Annisa Dwi Az Zahra gadis periang berusia 20 tahun yang memutuskan ingin menikah muda dengan lelaki pujaannya yang bernama Rian Abdul Wahab, namun kenyataan pahit harus diterima ketika sebuah tragedi menimpanya.
Akankah Nisa bertemu bahagia setelah masa depan dan impiannya hancur karena tragedi yang menimpanya?
"Kini aku sadar setelah kepergianmu aku merasa kehilangan, hatiku hampa dan selalu merindukan keberadaanmu, aku telah jatuh cinta tanpa kusadari" Fahri
"Kamu laki-laki baik, demi kebaikan kita semua tolong lepaskan aku, karena bertahan pun bukan bahagia dan pahala yang kita dapat melainkan Dosa" Nisa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝐈𝐩𝐞𝐫'𝐒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
"Bro. Itu si bos dari tadi belum selesai juga? padahal mukanya sudah lecek begitu kayak daster emak-emak bangun tidur, ups hmffttt."
Ergi yang baru masuk langsung duduk didepan Bobi yang masih anteng juga dengan laptopnya.
"Untung saja bos lagi fokus kerja gara-gara gegana. Coba kalau enggak, habis tuh mulut disumpal kaos kaki, kayak gak tau aja bos gimana.
Satu lagi, tuh lihatin galaunya orang kaya, pekerjaan jadi pelampiasan akhirnya jadi cuan, bukan malah uring-uringan pergi ke club."
Bobi menyindir sahabatnya itu yang hanya dibalas cengengesan sama Ergi sambil garuk-garuk kepala.
"Iya, emang aneh ya kalau bawaan sultan. Galau aja dapat duit gimana kalau lagi happy." Ergi meng iyakan ucapan Bobi dengan mimik muka keheranan.
"Itu sudah hukum alam, yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin." Ucap Bobi sambil meneguk soft drink milik Ergi, kemudian ia menutup laptopnya dan mengajak Ergi pindah ke sofa karena pekerjaannya sudah beres dan sebentar lagi jam pulang.
"Setahu gue itu bukan hukum alam, tapi lagunya Bang Haji, bro."
Ergi menyela kalimat yang diucapkan Bobi sambil beralih pindah tempat duduk mengikuti Bobi.
"Terserah lu, yang penting lu bahagia." Ucap Bobi.
Sedangkan di meja seberang, Fahri menutup laptopnya sambil membuang nafas kasar. Pekerjaan yang ia kerjakan secara maraton selama hampir 48 jam akhirnya selesai. Dan rasa lelah pun kini mulai mendera tubuhnya yang sama sekali belum memejamkan mata, membuat Fahri bersemangat untuk pulang cepat, berharap rasa lelahnya menjadi ngantuk agar bisa tidur dan melewati hari dengan cepat.
Fahri menghempaskan tubuhnya ke single sofa yang berada didepan Bobi dan Ergi, kemudian ia mengambil softdrink yang masih utuh diatas meja dan membukanya.
"Jangan minum itu. Bentar gue ambilin dulu minuman spesial khusus buat bos yang lagi Gegana. Biar badan lebih fresh." Ergi beranjak dari sofa hendak mengambil minuman yang ia maksud di mobilnya.
"Jangan aneh-aneh. Dia gak minum!" Bobi memberi warning pada Ergi yang sudah hampir keluar dari ruangannya.
"Aman. Cuma buat tidur biar pules, gak bikin oleng." Jawab Ergi.
Tak sampai 5 menit Ergi sudah kembali dengan membawa kantong berisi beberapa minuman kaleng ditangannya, kemudian ia memberikannya pada Fahri.
"Aman kok, gak mungkin gue ngeracunin putra mahkota. Gue masih ingin berkarir, belum merit juga jadi gak berani macem-macem lah, cukup buat dia aja yang 2 macem, hahaha." Ergi tertawa, merasa geli dengan ucapannya sendiri, diantara bertiga memang dia yang paling konyol.
"Jadinya kita makan dimana? apa ditempat biasa aja?"
Bobi menatap kedua sahabatnya bergantian, sudah jadi rutinitas setiap kali ke Bandung dan ngumpul bertiga mereka pasti menghabiskan waktu bersama di kafe. Apalagi sekarang kondisi Fahri yang sedang tidak baik-baik saja, Ia bermaksud ingin membantu bos rasa sahabatnya itu agar bisa segera move dari masalah yang sedang menimpanya.
"Kayaknya gue gak ikut, mau pulang aja pengen tidur mumpung mata mulai ngantuk." Fahri duluan menjawab sambil menguap, kemudian ia membuka minuman yang dibawakan Ergi dan meminumnya sampai tandas.
"Kalian kalau mau jalan, duluan aja. Kunci mobil tinggalin, gue pulang sendiri."
