Mimpi bukan selesai saat sudah meraihnya, tapi saat maut telah menjemput. Aku tidak meninggalkan teman ataupun orang yang ku sayang begitu saja, melainkan mencetak sebuah kenangan terlebih dahulu. Walaupun akan meninggalkan bekas di situ.
Maaf jika aku pergi, tapi terimakasih atas semua kenangan yang kita cetak bersama. Suara tawamu akan selalu bergema, dan senyumanmu akan selalu menjadi canduku. Rela itu tidak semudah sebuah kata saja. Tapi hati yang benar-benar tulus untuk melepaskannya.
Mengikhlaskan? Harus benar-benar melepaskannya dengan merelakannya setulus mungkin.
Seperti biji-biji dandelion yang berhamburan tertiup angin, setelah usai di suatu tempat. Mereka akan kembali tumbuh di berbagai tempat. Entah kita akan dipertemukan kembali atau tidak, setidaknya aku pernah berbahagia karena dirimu.
Ada sebuah kata-kata yang bertuliskan "Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan," tapi dengan perpisahan bukan berarti aku dapat melupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyimpan kenangan
..."Kenyamanan juga dirasakan di tempat yang menyimpan banyak kenangan"...
...•...
...•...
Sebuah tempat yang menyimpan berbagai kenangan dengan kesederhanaannya. Gazebo, itulah tempatnya. Gazebo biasa yang terdapat di tepi pantai menghadap laut lepas dengan berbagai kenangan yang menempel pada kayu-kayunya yang kokoh.
Dengan Arsa, Arden, dan juga Kezia, mereka berkumpul di gazebo. Beberapa diantara mereka, yaitu Garrel, Arzan, dan Naufal, mereka sedang bermain air dengan Arsa dan Arden di sana. Sheila kali ini tidak bersama Sean, tapi seakan-akan menempel terus kepada Zea. Ia sangat-sangat merindukan sosok Zea yang selalu ada untuknya.
Kezia turun menghampiri Arden dan yang lainnya yang sedang bermain untuk ikut juga. Suara tawa Arden kembali pecah saat Naufal terjatuh ke pasir dan bajunya kotor semua kala itu. Naufal hanya ikut ketawa karena itu pertolongan pertamanya.
Arzan dan Garrel pun menghampiri Naufal. Naufal kira temannya akan membantunya berdiri atau apapun itu, ternyata tidak. Mereka berdua mengangkat tubuh Naufal dan akan menghempaskannya ke air laut.
Naufal memekik. Seluruh tubuhnya basah dengan pakaiannya sekalipun. Ia menatap kedua temannya dengan kesal dan akan membalasnya. Menjegal kaki Arzan, setelah itu mengejar Garrel yang berlari menghindar. Arden dan Arsa yang awalnya bermain air jadi ikut serta untuk mengejar Garrel.
Kezia kali ini ia tenang, karena sedang fokus bermain dengan pasir pantai. Sean tersenyum melihat teman-temannya semua kembali seperti ini untuk merasakan kebahagiaan yang sempat terhenti dulunya.
"Ka!"
Sean menoleh menatap Sheila yang sedang menunjuk sesuatu, yaitu seorang penjual es kelapa di bawah pohon. "Bisa tolong beliin? Aku mager jalan ke sana, tolong yaa..."
Sean beranjak dari duduknya dan memesan es kelapa di sana, lalu kembali. Sheila pun bingung, di mana es nya?
"Mana es nya?"
"Nanti juga dikasih," balas Sean duduk di sebelahnya.
Walaupun duduknya bersebelahan dengan Sheila. Tapi gadis itu hanya menempel kepada Zea dengan menyandarkan kepalanya. Seorang gadis dan laki-laki yang mungkin seumur dengan Kezia juga bermain di sana dengan 2 anak kecil. Jika dilihat-lihat, kedua anak kecil tersebut terlihat mirip dan hampir kembar. Apa itu benar kembaran? Yap, benar. Itu Adara, Leon yang baru sampai pantai untuk bermain bersama dengan si kembar Anna dan Thea.
Kezia menoleh saat mendengar suara tawa yang tidak asing dan langsung tersenyum saat itu juga. Ia menghampiri Adara dan Leon di sana. "HEI!"
Adara dan Leon menoleh lalu tersenyum ke arah Kezia yang menghampirinya. "Lagi ngapain di sini?" tanya Adara.
Kezia menunjuk kakak-kakak dan abang-abangnya yang sedang sibuk sendiri di sana. "Main, lo sendiri?"
"Sama, mau join?" tawar Adara.
Kezia mengangguk cepat dan ikut serta dalam kegiatan Anna dan Thea yang sedang bermain pasir dengan peralatan-peralatan bermain yang berbentuk ikan-ikan dan kerang. Kezia mengambil sekrop plastik kecil dan membuat sesuatu di atas pasir.
