"Hai, aku gadis matematika, begitu Sora memanggilku."
Apa perkenalan diriku sudah bagus? Kata Klara, bicara seperti itu akan menarik perhatian.
Yah, selama kalian di sini, aku akan temani waktu membaca kalian dengan menceritakan kehidupanku yang ... yang sepertinya menarik.
Tentang bagaimana duniaku yang tak biasa - yang isinya beragam macam manusia dengan berbagai kelebihan tak masuk akal.
Tentang bagaimana keadaan sekolahku yang dramatis bagai dalam seri drama remaja.
Oh, jangan salah mengira, ini bukan sekedar cerita klise percintaan murid SMA!
Siapa juga yang akan menyangka kekuatan mulia milik laki-laki yang aku temui untuk kedua kalinya, yang mana ternyata orang itu merusak kesan pertamaku saat bertemu dengannya dulu, akan berujung mengancam pendidikan dan masa depanku? Lebih dari itu, mengancam nyawa!
Pokoknya, ini jauh dari yang kalian bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jvvasawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 | RUMAH NENEK
Harap bijaksana dalam membaca, karya ini hanya lah fiksi belaka, sebagai hiburan, dan tidak untuk ditiru. Cukup ambil pesan yang baik, lalu tinggalkan mudaratnya. Mohon maaf atas segala kekurangan, kecacatan, dan ketidaknyamanan, dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas segala dukungan; like, vote, comment, share, dan sebagainya, Jwasawa sangat menghargainya! 💛
Selamat menikmati, para jiwa!
...
Tepat di depan pohon rindang tempat kami berdiri sekarang, sekitar sepuluh meter ke depan, berdiri kokoh bangunan bermaterial kayu yang tampaknya sudah melalui berbagai peradaban, mungkin seusia dengan pohon raksasa ini.
Meski terlihat tua, tapi aku yakin suasana di dalam sana masih menguarkan kehangatan selayaknya rumah yang nyaman ditinggali. Masih ada kehidupan yang berlangsung di dalam rumah itu.
“Yuk, jalan,” ajak Zofan, mengawali langkah.
Suara tapak sepatu kami beradu dengan rerumputan yang kering, mengiringi setiap langkah yang dituntun Zofan. Sepertinya hujan tidak sampai ke sini, tersangkut di wilayah perkotaan.
Semakin dekat kami pada rumah tua di hadapan, semakin besar pula ukurannya menyesuaikan jarak pandang.
“Rumah siapa?” kusuarakan rasa penasaranku.
“Entah lah, kemarin aku kebetulan lewat ke sini dan jadi penasaran bagaimana isi di dalamnya. Katanya, sih, rumah ini angker. Sering terdengar suara-suara aneh setiap sore menjelang malam.”
Jawaban busuk Zofan sukses membuatku melotot, bahkan jantungku langsung berpacu riuh, kebut-kebutan dengan batin yang menyuruhku lari kabur dari tempat ini sekarang juga.
“H – hah?!” Mulutku sampai tak bisa keluarkan suara apa pun, tersendat di tenggorokan.
“Bercanda. Ini rumah nenekku.”
Kurang ajar kau, mulut remix! Kakiku sudah gemetaran, tahu!
“Aduh!”
Selamat, kali ini kuhadiahkan punggungmu dengan kepalan tanganku sampai terdengar bunyi DEG.
“Kenapa selalu pakai kekerasan, sih?! Aku kan bercanda. Tidak asik,” komplain Zofan sambil berusaha mengusap punggungnya – yang baru kuhajar tadi – dengan tangan pendeknya.
“Tahu tempat, dong, Zofan!” desisku dengan tiga garis kerut di dahi.
“Maaf, maaf!”
Baiklah, aku terima permintaan maafnya, sebelum urusan ini memakan waktu lebih lama.
“Ya sudah, ini kita mau ngapain, sekarang? Masuk ke dalam rumah nenekmu? Ayo segera selesaikan urusanmu. Aku masih harus pulang sebelum dicari orang rumah.”
