“Gue gak akan pernah sudi nerima lo sebagai suami gue!”
“Saya tidak keberatan, Maha. Bagaimanapun kamu tidak menganggap, saya tetap suamimu.”
“Sialan lo, Sas!”
•••
Maharani tidak pernah meminta untuk terlibat dalam pernikahan yang mengikatnya dengan Sastrawira, pewaris keluarga Hardjosoemarto yang sangat tenang dan penuh kontrol. Sejak hari pertama, hidup Maha berubah menjadi medan pertempuran, di mana ia berusaha keras membuat Sastra merasa ilfeel. Baginya, Sastra adalah simbol patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.
Namun, di balik kebencian yang memuncak dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan, Maha mulai melihat sisi lain dari pria yang selama ini ia tolak. Sastrawira, dengan segala ketenangan dan kesabarannya, tidak pernah goyah meski Maha terus memberontak.
Apakah Maha akan berhasil membuat Sastra menyerah dan melepaskannya? Atau akankah ada simfoni tersembunyi yang mengiringi hubungan mereka, lebih kuat daripada dendam dan perlawanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Maha Berbuat Ulah
"Kenapa cemberut gitu? Apa kamu dirundung lagi?"
Setelah pintu ditutup cukup kencang oleh Maha barulah Sastra membuka suara, wajah istrinya terlihat begitu suram.
Maha mendelik tajam namun tatapannya segera ia alihkan pada jalan didepannya, "karena lo lah Sas! Gue bilang jangan jemput gue di depan sekolah, lo ngerti gak sih?"
Sastra menarik napas panjang, berusaha untuk tetap tenang meskipun Maha terlihat kesal. "Saya cuma mau jemput kamu, Maha. Niat saya baik, nggak ada maksud apa-apa," katanya dengan suara yang tetap tenang.
Maha memutar matanya, jelas tidak terkesan. "Lo nggak ngerti. Gue udah bilang kan, jemput di tempat lain aja, bukan depan sekolah. Anak-anak pada liat, terus mereka bisik-bisik di belakang gue. Gue jadi bahan omongan lagi, lo tahu itu gak enak."
Sastra menatapnya sejenak sebelum menjawab, "apa perlu saya redamkan mulut mereka?"
Maha menghela napas panjang, "gak usah kalau pake kekuasaan lo. Udah jalan aja.
"Saya nggak akan pakai cara begitu. Cuma mau tahu apa yang bisa bikin kamu nyaman, itu aja."
Maha menatapnya sekilas, masih kesal, tapi kali ini lebih kepada situasinya, bukan Sastra. "Lo nggak usah repot-repot, gue bisa urus sendiri. Gue cuma butuh lo nggak terlalu ikut campur dalam hal-hal kayak gini."
Sastra mengangguk pelan, tangannya tetap di kemudi sambil melirik Maha sebentar. "Baik. Kalau itu yang kamu mau, saya nggak akan jemput di depan sekolah lagi. Tapi kalau ada apa-apa, kamu bilang."
Maha hanya mendesah, memalingkan wajahnya ke luar jendela. "Hmm,"
"Sudah makan siang?" Sastra bertanya, ingin menawarkan pergi ke restoran terlebih dahulu sebelum bertolak menuju kantornya.
Maha menggeleng pelan tanpa menoleh. "Belum. Tapi gue nggak lapar."
Sastra meliriknya, tahu betul bahwa Maha sering mengabaikan makan kalau sedang kesal. "Kita makan dulu, ya? Nggak baik kalau kamu nggak makan. Ada tempat enak di dekat sini, saya ajak ke sana."
Maha menghela napas panjang, merasa malas berdebat. "Terserah,"
Sastra tersenyum tipis, lalu mengarahkan mobil ke sebuah restoran kecil yang nyaman. "Kamu pasti suka. Makanannya enak dan tempatnya nyaman."
Maha hanya mengangguk, tidak begitu antusias. Sepanjang perjalanan menuju restoran, suasana di dalam mobil terasa hening, hanya diiringi oleh suara musik pelan dari radio. Sesekali, Sastra melirik ke arah Maha, tapi memilih untuk tidak memaksanya bicara.
Begitu mereka sampai di restoran, Sastra memarkir mobil dengan hati-hati. "Kita sudah sampai," katanya sambil membuka pintu mobil untuk Maha. Ia mengulurkan tangannya, tetapi Maha hanya turun tanpa mengambil tawarannya.
Di dalam restoran, Sastra memilih meja di sudut yang agak sepi. Maha duduk sambil memandang sekitar, sedikit lebih tenang dari sebelumnya. "Yaudah, kita makan," ujar Maha akhirnya, suaranya lebih lembut meski masih terkesan dingin.