Zea menatap gerak-gerik Kezia sejak tadi yang terlihat sangat senang hingga tersenyum seakan-akan tiada hilangnya.
...••••...
"Keluar main yuk, Bang!"
Arlan menoleh ke Variel yang sedang menatapnya. "Emang boleh?"
Raut wajah Variel langsung sedih mengingat Gio yang membatasi mereka untuk keluar rumah dan harus belajar menetap di rumah saat libur.
"Biar Abang yang izin," kata Arlan beranjak dari kursi meja belajarnya.
Arlan ragu-ragu saat akan mengetuk ruang kerja Gio, sementara Variel bersembunyi dari balik gorden untuk melihatnya. Setelah yakin, Arlan langsung mengetuk pintu tersebut yang langsung mendapatkan sahutan dari dalam. Variel pun langsung mendekati pintu dan menempelkan telinganya di sana.
"Kenapa?" tanya Gio yang fokus dengan komputernya.
"Aku boleh keluar sama Variel nggak, Pa? Cuman bentar aja kok."
"Sebelum jam dua belas siang kamu sama adik kamu harus ada di rumah."
Arlan langsung mengembangkan senyumannya. "Siap, Pa." Ia keluar dari ruangan dan langsung kaget saat melihat Variel yang tiba-tiba ada di ambang pintu dengan menempelkan telinganya.
"Gimana, bang?" tanya Variel ketika Arlan telah menutup pintu ruang kerja Gio.
Arlan menyunggingkan senyumnya dan mengacungkan jempolnya. "Boleh, tapi cuman bentar."
Variel pun mengangguk paham dan menarik Arlan untuk segera bersiap akan keluar rumah. Tidak membutuhkan waktu lama, abangnya keluar dengan memakai pakaian santai dan menggandeng tangan Variel.
Kedua insan itu berjalan di tepi jalan raya dengan menatap sekitarnya yang sedikit ramai. Banyak pasangan kekasih dan anak-anak muda yang sedang bermain keluar juga yang entah bersama keluarganya, ataupun sahabatnya. Sebuah senyuman tercetak jelas di wajah mereka. Arlan merasakan tangannya ditarik oleh Variel dan menoleh. "Kenapa?"
Variel menunjuk penjual arum manis di depan toko.
"Mau?" Variel mengangguk.
Arlan pun membelikan Variel arum manis dan tersenyum saat adiknya langsung melahap gulali tersebut. Mereka melanjutkan jalannya kembali menuju taman terdekat. Banyak anak kecil berlalu-lalang dengan orangtuanya dan tertawa karena candaan dari sang ayah. Raut wajah Arlan dan Variel tidak akan sedih ataupun iri melihat ini. Melainkan ikut bahagia.
Walaupun tidak merasakan hal sama seperti orang lain di luar sana, tapi setidaknya mereka bisa ikut bahagia karena bersyukur bisa hidup di dunia.
"Bang! Dorong aku yang kenceng," pinta Variel menduduki ayunan.
"Pelan-pelan aja, takutnya nanti jatuh kan sakit."
"Nggak apa-apa, kan masih bisa bangkit. Tenang aja, aku nggak bakalan nangis kok," ujar Variel meyakinkan abangnya.
Arlan mendorong pelan ayunan dengan tersenyum menatap punggung Variel. Ia menambahkan kecepatan saat samar-samar suara tawa kecil Variel terdengar. Seorang gadis menatap Arlan dan Variel dengan bingung yang memegangi es krimnya. Dialah Titania, sekretaris kelas.
Titania baru saja menikmati waktu-waktu sendirinya untuk healing mengelilingi taman kota dan membeli berbagai makanan junk food di jejeran toko-toko kecil. Ia berakhir membeli es krim dan menikmatinya di taman terdekat.
Titania sempat bingung dengan seorang pemuda yang tampak tidak asing baginya. Ternyata benar, setelah menyipitkan matanya, itu memang benar Arlan. Tapi siapa anak kecil yang tengah bermain dengannya? Titania tidak tau.
Tidak ingin terus-menerus di tempat ini, Titania beranjak dan meninggalkan taman dengan menyelempangkan tasnya di bahu.
...••••...
"Nama kakak siapa?" tanya Thea menatap Kezia.
"Panggil aja kak Kezia"
"Ohh.. kak Kezia"
Kezia mengangguk-anggukan kepalanya dan terus fokus pada pasirnya. Garrel dan Arzan yang awalnya kejar-kejaran pun ikut join bersama Anna yang sedang bermain pasir dengan membentuk bintang laut dari cetakannya. Garrel mengambil cetakan ikan buntal dan ikut serta menjejerkan cetakan-cetakan pasir berbentuk ikan di sana.