Zofan berdeham menyetujui, kali ini dia lebih memilih menyimpan suara bisingnya.
Hampir sampai kami di depan pintu, tiba-tiba kedua tangan Sora meraih masing-masing lenganku dan Zofan, hingga kami serempak menoleh padanya yang memang sedari awal berada di tengah, di antara aku dan Zofan, meski hanya diam.
Dagunya melakukan gerakan kecil seolah ingin menunjuk sesuatu secara diam-diam. Aksinya disempurnakan dengan gumaman yang tak kalah tipis, “itu … nenek, Zo.”
Aku tak tahu bagaimana dengan Zofan, tapi aku, entah kenapa, mata ini bergerak begitu lambat ke arah yang dimaksud Sora. Hatiku berselimut was-was. Tenggorokanku juga mendadak terasa gersang.
“Astaga!” jerit Zofan yang sepertinya sudah lebih dulu melihat target.
“Aaa! Apa? Ada apa?!!” Aku ikut menjerit tanpa berencana menoleh, kuurungkan niatku untuk menoleh, begitu Zofan menjerit.
Secepat kilat kakiku berlari ke belakang, bersembunyi di balik tubuh tinggi Sora. Semoga punggungnya cukup lebar untuk menghalau pandanganku dari pemandangan yang Zofan jeritkan.
Sialan, kenapa Zofan menjerit?! Apa dia melihat hantu sungguhan?!
“Astaga, Nek! Kenapa Nenek mengintip di balik dinding seperti itu? Kan Zofan dan teman-teman kaget.”
Masih dengan jantung yang memburu debar dan napas yang berderu tak beraturan, kuberanikan diri mengintip perlahan dari sisi lengan Sora. Sepertinya sudah aman, jika disimpulkan dari intonasi suara Zofan yang sudah lebih stabil.
Penglihatanku menangkap sosok yang Zofan maksud, posisinya sama persis seperti penggambaran yang aku tangkap dari ucapan Zofan; seorang nenek.
Wanita yang sudah lanjut usia terlihat mengintip dari balik dinding sebelah kanan rumah kayu ini. Kepalanya menyembul dan kedua tangan keriputnya menempel di sudut dinding, sebagian jemarinya tampak bercokol di celah kayu yang sudah keropos.
Kepala nenek Zofan perlahan dimiringkannya, dengan kelopak mata yang mengerjap lambat. Kemudian, lambat-lambat kedua sudut bibirnya menyungging – membentuk senyum yang tak sampai mata, menyebabkan mata itu tetap terbuka lebar seperti sediakala.
Bulu kudukku jadi merinding melihat pemandangan ini.
Maafkan aku, neneknya Zofan, aku tak bermaksud untuk takut, tapi – ini menakutkan.
“Natarin, kau baik-baik saja?” bisik Sora, mengelus salah satu tanganku yang bertengger pada lengan bawahnya, mungkin berusaha menenangkanku.
Jeda sesaat, sebelum suaranya mengecil lirih diselingi batuk singkat, “aku … sedikit tercekik, Nata. Sepertinya kau menarik bajuku terlalu kuat.”
Tersadar dari kegelisahanku, mataku segera beralih pada tangan kananku yang ternyata mencengkram punggung seragam Sora sampai sedikit kusut.
Aku juga tak sengaja menarik kemejanya terlalu kuat, hingga kerah Sora – yang masih terkancing lengkap – jadi mencekik lehernya.
“Y – ya ampun. Maaf, Sora!”
Bergegas lah kubebaskan helai seragam Sora dari tanganku, sambil kutepuk-tepuk ringan bagian yang kusut tadi, juga memperbaiki letak kerahnya. “Maafkan aku, ya?”
Sora melemparkan senyum andalannya, “takut, ya?” masih sambil berbisik.
Kepalaku mengangguk mengiyakan, ikut membalas senyum seadanya.
“Tak apa, ada aku.”
