Hidup Shavira hanyalah rangkaian luka yatim piatu, ditindas bibi dan pamannya, lalu divonis hanya punya beberapa bulan karena penyakit mematikan. Namun semua berubah ketika ia bertemu sosok misterius yang selalu muncul bersama seekor kucing hitam. Lelaki itu menyebut dirinya malaikat maut—Cat Man. Sejak saat itu, batas antara hidup dan mati, cinta dan kehilangan, mulai kabur di hadapan Shavira.
haii,, selamat datang di cerita pertamaku.. semoga suka ya~♡
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nama Untuk Yang Tak Bernama
Di dalam mobil, suasana nggak kalah heboh dari pasar malam. Musik dangdut dari radio mengalun kencang, bikin jok mobil ikut bergetar. Shavira masih asik ngemil permen, sementara Nadia di balik kemudi sudah mulai menggoyangkan bahu.
Begitu suara “goyang dumang” muncul di opening lagu, Nadia langsung menjerit kegirangan.
“Wih, enak nih lagunyaaa! Go~yang dumanggg!” serunya sambil joget pakai tangan kiri, sementara tangan kanan pegang setir cuma ala kadarnya.
Shavira refleks meraih sabuk pengaman lebih erat, wajahnya pucat. “Nad! Serius deh, jangan joget! Jalanan rame banget, kalau lo oleng bisa mempercepat hari kematian gue tau nggak!”
Nadia malah cengar-cengir. “Santai kalii. Nih mobil udah kayak nempel sama jalan. Gue pro, Vir! Mau sambil merem juga bisa kok.”
“Jangan dicoba di depan gue!” Shavira nyaris mewek, tangannya siap menekan klakson walau dia bukan sopirnya.
Tiba-tiba, di tengah kepanikan itu, suara berat menggema dari kursi belakang.
“Kalian bisa saja kecelakaan jika begini caranya.”
Shavira spontan kaku, matanya membulat. Perlahan ia menoleh ke belakang, dan… benar saja. Di kursi tengah, sudah duduk manis sosok berjubah hitam, wajahnya datar. Di pangkuannya, seekor kucing hitam bernama Sem sedang menjilat bulunya dengan tenang.
“YA ALLAH!” Shavira hampir copot jantungnya. “Eh—lo ngapain di sini?? Turun nggak?!”
Nadia ikut menoleh sambil nyetir, bingung. “Hah? Lo ngusir gue?!”
Shavira langsung panik. Astaga, dia lupa… cuma dirinya yang bisa lihat makhluk itu. Dengan kikuk ia menyengir, berusaha nyelametin suasana.
“Enggak, enggak, Nad. Tadi kayak ada… eh… tawon! Iya, gue ngeliat tawon di belakang!”
Refleks Nadia injak rem mendadak, SCREEET! Mobil berhenti mendadak sampai tubuh Shavira kejedot dashboard.
“YA ALLAH, NAD!” Shavira pegang jidatnya yang cenut-cenut.
“Manaa? Mana tawonnya, Vir?!” Nadia udah siap dengan kipas plastik warna pink yang selalu nyangkut di dashboard. Mukanya serius banget, kayak lagi jadi pahlawan penyelamat dunia. “Sini biar gue slepet sampe pingsan tuh tawon!”
Shavira cuma bisa nutup muka. “Nggak usah dicari… mungkin udah kabur…”
Sementara itu, sosok berjubah hitam di belakang hanya menyeringai miring. Tangannya santai mengelus kepala kucing hitam yang mendengkur puas.
“Lucu juga,” gumamnya lirih. “Manusia selalu heboh, bahkan sebelum ajal benar-benar datang.”
Begitu mobil berhenti di area parkir taman kota, Dinda langsung mengeluh sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
“Ya Allah, Vir… tangan gue kayak habis angkat barbel. Gila, berat juga nih botol!”
Shavira yang udah duluan nyari tempat, melirik malas. Dia baru selesai ngibarin kain piknik di tepi danau.
“Berat apanya? Itu doang. Gue suruh bawa botol kecil, lo yang ngotot bilang ‘nggak cukup, Vir! Haus mati nanti!’”
Nadia nyengir sambil meletakkan botol besar dan cangkir di tengah. “Ya terus? Kalau kita dehidrasi, lo mau tanggung jawab di akhirat?”
Shavira mendengus, “Ih lebay.”
Mereka mulai membuka rantang satu per satu. Aroma masakan langsung nyebar, bikin perut makin keroncongan. Tapi di tengah-tengah itu, mata Shavira tiba-tiba tertuju pada kursi taman di seberang danau. Lelaki itu lagi-lagi duduk di sana, wajahnya datar, seolah menunggu.
Shavira spontan manyun. Astaga… ngikutin gue lagi. Emang nggak ada orang mati lain apa? Nih orang tiap hari nongol mulu! Batinnya.
Nadia yang ngelihat wajah temannya berubah langsung nyeletuk, “Lo liatin siapa sih? Segitunya banget muka lo sampe kusut gitu.”
“Makhluk nggak jelas,” gumam Shavira cepat.
Dinda otomatis melotot. “Jangan bilang lo lagi halu, Vir. Jangan bikin gue takut, sumpah.”
“Udahlah, nggak usah nanya.” Shavira buru-buru fokus ke tempe goreng di piring biar suasana balik normal.
Akhirnya mereka mulai makan. Nadia nggak berhenti mengacungkan jempol dua setiap kali nyuap.
“Vir, sumpah ini enak banget. Kayak bumbu dapur lo dikasih anugerah malaikat. Gue nambah lagi yaaa.”