Sean menahan tawanya lalu mengeluarkan ponsel untuk memotret momen seperti ini. Ia membuka kamera dan memperdekat objek dengan zoom. Setelah selesai, ia mengirimkan foto tersebut ke nomor Mama Garrel.
Tiba-tiba seorang penjual es kelapa dan seorang laki-laki juga membawa nampan berisi es kelapa pesanan Sean lalu meletakkannya di gazebo. Sheila tersenyum juga saat itu, Sean sangat peka terhadap teman-temannya. Tidak hanya dirinya saja yang dibelikan Sean, tapi teman-temannya yang lain juga.
Arzan dan Arden langsung menghampiri gazebo dengan terbirit-birit karena melihat es kelapa di sana. Ini yang Arden inginkan, bukan seperti Arzan yang kehausan. Naufal juga ikut menghampiri gazebo dengan keadaan basahnya.
"Lo bawa baju ganti?" tanya Zea.
Naufal hanya menggeleng dengan menyeruput es kelapanya. Tiba-tiba ponselnya berdering dengan keadaan basah pula dan menampilkan sebuah panggilan telepon masuk dari Fino. "Kenapa, Pa?"
"Kamu ke rumah sakit dokter Farhan sekarang! Mama kamu mau lahiran ini,"
Naufal langsung memutuskan panggilannya dan meletakkan esnya dengan raut wajah panik. "Nyokap gua lahiran."
Teman-temannya langsung membulatkan matanya spontan kaget dan akan ikut serta. Kezia yang awalnya sedang seru bermain langsung mendengar suara keributan di gazebo dan langsung menghampirinya. "Kenapa? Ada apa?"
"Mama Naufal lahiran," jawab Sean menggambil ponselnya.
"Tante Rania?" Sean mengangguk.
"Kamu di sini aja nggak apa-apa, kan? Tolong jagain Arsa sama Arden juga."
Kezia hanya mengangguk paham karena mengerti suasana dan keadaan yang sedang genting ini. "Kalau udah selesai kabarin aku, ya?"
Sean tersenyum simpul dengan mengelus rambut Kezia dan berlalu menghampiri teman-temannya yang sedang berlari meninggalkan pantai.
"ZIA! BOLEH PAKE MOBIL KALANDRA NGGAK?" Izin Garrel dari sisi jalan dengan berteriak.
"IYA! KUNCINYA ADA DI LACI MEJA BELAJAR PALING ATAS DI KAMAR BANG EZRA!"
Garrel langsung berlari setelah mengacungkan jempolnya kepada Kezia. Hanya 2 mobil yang mereka gunakan agar tidak berdesakan di mobil Sean, maka dari itu Garrel meminjam mobil milik Ezra.
Kedua mobil tersebut melintas dengan kecepatan tinggi karena jalan juga sedang senggang seperti ini. Naufal meremas tangannya karena khawatir dan takut dengan Rania yang sedang berjuang mati-matian di dalam ruangan serba putih tersebut.
Naufal terus-menerus memanjatkan doa untuk Mamanya agar persalinan berjalan dengan lancar. Sementara itu, di ruangan persalinan sedang bising karena dokter dan para suster yang menyemangati Rania agar tetap berjuang dengan Fino yang menggenggam erat tangan istrinya. Keringat sangat penuh dan terus bercucuran di pelipis istrinya dengan suara nafas yang tersengal-sengal.
"Ayo, Bu. Terus-terus! Kepalanya sudah mulai terlihat," kata dokter tersebut.
"Ayo, sayang. Kamu pasti kuat!" Fino semakin erat menggenggam tangan tersebut dengan sedikit getaran yang hebat.
"Nafasnya dikontrol ya, Bu. Ambil nafas pelan-pelan.... dan sekarang dorong!" instruksi dokter tersebut.
Di sisi lain, Naufal celingak-celinguk mencari ruang persalinan Mamanya. Setelah menemukannya, ia ditahan oleh seorang perempuan yang sedang berjaga di ruangan tersebut. "Maaf, didalam sedang dalam keadaan genting dan tidak dapat diganggu. Silahkan menunggu terlebih dahulu sampai lampu merah padam di atas pintu."
"Tapi saya anaknya, saya putranya! Saya mau menyemangati mama saya, boleh, kan?" Naufal sudah sangat kalang kabut saat itu juga. Tangannya bergerak karena ketakutannya.
"Apa benar bersaudara Naufal Kiano?"
Naufal mengangguk cepat. "Iya, benar! Saya sendiri. Saya boleh masuk, kan?"
"Silahkan."
Naufal langsung masuk dan mendapatkan suara nafas Rania yang sedang berjuang dari balik gorden. Ia langsung membukanya dan menampilkan Rania yang sedang berjuang dengan para suster dan dokter. Tidak tertinggal, keringat juga bercucuran dari pelipisnya Fino yang menyalurkan kekuatannya kepada istri tercinta.
"Mama!"
...••••...
...TBC....