Xandrian Elvaro, pria berusia 30 tahun, dikenal sebagai pewaris dingin dan kejam dari keluarga Elvaro Group. Sepeninggal ayahnya, ia dihadapkan pada permintaan terakhir yang mengejutkan: menikahi adik tirinya sendiri, Nadiara Elvano, demi menyelamatkan reputasi keluarga dari skandal berdarah.
Nadiara, 20 tahun, gadis rapuh yang terpaksa kembali dari London karena surat wasiat itu. Ia menyimpan luka masa lalu bukan hanya karena ditinggal ibunya, tetapi karena Xandrian sendiri pernah menolaknya mentah-mentah saat ia masih remaja.
Pernikahan mereka dingin, dipenuhi benteng emosi yang rapuh. Tapi kebersamaan memaksa mereka membuka luka demi luka, hingga ketertarikan tak terbendung meledak dalam hubungan yang salah namun mengikat. Ketika cinta mulai tumbuh dari keterpaksaan, rahasia kelam masa lalu mulai terkuak termasuk kenyataan bahwa Nadiara bukan hanya adik tiri biasa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lina Hwang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka Itu Masih Ada
Pagi itu, matahari menembus kaca besar di sisi timur perpustakaan keluarga Elvaro. Cahaya keemasan jatuh membentuk pola di lantai marmer, menyapu rak-rak tinggi berisi buku tua yang berdebu. Udara di ruangan itu terasa hangat dan sepi, seperti tempat persembunyian rahasia dari dunia yang sibuk.
Di antara semua ketenangan itu, duduklah Nadiara di sofa berlapis beludru abu. Buku besar terbuka di pangkuannya, tapi matanya tidak menatap isi halaman. Jari-jarinya justru sibuk mengusap lembaran kertas tua yang diselipkan di sela-sela buku sebuah surat kecil, ditulis dengan tulisan tangan remaja yang sedikit bergetar tapi penuh rasa.
"Untuk Xandrian, kakak tiriku yang selalu membuat jantungku berdebar"
Jantung Nadiara seolah berhenti sejenak saat membaca kalimat itu. Ia ingat betul kapan surat itu ditulis. Lima belas tahun. Saat usianya baru lima belas. Masa pubertas yang canggung, masa di mana perasaan tumbuh dalam diam, dan cinta tak pernah diajarkan harus jatuh kepada siapa.
Saat itu, Xandrian sudah dewasa, jauh lebih tua, dan begitu sempurna di matanya. Ia ingat betapa ia menatap punggung pria itu saat sarapan, mengamati cara dia berbicara lewat telepon, menahan napas saat mereka berselisih jalan di lorong rumah.
Dan ia menulis surat itu. Surat yang tidak pernah ia niatkan untuk dikirim. Hanya pelarian untuk perasaannya yang tak tertahankan.
Namun hari ini, surat itu muncul di tempat yang tak terduga tersembunyi dalam salah satu buku Xandrian. Buku bisnis tua yang semestinya tak menarik perhatian siapa pun, kecuali sang pemilik.
Tangannya gemetar. Bukan hanya karena isi surat itu, tapi karena fakta bahwa Xandrian menyimpannya. Selama bertahun-tahun. Tidak membuangnya.
Tiba-tiba, suara langkah kaki bergema di lorong kayu menuju perpustakaan. Nadiara buru-buru menyelipkan surat itu kembali ke dalam halaman buku, menutupnya dengan cepat dan menahan napas.
Pintu berderit pelan.
"Ah," suara itu terdengar dalam bariton rendah yang familiar. "Kamu suka tempat ini rupanya."
Xandrian berdiri di ambang pintu, tampak tenang seperti biasa. Rambutnya tersisir rapi, dan kemeja putih yang dikenakannya digulung di bagian lengan. Ia tampak santai, tapi sorot matanya langsung menelusuri ruangan lalu berhenti sejenak pada ekspresi gugup Nadiara.
"Lebih tenang dari kamarku," jawab Nadiara cepat. Terlalu cepat.
Xandrian melangkah masuk, menarik sebuah buku dari rak tanpa melihat isinya. Seolah hanya mencari alasan untuk berada di ruangan itu lebih lama.