“Yaudah, asal jangan abis semua. Gue juga mau makan.”
Tapi nyatanya, Nadia sudah nambah sampai tiga kali, sementara Shavira baru setengah porsi.
“Eh sumpah, gue jadi pengen ngerekrut lo jadi chef pribadi. Ntar kalau gue kawin, catering gue lo aja yang masak ya,” celetuk Nadia sambil nyengir.
“Apaan sih,” Shavira meringis geli. “Lo mah kalau ngomong suka random.”
Mereka lanjut makan sambil menikmati pemandangan danau. Airnya berkilau kena pantulan matahari, angin sepoi-sepoi bikin suasana adem, ditambah rindangnya pohon di belakang.
Setelah perut kenyang, mereka geser makanan ke pinggir kain. Nadia langsung rebahan nyender di batang pohon, mengeluarkan ponsel.
“Vir, sini rapet dikit. Gue mau bikin video jj. Kalo nggak ikutan lo, nggak aesthetic!”
Shavira ngelus dada, malas tapi nurut juga. Mereka pun mulai cekrek sana sini. Nggak cukup satu, atau dua, tapi sampai tiga puluh kali.
“Eh sumpah, kenapa setiap foto kita kayak alien ya? Padahal gue udah miringin kamera 45 derajat.”
“Ya lo aja yang mukanya emang alien,” balas Shavira, nyengir.
Nadia ngakak sambil melihat hasil foto. “Astaga, dari tiga puluh foto, yang bagus cuma dua. Sisanya bisa buat meme!”
Shavira cengengesan. “Udah biasa. Emang begitu nasib cewek. Foto sejuta, simpan dua.”
“Duh, tiba-tiba gue pengen pipis! Gue pipis dulu ya… bay!”
Belum sempat Shavira membuka mulut, Nadia sudah kabur dengan kecepatan kilat. Rambutnya sampai ngekibrit-kibrit ditiup angin. Shavira cuma bisa geleng-geleng kepala.
“Manusia satu itu… bawaannya kayak lagi ikut lomba lari maraton aja tiap buru-buru,” gumamnya sambil nyender ke batang pohon besar di belakangnya.
Kini sendirian, ia hanya menatap danau di depannya. Airnya beriak pelan, memantulkan langit biru. Bibir Shavira mengulas senyum kecil, terutama saat membayangkan wajah Nadia kalau lagi cerewet nyerocos tanpa jeda.
“Maaf ya, Nad… gue belum bisa jujur sama lo.” ucapnya lirih. Ada raut kecewa terselip di wajahnya.
“Kenapa kamu tidak memberi tahu Nadia?”
Shavira kaget setengah mati. Ia spontan menoleh cepat ke samping. Lelaki itu. Lagi-lagi. Kini sudah duduk santai di sampingnya, punggungnya juga nyender ke batang pohon seolah-olah mereka sedang piknik bareng.
“Ck! Suka-suka gue lah!” Shavira mendengus kesal. “Lagian lo… ngapain sih ngikutin gue terus? Emangnya yang pengen mati gue doang apa? Orang lain nggak ada gitu?”
Lelaki itu hanya mengangkat bahu, ekspresinya datar. “Saya juga nggak tahu kenapa bisa selalu dekat dengan kamu. Kamu pikir saya mau tiap hari nongkrong sama manusia cerewet?”
Shavira mendelik, suara diturunkan jadi bisikan tajam. “Lah, terus? Emangnya lo kalau ke mana-mana nggak pake kehendak sendiri? Apa sistemnya auto-follow gitu?”
Si lelaki lagi-lagi mengangkat bahu tanpa penjelasan.
“Ya ampun…” Shavira menepuk jidatnya. “Gue nyerah deh. Bicara sama lo tuh, rasanya kayak debat sama tembok. Bikin darah naik.”
Beberapa detik mereka terdiam. Angin berhembus pelan, menerpa wajah Shavira. Tiba-tiba ia menoleh, matanya menyipit.
“Eh, nama lo siapa, sih?” tanyanya. “Maksud gue, lo nggak punya nama gitu? Masa iya, setiap kali gue ketemu lo gue harus teriak—WOI? EH? MALAIKAT MAUT? atau CAT MAN? Serius, kedengeran aneh banget di telinga orang kalau ada yang denger.”
Lelaki itu menatap datar, suaranya rendah tapi jelas. “Aku tidak punya nama, karena aku bukan manusia.”
Shavira terdiam sesaat, lalu senyum jailnya muncul. “Sam! Sam aja deh nama lo.”
Alis lelaki itu berkerut. “Sam?”
Shavira mengangguk mantap. “Iya. Simple, gampang dipanggil, nggak ribet. Lagian sepaket sama kucing —sem dan Sam. Kan lucu tuh, kayak brand sabun mandi.”
Lelaki itu hanya menatapnya dengan tatapan flat, jelas-jelas nggak ngerti maksudnya. Shavira malah ngakak sendiri.
“Udah fix, mulai sekarang nama lo Sam. Titik.”
Untuk pertama kalinya, sudut bibir lelaki itu sedikit terangkat, samar sekali. Entah itu senyum atau sekadar refleks. Tapi cukup bikin Shavira bengong sepersekian detik.
“Eh… lo barusan senyum ya?” tanyanya curiga.
Lelaki itu menoleh, wajah kembali datar. “Tidak.”
Shavira mendengus. “Yaelah, udah kayak bocah SD gengsi ketahuan suka sama temen sebangku.”
Suasana pun hening lagi, hanya suara riak danau dan angin yang menemani.