Sastra memesan makanan untuk mereka berdua, memilih hidangan yang tahu betul disukai Maha. "Setelah ini, kita bisa lanjut ke kantor. Tapi yang penting, kamu makan dulu," kata Sastra dengan nada tenang.
Maha hanya mendengus pelan tapi tidak menolak, lalu mengambil menu dan mulai melihat-lihat daftar makanan tanpa komentar.
Sastra memesan makanan untuk keduanya setelah Maha memilih ayam bakar dan es teh manis. Sastra sendiri memesan nasi goreng dan jus jeruk. Mereka duduk berhadapan, suasana di restoran kecil itu cukup tenang, hanya terdengar gemericik air dari kolam kecil dan obrolan ringan dari beberapa tamu lain.
Setelah beberapa menit, makanan datang, dan keduanya mulai makan dalam diam. Maha tampak sibuk dengan pikirannya, sementara Sastra sesekali melirik ke arahnya.
"Saya ada salah sama kamu?" Sastra memecah keheningan.
Maha meletakkan sendoknya sejenak, menghela napas panjang. "Banyak, dari awal lo udah punya banyak salah sama gue."
Sastra menunduk sedikit, memikirkan kata-katanya, jika Sastra tanya seperti itu pasti Maha menjawab juga seperti itu, ia berpikir lagi dan akhirnya menebak bahwa istrinya tengah dalam siklus mood perempuan setiap bulan. "Kamu lagi kedatangan tamu bulan?"
Maha memutar matanya, bisa-bisanya tebakan Sastra benar. Beginilah kalau Maha baru kedatangan tamu bulan, perempuan itu akan uring-uringan tidak jelas. Kadang banyak bicara, kadang diam, semua emosinya bercampur padu jadi satu.
"Hmm, gitu deh." Maha menjawab seadanya lalu melanjutkan kembali aktivitas makannya. Suasana di antara mereka kembali hening, hanya terdengar suara sendok yang sesekali beradu dengan piring.
Sastra menatapnya sejenak, lalu mencoba mencairkan suasana. "Kamu mau dessert setelah ini? Mereka punya es krim yang enak, mau coba?"
Maha mendongak, sedikit terkejut dengan tawaran itu. "Boleh, ek krim," jawabnya, dengan nada yang lebih tenang meski masih sedikit ketus.
Sastra tersenyum tipis, merasa setidaknya suasana sedikit mereda. Ia memanggil pelayan untuk memesan es krim, berharap bisa membuat Maha sedikit lebih nyaman. "Setelah ini mau dilanjutkan ke kantor saya atau pulang saja?"
"Kan gue ada kerjaan sama lo, masa pulang sih? Jangan kira lo ngeremehin gue karena gue lagi dapet ya?" Maha menjawab dengan nada yang tegas.
Sastra mengangguk mengerti, "yasudah kita lanjutkan ke kantor saya."
Setelah beberapa saat, es krim yang dipesan tiba. Maha mulai terlihat sedikit lebih santai saat menikmati dessertnya.
•••
Sesampainya di kantor milik Sastra, Maha langsung diperkenalkan kepada para pegawai. Dia merasakan tatapan sinis dan bisikan-bisikan kecil yang menyertai kehadirannya, namun ia memilih untuk tidak memperdulikan hal tersebut.
Akhirnya, Maha sampai di ruang kerja Sastra yang sangat luas dan modern. Ruangan itu didekorasi dengan furnitur bergaya minimalis dan warna-warna netral yang elegan. Di dinding terdapat beberapa penghargaan dan sertifikat yang menunjukkan prestasi Sastra. Meja kerja Sastra besar, dengan laptop dan dokumen yang tersusun rapi.
Sastra menunjuk kursi di depan meja kerjanya. "Ini ruang kerja saya. Mulai besok, kamu akan bekerja di sini sebagai asisten pribadi saya."
Maha mengangguk pelan, "terus gue bisa ganti baju dimana?"
Sastra menunjuk ke sudut ruangan. "Di sana, ada kamar kecil yang bisa kamu gunakan untuk berganti baju atau sekadar beristirahat. Itu juga bisa digunakan jika kamu perlu menyimpan barang-barang pribadi."
Maha mengangguk pelan, merasa lega karena ia tidak disuruh mengganti pakaian di hadapannya. "Oke, gue ganti baju dulu."
Maha segera masuk ke kamar kecil itu, lalu mengganti pakaiannya dengan baju kantor baru yang dibelinya kemarin bersama Caraka. Setelah beberapa menit, ia keluar dengan penampilan yang sangat membuatnya puas.
Sastra yang melihat Maha keluar dari kamar kecilnya terkejut, ia sampai menyemburkan air putih didalam mulutnya yang belum berhasil masuk kedalam tenggorokannya. "Are you kidding me Maharani?"