"Ada yang mengganggumu?" tanyanya, nada suaranya datar tapi waspada.
Nadiara menunduk sejenak. Jari-jarinya mencengkram erat kain rok yang dikenakannya. Tapi ia tahu ia tak bisa terus berpura-pura.
"Kenapa kamu simpan surat itu?" tanyanya akhirnya. Suaranya pelan tapi tajam.
Xandrian menegang.
"Kamu membacanya," katanya lebih sebagai pernyataan, bukan pertanyaan.
"Kamu menyimpannya. Bertahun-tahun. Kenapa?" ulang Nadiara, menatapnya lurus untuk pertama kalinya pagi itu.
Xandrian tidak langsung menjawab. Ia menatap buku di tangannya sejenak, lalu menaruhnya kembali ke rak.
"Karena..." katanya, menghela napas. "Aku tidak tahu harus bagaimana menjawabnya. Saat itu, kamu masih anak-anak. Dan aku bukan pria yang pantas membalasnya."
Nadiara bangkit dari duduknya. Mata mereka sekarang sejajar. Tidak ada rak atau meja yang menghalangi. Hanya udara, dan sisa-sisa masa lalu yang belum selesai.
"Tapi kamu tidak membuangnya."
Xandrian menatapnya dalam diam.
"Tidak," katanya akhirnya. "Karena surat itu adalah bagian dari luka yang belum selesai. Dan aku tak pernah benar-benar membencimu, Nadiara. Aku hanya takut."
"Tidak benar-benar membenci atau tidak benar-benar bisa menghindari perasaanmu?" tanya Nadiara.
Ia melangkah lebih dekat. Sorot matanya tajam, tapi bibirnya sedikit bergetar.
"Takut apa, Xandrian? Takut karena aku adik tirimu? Atau takut karena kamu merasakannya juga?"
Pertanyaan itu melayang di udara seperti bom waktu.
Xandrian memejamkan mata sejenak. Ia tidak menjawab. Tapi tubuhnya menjawab dengan diam.
"Tahu tidak," lanjut Nadiara, suaranya menurun, getir. "Aku menyimpan perasaan itu begitu lama. Aku pikir, suatu saat akan menghilang. Tapi kamu tidak pernah membuatnya mudah, Xandrian. Kamu terlalu baik untuk aku benci. Tapi terlalu jauh untuk aku cintai."
Xandrian membuka mata. Sorot matanya kini dipenuhi emosi yang jarang ia tampilkan luka, rindu, dan ketakutan. Bukan karena ia jijik. Bukan karena marah. Tapi karena ia tahu Nadiara benar.
"Waktu itu aku menolakmu karena aku pikir itu salah" katanya perlahan. "Tapi sekarang aku mulai mempertanyakan segalanya."
Nadiara melangkah mundur. Luka di matanya kembali terbuka, seperti luka lama yang diiris ulang.
"Kamu terlambat, Xandrian. Yang terluka sudah terlalu dalam," katanya sebelum berbalik dan melangkah pergi.
Langkah kakinya cepat, seolah ingin lari dari semua kenangan yang menyakitkan. Tapi dalam dirinya, luka itu mulai berdarah kembali. Dan ia membencinya bukan karena Xandrian menyimpan surat itu, tapi karena bagian dari dirinya masih ingin mempercayai pria itu.
Xandrian hanya berdiri di sana, menatap kursi tempat Nadiara duduk tadi. Di atas meja, surat itu terselip sedikit dari buku, seolah sengaja dibiarkan terbuka.
Ia mengambil surat itu, membacanya sekali lagi untuk kesekian kalinya dalam hidupnya. Tapi hari ini maknanya lebih dalam. Lebih menyakitkan.
"Untuk Xandrian, kakak tiriku yang selalu membuat jantungku berdebar"
Hatinya terasa lebih berat dari biasanya. Lebih rumit dari bisnis apa pun yang pernah ia tangani. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Xandrian Elvaro merasa tidak tahu harus berbuat apa.
Di luar, angin kembali berhembus melewati jendela kaca besar. Tapi ruangan itu tetap sunyi penuh bayang-bayang perasaan yang belum selesai.