jauh gerbang masuk dengan ibu kota?"
"Ketika kita melewati gerbang, itu sudah tidak terlalu jauh. Sekitar seperempat batang dupa, kita pasti sudah tiba di ibu kota," jawab Bannesa sesuai fakta.
"Kau tinggal di ibu kota, bukan? Di mana aku harus menurunkanmu?" tanya Max kemudian.
Bannesa sedikit terkejut kala mendengarnya.
"Nanti ketika kita tiba di ibu kota, aku akan memberitahunya."
Max hanya mengangguk kecil sebagai tanggapannya. Lalu dia kembali bertanya,
"Lalu, di mana penginapan bagus yang menyediakan makanan?" Bannesa mengerutkan dahinya, berusaha berpikir keras untuk mengingat penginapan mana yang paling bagus di antara banyaknya penginapan yang dikelolah oleh kakeknya.
"Mengenai penginapan, aku menyarankan di Penginapan Bugenvil saja, Paman. Selain harga sewa terjangkau, makanan yang disediakan juga tiga kali sehari. Terlebih dari itu, di Penginapan Bugenvil juga menyediakan kolam air hangat obat
untuk menghilangkan rasa lelah maupun bekas luka."
"Terdengar bagus. Di mana aku bisa menemukannya?"
"Saat memasuki ibu kota, Paman pasti akan mudah menemukannya, karena penginapan itu memiliki papan
nama besar dengan patung air mancur di depannya." Penginapan itu terdengar mewah. Terlebih Bannesa mengatakan bahwa di sana terdapat kolam air hangat obat
untuk menghilangkan rasa lelah dan bekas luka. Max jadi tertarik untuk ke tempat itu. Sang ibu dan Ansel juga pasti lelah. Tidak ada salahnya mereka sedikit bersantai di sana. Max bahkan berencana untuk tinggal di sana untuk sementara waktu selama dia mengurus pembelian rumah dan perpindahan kependudukan.
Tak berselang lama, kereta kuda Max sudah tiba di depan gerbang masuk wilayah Utara. Ada beberapa prajurit khusus yang berjaga di kedua sisi gerbang. Max turun ketika salah
satu prajurit penjaga menghampiri keretanya. "Selamat pagi, Tuan. Seperti kebijakan pemerintahan wilayah Utara, setiap ada yang masuk kami berhak untuk memeriksa barang bawaan. Apakah saya boleh memeriksa gerbong ini?" Prajurit itu menyapa dan bertanya dengan nada ramah. Max segera menjawab dengan anggukan kecil,
"Tunggu sebentar. Saya bangunkan ibu dan anak saya terlebih
dahulu." Max membangunkan ibunya dan Ansel dengan tepukan ringan. Riana segera terbangun, begitupula dengan
Ansel. Sementara' Bannesa, anak itu sudah bangun terlebih dahulu dan segera turun. Namun, dia berdiri di belakang Max untuk menyembunyikan diri dari prajurit penjaga. Setelah Max menjelaskan kepada Riana secara singkat bahwa mereka
telah tiba di Utara dan harus melakukan pemeriksaan, sang ibu
segera keluar gerbong dengan menggendong Ansel. Beberapa peti berisi pakaian dan pangan serta peralatan makan masih tertata rapi di dalam gerbong.
Max berbalik menatap prajurit penjaga yang menunggunya. Dia
memberikan isyarat melalui gerakan kepala sembari memberikan izin untuk memeriksa gerbong keretanya.
"Silakan," ujar Max singkat dan prajurit itu pun segera membuka tirai bagian belakang gerbong dan memeriksa isinya. Dia dengan sopan meminta maaf kepada Max sebelum masuk ke gerbong untuk memeriksa barang bawaan dengan teliti.
"Max, kenapa kita begitu cepat tiba Utara?" tanya Riana setengah berbisik pada sang putra.
Max berbalik dan menatap wajah lelah sang ibu dengan tatapan lembut. Salah satu alasannya tetap memacu
kereta kuda semalaman adalah juga karena sang ibu. Max takut, beliau akan jatuh sakit karena cuaca yang begitu
ekstrim. Ketika siang, maka panasnya akan terasa membakar kulit dan jika malam, maka dinginnya mampu membuat seseorang menggertakkan gigi ketika sedang tidur.
"Lebih cepat itu jauh lebih baik, Bu. Aku tidak bisa membiarkanmu tidur terlalu lama di dalam sana." Max mengatakan hal itu dengan sedikit senyuman di sudut bibirnya.
Max pun segera mengambil Ansel dari gendongan sang ibu. Bocah kecil itu masih terlihat mengantuk. Dia bahkan hanya membuka kecil matanya ketika Max menggendongnya. Setelah
mengusap sudut bibir, bocah kecil itu membenamkan wajah di dada sang ayah.
Tak berapa lama kemudian, prajurit yang memeriksa barang turun dari gerbong. Dia segera menghampiri Max masih dengan wajah ramah.
"Saya sudah memeriksa semuanya dan tidak ada barang yang
mencurigakan. Jika boleh tahu, apa tujuan Tuan datang ke Utara?" tanya prajurit itu. Namun, fokus Max sedikit teralihkan dengan tingkah Bannesa yang bersembunyi di belakangnya.
Meski sedikit terganggu dengan tingkah anak itu, Max segera menjawab pertanyaan prajurit penjaga.
"Saya ingin menetap dan mencari kerja di wilayah ini," jawab Max seadanya. Prajurit penjaga itu mengangguk kecil menanggapi tanpa menaruh rasa curiga. "Kalau begitu, Tuan bisa langsung ke serikat kependudukan yang berada di ibu kota. Tuan bisa mendaftarkan keluarga di sana agar menjadi warga legal di wilayah Utara."
"Baik. Terima kasih. Apa kami sudah boleh melanjutkan perjalanan?" tanya Max dengan senyum samar di sudut bibirnya.
"Oh, iya, Tuan. Silakan lanjutkan perjalanan Anda. Semoga Anda bisa segera mendapatkan kerja," ujar prajurit itu sebelum mundur kembali ke posisi semula.
Max menanggapinya dengan anggukan kecil. Bannesa segera
memasuki gerbong dari tirai bagian depan. Max pun menyerahkan Ansel ke ibunya dan meminta mereka untuk
masuk ke gerbong agar perjalanan dapat segera dilanjutkan.
Setelah duduk di kursi kusir, Max menghela napas lega. Saat ini, langkah pertamanya untuk terbebas dari kekaisaran Zenos telah terlaksana. Untuk rencana ke depan, Max akan memikirkannya dengan matang dan tidak akan gegabah.
"Anna Froger ... akankah semesta memberiku kesempatan untuk bertemu denganmu? Dalam kehidupan kali ini, aku berjanji tidak akan membiarkanmu menjadi istri dari bajingan itu." Max
bergumam samar di dalam hati:
***