"Biar kita anter duluan. Lu gak boleh nyetir sendiri, no debat!"
Bobi langsung menolak usulan Fahri, ia tahu sahabatnya itu sedang tidak fit dan dirinya lah yang bertanggung jawab atas bosnya itu selama di Bandung.
"Gue bukan anak TK yang kemana-mana harus dianter, lagian kalian ini kenapa?" Fahri mendelikkan matanya pada Bobi, ia mengesampingkan rasa puyeng dan nyeri dikepalanya, agar Bobi tidak mengkhawatirkan dirinya, ia bermaksud ingin menikmati suasana sore jalanan kota Bandung sambil menyendiri.
"Si Bambang masih aja nanya kita kenapa. Ya kita khawatirin elu bos, lu kan lagi sakit hati hingga menjalar ke seluruh tubuh. Oiya sorry gue lupa, minuman yang tadi kalau diminum dalam kondisi kurang fit bisa menyebabkan mual dan muntah." Ergi menjawab pertanyaan Fahri dan memberi tahu kalau minuman yang ia berikan bisa menyebabkan mual.
"Astaga. Alamat gue yang akan susah ini ." Bobi menghela nafas panjang mendengar penjelasan Ergi.
"Lah kenapa lu yang susah? Sitt. Gue lupa belum shalat Ashar ."
Ergi menepuk jidatnya sesaat setelah membaca pesan yang masuk di hpnya.
"Ya jelas gue lah yang susah. Kalau dia sakit otomatis kan gue yang rawat sebelum Tante Risa datang. Tumben lu inget shalat." Bobi menatap Ergi keheranan, karena diantara mereka bertiga yang suka duluan ngingetin shalat 5 waktu adalah dirinya, kini tumben-tumbenan Ergi yang mengingatnya lebih duluan.
"Biasa alarm hati yang bunyi jadi langsung konek. Dah gue ke Mushola duluan." Ergi langsung pergi meninggalkan kedua sahabatnya dan menuju mushola yang berada dilantai paling bawah.
"Dasar bucin" Teriak Bobi sambil beranjak, ia dan Fahri berjalan beriringan hendak menyusul Ergi yang sudah duluan ke Mushola, karena waktu sudah menunjukkan hampir jam 5 sore, sebentar lagi waktu Ashar akan habis.
Fahri, Bobi dan Ergi mereka kenal semenjak masih duduk di bangku SMA, mereka menempuh pendidikan menengah atas di SMA yang sama di Jakarta, diantara bertiga Ergi paling muda sedangkan Bobi dan Fahri satu angkatan. Diluar jam kantor mereka meninggalkan status sebagai bos dan bawahan.
"Bob. Mana kunci mobilnya?"
"Ayo gue anterin dulu" Bobi berjalan mendahului Fahri menuju parkiran.
"Gue lagi mau sendiri. Lu bisa kan ngertiin gue?"
"Oke. Tapi lu harus janji, kalau ada yang lu rasain cepetan hubungi gue." Akhirnya Bobi mengalah setelah Fahri menyebutkan dirinya ingin sendiri, karena sebagai laki-laki yang sudah berumah tangga ia paham dengan sekelumit masalah dan manis pahitnya sebuah hubungan, ada kalanya menyendiri lebih baik, memberi ruang pada diri sendiri untuk introspeksi.
Waktu terus berjalan, tak terasa indahnya senja pun kini berganti malam yang bertabur bintang, menghiasi kota Bandung.
Didalam sebuah kafe didaerah Punclut, Bobi dan Ergi masih ngobrol dengan diselingi tawa, sudah menjadi kebiasaan keduanya ngobrol berjam-jam menghabiskan waktu malam sebelum istirahat, jarangnya memiliki waktu untuk bertemu diluar tugas karena kerja mereka beda kota, membuat keduanya sering lupa waktu.
"Berasa ada yang beda ya formasi kurang satu. Biasa bertiga kini berdua."
"Elah. Dari tadi kemana aja lu, kok baru berasa sekarang." Bobi mendengus menanggapi keluhan Ergi.
Astaghfirullah, Fahri! semoga dia udah mimpi lah
Kenapa gue baru inget dia juga, sittt
Bobi merogoh handphonenya yang berada disaku celana kemudian menghubungi nomor Fahri, namun setelah beberapa detik tidak kunjung terhubung.
"Apa udah tidur ya?" Bobi bertanya pada diri sendiri setelah menunggu beberapa saat panggilannya tak juga terhubung, bahkan sudah berulangkali ia menghubunginya.
"Coba telepon rumah aja. Siapa tau hpnya lowbat dan dia langsung tidur." Ergi memberi saran yang langsung dituruti Bobi.