Maha menarik sebelah alisnya, pura-pura bingung dengan ucapan Sastra barusan. "What? Lo kenapa tiba-tiba kaget liat gue?"
Sastra meletakkan gelasnya sedikit keras di atas meja. Bagaimana ia tidak terkejut saat mendapati pakaian kantor yang dipakai Maha sangat mencolok—kemeja dengan kancing atas yang terbuka, rok mini di atas lutut yang sangat ketat, serta stocking hitam yang menonjolkan lekuk kaki Maha dengan jelas.
"Berapa setelan pakaian seperti ini yang kamu beli kemarin?" tanyanya dengan napas tercekat, berusaha menahan dirinya untuk tetap menahan kewarasannya.
Maharani dengan santainya duduk di sebelah Sastra, sengaja menumpukan kakinya agar lebih jelas terlihat. "Semua yang gue beli. kenapa? Lo gak suka?"
Sastra mengerutkan kening, merasa cemas melihat Maha yang tampaknya tidak menyadari betapa tidak cocoknya pakaian tersebut untuk lingkungan kantor. "Maharani, pakaian ini tidak cocok untuk kantor. Kamu harus menjaga profesionalisme, dan pakaian ini terlalu mencolok."
Maha hanya tersenyum tipis, seolah tidak terlalu mempermasalahkan kritik Sastra. "Kalau gue sukanya begini gimana dong, Mas?" Tangannya bergerak diatas paha Sastra, mengusapnya dengan halus.
"Maha..." Suara Sastra menginterupsi dengan nada tegas, namun ia berusaha menahan diri agar tetap tenang. "Kamu perlu menjaga etika dan profesionalisme. Pakaian ini tidak sesuai dengan standar yang diharapkan di lingkungan kerja."
Maha tersenyum nakal, menarik tangan dari paha Sastra dengan gaya santai. "Gitu ya? Tapi kan gue asisten pribadi lo, gak apa-apa dong harusnya, kan lo juga suka liat gue kaya gini."
Sastra menghela napas panjang, masih berusaha menahan dirinya. "Kenapa kamu tidak menghargai dirimu dihadapan saya? Kemarin kamu menuduh saya yang tidak-tidak, tapi sekarang kamu sendiri yang berusaha memancing saya, what do you want, Maharani?
Maha mencebik kesal, "emang nya gue salah berpakaian kayak gini? Lo tuh banyak banget bicaranya Sas, yaudah deh gue gak jadi kerja bareng lo—"
"Jangan impulsif Maha! Kamu boleh berpakaian seperti ini atau sekalian naked di depan saya tapi itu dirumah, not here Maha!"
Maha membelalak, merasa tersinggung oleh ucapan Sastra. "What? Naked di depan lo?Gila lo?!" suaranya meninggi, tanda kemarahannya mulai muncul. Maha melupakan misinya untuk membuat Sastra terpancing amarahnya, ternyata dia sendiri yang malah terbawa suasana.
Sastra berusaha menenangkan situasi. "Bukan itu maksud saya, Maha. Saya mau kamu berpikir bijak, disini bukan tempatnya kamu berperilaku seenaknya."
Maha berdiri, wajahnya penuh dengan kekecewaan. "Udahlah gue mau pulang aja!"
Sastra berdiri mencoba meredam situasi. "I beg you, ganti pakaiannya!"
Maha menatap tajam kearah Sastra, "say it again!"
Menghela nafas panjang, Sastra kembali memohon dengan mengalah. Cara terbaik menundukkan emosi perempuan ini adalah dengan cara mengalah dan mengaku salah.
"Saya minta maaf sudah berbicara tidak baik padamu, and I beg you to change clothes, please... Lestari."
"Say it again!"
"Cah ayu, istriku. Saya memohon padamu untuk segera mengganti pakaian, now..." Nada suara Sastra semakin berat dan auranya berubah suram.
Seluruh tubuhnya mendadak merinding mendengar nada suara Sastra yang tiba-tiba berubah serius dan penuh otoritas. Padahal ia sedang menikmati Sastra yang sedang memohon padanya. Aura Sastra yang biasanya tenang berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih mendominasi. Tidak sesuai ekspektasi Maharani yang ingin pria ini memecahkan amarahnya, ia malah mendapatkan respon tubuhnya yang tidak bisa lagi membantah.
Maha menggigit bibirnya, setengah frustasi karena kehilangan kendali atas situasi ini. "Oke, oke, gue ganti," gumamnya akhirnya, melirik Sastra sekilas sebelum berbalik dan berjalan ke kamar kecil lagi.
