Di dunia Eldoria, sihir adalah fondasi peradaban. Setiap penyihir dilahirkan dengan elemen—api, air, tanah, angin, cahaya, atau bayangan. Namun, sihir bayangan dianggap kutukan: kekuatan yang hanya membawa kehancuran.
Kael, seorang anak yatim piatu, tiba di Akademi Sihir Eldoria tanpa ingatan jelas tentang masa lalunya. Sejak awal, ia dicap berbeda. Bayangan selalu mengikuti langkahnya, dan bisikan aneh terus bergema di dalam kepalanya. Murid lain menghindarinya, bahkan beberapa guru curiga bahwa ia adalah pertanda bencana.
Satu-satunya yang percaya padanya hanyalah Lyra, gadis dengan sihir cahaya. Bersama-sama, mereka berusaha menyingkap misteri kekuatan Kael. Namun ketika Gong Eldur berdentum dari utara—suara kuno yang konon membuka gerbang antara dunia manusia dan dunia kegelapan—hidup Kael berubah selamanya.
Dikirim ke Pegunungan Drakthar bersama tiga rekannya, Kael menemukan bahwa dentuman itu membangkitkan Voidspawn, makhluk-makhluk kegelapan yang seharusnya telah lenyap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 – Akademi Aeryndor
Kereta kerajaan melaju menyusuri jalan berbatu, meninggalkan Desa Luthien yang kian mengecil di kejauhan. Kael duduk di dalamnya bersama Master Orlan, diam menatap keluar jendela. Setiap guncangan roda terasa seperti mengingatkan dirinya bahwa ia baru saja meninggalkan semua yang pernah ia kenal: rumah kecilnya, senyum ibunya, dan kehidupan sederhana yang kini tak akan pernah kembali sama.
“Aku tahu apa yang kau rasakan,” suara Orlan memecah keheningan. “Meninggalkan rumah bukan hal mudah. Tapi ingat, dunia ini lebih luas daripada sekadar satu desa.”
Kael menoleh, masih ragu. “Mengapa aku? Banyak orang di luar sana yang lebih pantas.”
Orlan tersenyum samar. “Justru karena kau berbeda. Dunia ini terbuat dari dua sisi: cahaya dan bayangan. Selama berabad-abad, orang hanya memuja cahaya, melupakan bahwa bayangan juga bagian dari keseimbangan. Kau adalah pengingat akan kebenaran itu.”
Kata-kata itu menancap dalam hati Kael, meski ia belum sepenuhnya mengerti.
Menjelang sore, kereta akhirnya mencapai gerbang raksasa yang menjulang tinggi—pintu masuk menuju Akademi Sihir Aeryndor. Bangunan megah berdiri di atas bukit, dikelilingi tembok batu putih dengan ukiran kuno. Menara-menara tinggi menjulang, sebagian dipenuhi cahaya kristal biru yang berputar pelan di udara.
Kael tertegun. “Ini… seperti kota kecil sendiri.”
“Lebih dari itu,” jawab Orlan bangga. “Ini adalah pusat pengetahuan sihir tertua di kerajaan. Setiap generasi penyihir hebat lahir dari sini.”
Mereka melewati gerbang besar, di mana ratusan murid berkeliaran—ada yang berlatih mengendalikan api di halaman, ada yang membaca gulungan mantra di bawah pohon, dan beberapa bahkan terbang di atas sapu sihir.
Kael merasa dirinya kerdil di tengah semua itu. Mereka semua terlihat hebat… sedangkan aku hanya anak desa dengan kutukan di lengan.
Malam itu, Kael diperkenalkan ke asrama murid baru. Bangunan itu terbuat dari batu abu-abu, sederhana dibandingkan menara megah para pengajar. Di sana ia bertemu banyak wajah baru.
Seorang gadis berambut pirang keemasan menghampirinya dengan senyum ramah. “Kau murid baru juga? Aku Lyra.”
Kael mengangguk canggung. “Aku… Kael.”
Lyra menatap tanda hitam di lengannya yang tersembunyi sebagian oleh kain. “Kudengar ada murid yang membawa sihir bayangan… itu kau, ya?”
Kael terdiam. Ia sudah terbiasa dengan tatapan curiga, siap untuk dijauhi lagi. Namun, Lyra justru tersenyum lebih hangat. “Aku tak peduli apa katamu. Aku hanya penasaran. Setiap kekuatan pasti punya alasan untuk ada, kan?”
Kael tertegun. Untuk pertama kalinya, seseorang melihatnya bukan dengan ketakutan, tapi dengan rasa ingin tahu yang tulus.
Hari-hari awal di akademi tidak mudah. Para pengajar memperkenalkan dasar-dasar sihir: meditasi, pengendalian energi, dan pemanggilan elemen. Murid lain dengan mudah memunculkan percikan api atau bola cahaya, sementara Kael berkeringat hanya untuk membuat bayangan di sekitarnya bergetar sedikit.
Bisikan pun mulai terdengar di kelas.
“Dia bahkan tidak bisa mengendalikan kekuatan terkutuknya.”
“Mungkin dia hanya kebetulan meledak di desa itu.”
Kael menunduk, frustrasi. Namun Lyra selalu berada di sampingnya, memberi semangat. “Jangan dengarkan mereka. Semua kekuatan butuh waktu. Bahkan matahari tidak terbit sekaligus, kan?”
Suatu malam, ketika Kael berlatih sendirian di halaman belakang, tanda di lengannya bersinar lebih terang. Bayangan pohon di dekatnya mulai bergerak liar, berubah bentuk menjadi cakar hitam yang menghantam tanah. Kael hampir kehilangan kendali, tapi suara lembut menghentikannya.
“Tenangkan napasmu.”
Orlan berdiri di sana, mengamatinya.
“Kekuatan bayangan berbeda dengan cahaya. Cahaya menuntut kendali, bayangan menuntut penerimaan. Jangan melawannya, tapi rangkul dia.”
Kael menutup mata, mencoba mengingat kata-kata itu. Perlahan, bayangan itu surut, kembali menyatu dengan tanah.
Saat ia membuka mata, Orlan menatapnya dengan bangga.
“Kau baru saja mengambil langkah pertamamu sebagai penyihir sejati.”
Kael terdiam lama, sebelum akhirnya tersenyum tipis. Untuk pertama kalinya sejak meninggalkan desanya, ia merasa mungkin dirinya memang punya tempat di dunia ini.
Namun jauh di menara tertinggi, seseorang lain memperhatikan. Seorang murid senior, matanya tajam dan penuh iri, bergumam lirih:
“Bayangan itu… tidak boleh dibiarkan tumbuh. Jika dia naik terlalu tinggi, aku akan memastikan dia jatuh.”