"Bi. Ini Bobi, apa Fahri sudah tidur? apa!! belum pulang? Astaga, oke bi terimakasih banyak." Bobi buru-buru menutup teleponnya kemudian ia mengajak Ergi pulang hendak mencari tahu keberadaan Fahri, ia khawatir terjadi sesuatu pada sahabatnya itu.
"Lu gak usah panik gitu, serahin ma gue." Kata Ergi sambil membuka handphonenya kemudian melacak mobil yang dikendarai Fahri.
Beruntung sang bos memakai mobil kantor yang semuanya sudah terpasang GPS.
"Udah ada belum?" Dengan tidak sabar Bobi merebut hp dari tangan Ergi yang mengerutkan keningnya.
"Itu posisinya. Tapi kenapa dia ada disitu ya? apa nyasar terus ketiduran?" Ergi mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuk.
"Semoga aja begitu. Ayo kita susul." Bobi beranjak duluan dari sofa kemudian disusul Ergi setelah membayar bill.
"Jangan-jangan dia udah minum air yang gue campur sama suplemen buat tidur juga tuh, mana lu kasih minuman yang tadi juga." Sambil tergesa, Bobi menyesali dirinya yang teledor membiarkan Fahri pulang dalam kondisi tidak baik.
Flashback off
"Udah nikahin saja sekalian daripada nanti laki-lakinya kabur" Celetuk seorang laki-laki dari pojokkan.
"Anda tidak usah khawatir. Saya disini yang akan bertanggung jawab." Dengan muka memerah karena menahan kesal Bobi melirik pada beberapa orang laki-laki yang selalu merecoki suasana yang dari tadi sudah memanas.
"Mas-mas semuanya harap tenang, ya. Insya Allah kasus ini akan saya tindak lanjuti jadi tidak usah khawatir akan ada kejadian yang serupa di komplek kita." Akhirnya Ketu RW angkat bicara pada warganya. Kemudian ia beralih menatap pak Ahmad yang baru saja sampai.
"Sebelumnya saya mau minta maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian ini, yang mana telah membuat warga sekitar merasa resah dan terganggu.
Dan saya mohon ijin untuk menyelesaikan semuanya secara pribadi dan kekeluargaan, tanpa publikasi."
Dengan sangat hati-hati dan panjang lebar pak Ahmad meminta maaf dan ijin membawa pulang Nisa dan menyelesaikan secara pribadi dan kekeluargaan, pak Ahmad mengkhawatirkan mental sang putri yang dari tadi masih terlihat syok.
Jam 9 malam dikediaman keluarga Nisa, semuanya duduk dan diam tanpa ada yang berbicara termasuk Fahri dan Bobi yang juga ada disitu karena permintaan pak Ahmad yang ingin mendengar langsung penjelasan dan kronologisnya seperti apa.
Sebagai orang tua, ia berusaha bijak menilai dan menyikapi kejadian yang menimpa putrinya. Namun ia menyayangkan sikap Rian yang tidak bisa mengontrol emosi, bahkan sampai saat ini Rian masih diam seribu bahasa.
"Nak Rian. Apa nak Rian masih meragukan Nisa? ikuti kata hati nak, jangan sampai menyesal dikemudian hari. Ayah ngerti perasaan nak Rian yang kecewa dengan kecerobohan Nisa." Pak Ahmad menatap Rian yang menunduk sambil membolak-balikkan handphone ditangannya.
"Ri. Ibu percaya, kamu bukan anak kecil yang menyimpulkan suatu masalah dari apa yang kamu lihat sesaat. Jangan pernah mengambil keputusan disaat hati sedang emosi, karena akan berakhir pada penyesalan." Dengan berlinang airmata Bu Widya memberikan nasehat pada putranya. Ia khawatir karena cemburunya Rian mengambil keputusan yang membuatnya menyesal kemudian hari.
"Buat semuanya, terutama buat mas Rian. Nisa mau minta maaf atas kecerobohan yang Nisa lakukan, demi apapun Nisa tidak mengenal mas Fahri dan kami tidak melakukan perbuatan yang tidak senonoh seperti yang dituduhkan warga. Apapun yang kami lakukan dan dilihat warga, kami tidak menyadarinya. Kalaupun ada yang Nisa lakukan dan menyakiti perasaan mas Rian itu hanya refleks karena takut. Tapi, andaikan mas tetap tidak mempercayai itu hak mas, Nisa tidak akan memaksa." Nisa angkat bicara setelah hampir satu jam ia menangis.
"Aku butuh waktu untuk mencerna semuanya." Tanpa menatap Nisa Rian berbicara tanpa ragu.
Bulir-bulir bening kembali menetes membasahi wajah Nisa setelah mendengar ucapan Rian, ia tidak menyangka laki-laki yang ia yakini memiliki cinta yang besar untuknya ternyata tidak mempercayainya.