Saat pintu tertutup di belakangnya, Sastra duduk kembali di kursinya, menarik napas dalam-dalam, ia kembali meneguk air minumnya hingga tandas. Maharani selalu sulit ditebak—terlalu impulsif, penuh tantangan. Dia harus selalu bersabar untuk hari-hari kedepannya nanti, dan Sastra akan melakukan apa pun untuk menjaga hubungan mereka tetap stabil, meskipun kadang-kadang harus menghadapi badai seperti ini.
Tak lama kemudian, pintu kamar kecil terbuka dan Maha keluar dengan pakaian seragam sekolahnya, meskipun masih dengan ekspresi wajah yang jelas menunjukkan bahwa ia belum sepenuhnya tenang. Sastra tersenyum tipis, berusaha mencairkan suasana.
"Terima kasih sudah mengganti pakaian," katanya lembut.
Maha mendengus pelan dengan tatapan sinisnya, "puas Lo sekarang?"
Sastra tersenyum lalu mengangguk pelan. "Pulang dari kantor, kita beli pakaian lagi, kali ini saya turut memilih."
Maha memutar bola matanya jengah, "terserah Lo!"
"Good girl!"
Ketegangan itu berangsur padam saat Sastra memulai dengan serius. "Sementara itu, kamu bisa mulai dengan mempelajari beberapa dokumen yang sudah disiapkan. Ini adalah tugas-tugas dasar yang akan membantumu beradaptasi dengan pekerjaan ini."
Maha mengambil dokumen yang disodorkan dan duduk di sebelah Sastra walaupun ekspresi wajahnya masih masam. Sastra mulai menjelaskan berbagai aspek pekerjaan yang akan dikerjakan Maha. "Karena kamu masih sekolah, tugasmu akan fokus pada hal-hal sederhana terlebih dahulu. Ini termasuk mengatur jadwal, mengorganisasi dokumen-dokumen, dan mungkin membantu dengan beberapa panggilan telepon atau email yang tidak terlalu rumit."
Sastra menunjukkan beberapa contoh dokumen dan sistem yang akan digunakan. "Saya mulai dengan hal-hal dasar supaya kamu bisa memahami alur kerja tanpa terlalu terbebani. Jangan khawatir,saya akan sesuaikan beban kerja dengan waktumu di sekolah."
Maha mengangguk mengerti. "Oke, gue siap. Gue akan pelajari dokumen-dokumen ini." Jawabnya masih terdengar ketus.
Sastra mengangguk puas. "Bagus. Mulai dari tugas-tugas dasar, ini akan membantumu beradaptasi lebih cepat. Jika ada pertanyaan atau butuh bantuan, saya siap menjelaskan. Besok kita akan mulai dengan orientasi yang lebih mendalam sesuai dengan waktumu."
•••
Selepas dari kantor, mereka melanjutkan perjalanan menuju mall di pusat kota untuk membeli pakaian kantor baru bagi Maha, karena yang sebelumnya dianggap terlalu mencolok dan tidak pantas.
Di dalam mobil, Maha menyilangkan tangannya di dada, sedikit cemberut. "Nggak nyangka gue mesti beli baju lagi gara-gara lo nggak suka yang gue pilih kemarin. Orang kaya memang sukanya buang-buang uang!"
Sastra menoleh sekilas ke arah Maha dan tersenyum tipis. "Itu tidak akan terjadi kalau kamu beli pakaian yang lebih sopan untuk bekerja, juga tidak akan mubazir seperti ini kalau kamu berpikir dulu sebelum membeli sesuatu."
"Ah Lo kebanyakan mikir gak kaya Mas Caraka, dia mah santuy aja sambil nemenin gue belanja."
Sastra segera menoleh tajam, "jangan bilang kamu minta penilaian pakaian dari dia kemarin?"
Maha menatap Sastra dengan ekspresi bingung, kemudian mendengus pelan. "Ya iyalah, siapa lagi? Mas Caraka kan yang nemenin gue belanja, terus dia juga yang kasih saran buat beli setelan itu."
Rahang Sastra mengeras. "Kamu serius, Caraka yang memberi saran?" Nafas Sastra mulai memburu, mencoba tetap tenang walaupun celakan di kemudinya mengencang.
Maha tersenyum kecil, merasa puas melihat Sastra kesal. "Ya enggak lah, mana tau gue milih bajunya yang kaya gitu."
Sastra menggelengkan kepala dengan tegas, matanya fokus ke jalan sambil terus berusaha menenangkan diri. "Ya Tuhan... Lain kali saya tidak akan biarkan kamu belanja tanpa didampingi saya, cukup sekali." Nadanya jelas menunjukkan bahwa dia tidak ingin hal ini terulang lagi.
"Ah gak asik lo, so ngatur!"