Bibirku perlahan melengkung ke bawah, menahan senyumku agar tak mengembang. “A—”
“Apa?” Ini bukan suaraku, tapi Zofan! Tiba-tiba saja kepalanya menyelonong, menyela di antara kepalaku dan kepala Sora yang sejak tadi sudah direndahkan sejajar denganku untuk saling berbisik.
“Memangnya kenapa kalau ada kau, Sor?” Zofan ikut berbisik mengikuti alur kami tanpa tahu apa-apa.
“Ih! Rusuh!” Sebal, kudorong kepalanya menjauh dari posisiku dan Sora.
Sekarang aku yang berada di tengah. Tidak benar-benar di tengah, sebenarnya, berhubung sekarang Zofan sudah berdiri lebih maju di depan kami. Jadi, lebih tepatnya, aku yang tadinya berdiri di sebelah kanan Sora, sekarang berubah posisi ke sebelah kiri Sora.
Tenggelam dalam adegan bisik-membisik, suara nenek Zofan menginterupsi.
Astaga, kami sampai melupakan beliau!
“Ayo masuk, anak-anak. Maaf, ya … Nenek … bikin takut, ya…?”
Seharusnya kami yang minta maaf, Nek. Maafkan kami, neneknya Zofan! Ini gara-gara Zofan!
“Nenek … cuma … penasaran … siapa yang … datang … hihi … ayo, ayo … di luar dingin, loh…”
Wah, betapa lembut dan gemulainya suara nenek Zofan, pasti beliau sangat anggun semasa mudanya.
Rasa cemas dan takutku belum hilang karena cara bicara nenek yang begitu lambat dan luar biasa halus, apa efek sudah tua? Tapi, di waktu yang bersamaan, degup jantungku juga lebih tenang begitu mendengar suara halus nenek. Aneh.
Selain itu, ada hal lain yang menarik perhatianku.
Jari-jemariku terangkat, mengusap daguku sendiri. Hm, tadinya aku sempat merasa familiar dengan gelombang suara neneknya Zofan, tapi sekarang setelah kuukur lagi, ternyata gelombang suara beliau serupa milik Sora. Jarang aku menemukan gelombang suara seperti mereka berdua.
“Kebetulan … Nenek dari … kebun belakang … dan … bawa jagung … buat direbus … ayo masuk, dan … cicip jagung … hasil … perkebunan Nenek. Enak, loh … manis dan … gurih. Ayo, ayo … tak perlu malu, tak perlu … takut.”
Setelah berkata demikian, nenek menggandeng Sora dan melangkah masuk ke dalam rumah, disusul aku dan Zofan yang sekarang tertinggal di belakang.
Tampaknya nenek Zofan pikun, sampai salah merangkul orang. Cucunya kan yang ada di sampingku ini.
∞
Sesampainya di ruang tengah, nenek Zofan meninggalkan kami untuk membawa keranjang jagungnya ke dapur belakang. Aku sempat menawarkan bantuan, tapi kata nenek tak perlu, biar beliau sekalian persiapkan jagung rebus untuk kami santap nanti.
“Sekarang aku harus apa?” tanyaku, melihat ke arah Zofan yang terlihat sedang membongkar kotak berukuran besar di pojok ruangan. Setengah tubuhnya hampir terjengkang masuk ke dalam kotak.
“T – tunggu sebentar.”
Dia bukannya menjawab begitu karena grogi, hanya saja perutnya terdesak ke pinggiran kotak hingga membuatnya tergagap.
Terlihat penasaran, Sora menghampiri Zofan yang masih sibuk mencari sesuatu. “Belum ketemu?”
“Belum,” sahut Zofan. Akhirnya dia menyerah, kepalanya kembali terlihat dari dalam kotak. “Kok tidak ada, ya? Aku ingat kemarin lihat di bawah barang-barang ini. Ke mana terselipnya?”
“Coba aku bantu. Beri aku ruang, Zo.”
Sekarang dua tubuh jangkung, hanya Sora, sih, yang jangkung, sama-sama hampir terjerembap ke dalam kotak raksasa itu.
...
Bersambung