Hubungan seperti apa yang akan mereka jalani kelak apabila tidak dilandasi kepercayaan. Nisa kini sadar cinta yang besar tidaklah cukup untuk menjalin sebuah ikatan, terlebih ikatan yang pasti seperti pernikahan kalau hanya bermodalkan cinta tanpa ada rasa saling percaya.
Perlahan Nisa berdiri dari duduknya kemudian mencium tangan dan memeluk bu Widya yang pamitan mau pulang.
"Yang sabar ya. Rian memang agak keras kepala, biar ibu nanti yang bicara. Dia seperti itu karena cemburu terlalu cinta." Sambil memeluk Nisa Bu Widya meminta pengertian agar memaklumi Rian.
Nisa hanya menganggukkan kepalanya tanpa bicara, yang ia harapkan sedari tadi Rian yang berbicara, namun sama sekali tidak ada kata apapun yang terucap dari bibir Rian.
Nisa sudah bertekad esok hari ia akan datang ke kediaman Rian. Memastikan langkah apa yang akan Rian ambil, karena acara lamaran mereka tinggal menghitung hari, tidak mungkin menggelar acara dalam kondisi yang tidak pasti.
"Ya Allah. Nak Fahri!"
Jeritan sang ibu dari dalam rumah mengagetkan Nisa dan Yuli yang masih berdiri diteras depan sehabis mengantarkan Bu Widya dan Rian sampai masuk ke dalam mobil.
Keduanya berlari masuk menuju ruang keluarga dengan terburu-buru.
Ya Allah ini si Bambang kenapa lagi? dia pingsan beneran apa pura-pura pingsan ya? tapi kalau dilihat dari wajahnya yang paripurna tidak ada muka-muka pansos sih, semoga aja pingsan beneran bukan pura-pura, ketahuan pura-pura pingsan hilang dah respekku kayak ke si es batu ternyata tukang esmoni, ngeselin! si Caca mau-maunya dilamar orang diam-diam ternyata tukang esmoni, hufff
"Aww. Sakit ish" Yuli mendelik sambil memegang keningnya yang disentil Arman.
"Bisa gak kalau ngelihat apa-apa tuh hilangin kebiasaan bengongnya." Arman yang berjalan di depan sengaja berhenti ketika melewati Yuli dan berbisik pas ditelinganya, tanpa rasa bersalah sedikitpun telah membuat Yuli merinding ia pun melanjutkan langkahnya menuju kamar tamu mengantarkan Ergi dan Bobi yang mengangkat Fahri diikuti Bu Ratna dan Nisa, sedangkan pak Ahmad menelepon keponakannya yang seorang dokter meminta segera datang ke rumahnya untuk memeriksa Fahri.
Astaghfirullah si jalan tol sekarang jadi Jailani, bulu kudukku sampai merinding gini
Yuli mengusap-usap tangannya yang tiba-tiba merinding dan berdesir seluruh tubuh, saat lehernya kena hembusan nafasnya Arman yang berbisik pas ditelinganya. Ia sering berdekatan dengan banyak laki-laki termasuk Dodi tapi belum pernah mengalami hal seperti itu.
"Yah. Ada gak mbak Astri nya? kalau enggak ada, sebaiknya kita bawa ke Rumah sakit aja." Arman menyarankan Fahri agar dibawa ke rumah sakit karena ia khawatir melihat mukanya yang pucat dan tidak ada pergerakan sama sekali.
"Ada. Udah jalan kesini sekarang, tunggu saja biar diperiksa dulu."
Jawab pak Ahmad yang kemudian mendekati Fahri, kemudian memegang pergelangan tangannya.
"Dek. Tolong ngambil air hangat, biar nanti pas sadar langsung kasih minum air hangat."
"Iya Yah." Nisa pergi ke dapur hendak mengambil air panas seperti yang diminta sang ayah.
......................
Di sebuah kamar salah satu rumah sakit ternama di Bandung, sepasang mata mengerjap kemudian perlahan terbuka.
Fahri, setelah semalam mengalami pingsan dan mendapatkan pemeriksaan dokter dirumah Nisa, akhirnya ia dilarikan ke rumah sakit karena mengalami kelelahan hebat dan dehidrasi, dokter menganjurkan untuk segera membawanya ke rumah sakit agar mendapatkan perawatan.
🍁🍁🍁
Jika diluar sana orang lain menganggap diri kita tidak baik, yang harus diingat satu hal bahwa bintang tidak perlu menjelaskan bahwa dia tinggi dan memberi keindahan bagi mereka yang memandangnya dengan jeli, bukan dari katanya 😊
jagain fahri atuhhh
masih membanggongkan ceritanya😯