Blurb:
Mia meyakini bahwa pernikahan mereka dilandasi karena cinta, bukan sekadar perjodohan. Christopher mencintainya, dan ia pun menyerahkan segalanya demi pria itu.
Namun setelah mereka menikah, sikap Chris telah berubah. Kata-katanya begitu menyakitkan, tangannya meninggalkan luka, dan hatinya... bukan lagi milik Mia.
Christopher membawa orang ketiga ke dalam pernikahan mereka.
Meski terasa hancur, Mia tetap terus bertahan di sisinya. Ia percaya cinta mereka masih bisa diselamatkan.
Tapi, sampai kapan ia harus memperjuangkan seseorang yang terus memilih untuk menghancurkanmu?
Note: Remake dari salah satu karya milik @thatstalkergurl
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Christopher mengangkat kepalanya secara perlahan, pandangan tajamnya mengunci sosok Mia yang berdiri di ambang pintu.
"Sudah bangun?" suaranya datar namun begitu tajam dan menusuk seperti belati. "Berapa lama aku harus menunggumu?"
Mia tidak menjawab. Kakinya terpaku, seolah tanah di bawahnya telah menahan langkahnya. Tubuhnya begitu bergetar, dan ketegangan yang terpancar dari wajahnya tidak bisa disembunyikan.
Christopher mengangkat alisnya. "Apa kau siput, Lee Mia?" tanyanya dengan nada menyindir. "Atau kau sudah berubah jadi patung?"
Refleks, Mia melangkah mundur dan wajahnya memucat.
Christopher menyipitkan matanya, lalu menghembuskan asap rokoknya dengan tenang. Udara di ruangan itu sudah pekat oleh aroma tembakau, membuat suasana semakin terasa mencekam.
"Apa..." ucapnya sambil tertawa kecil, "kau takut padaku?"
Mia menggigit bibirnya. Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, ia berusaha untuk menahan getaran yang menyergap dirinya.
"Kenapa kau tidak menjawab?" lanjut Christopher, suaranya kini lebih rendah dan dingin. "Mia, apa kau sungguh takut padaku?"
Tidak ada kata yang keluar dari mulut Mia. Ia hanya berdiri terpaku, seolah seluruh pikirannya menjerit untuk ingin kabur, namun tubuhnya tidak lagi mampu bergerak.
Christopher menggeser duduknya dan menepuk-nepuk sisi sofa di sebelahnya. "Kemarilah," katanya. "Duduklah disini."
Mia tetap diam. Matanya mencari jalan keluar, namun tidak ada celah untuknya kabur.
Nada suara Christopher merendah, tapi tekanan dalam ucapannya terasa begitu menguat. "Aku bilang... duduk sini. Sekarang."
Dengan napas berat dan langkah yang nyaris tak terdengar, Mia berjalan mendekat. Ia duduk di ujung sofa, seakan mencoba membuat jarak yang tidak terlihat. Dahinya dibasahi oleh keringat dingin, dan tangannya mencengkeram sisi sofa dengan kuat.
Christopher menyalakan sebatang rokok lagi, mengamati Mia dengan tatapan penuh ejekan. "Kau selalu terlihat berani..." katanya pelan. "Tapi sekarang, kenapa seperti anak anjing yang sedang ketakutan?"
Mia menundukkan kepala. Suaranya nyaris tak terdengar saat ia mencoba membalas, "Aku... aku tidak takut..."
Tawa Christopher terdengar rendah, namun terasa penuh dengan penghinaan. "Kau pikir aku percaya padamu?" Ia mengisyaratkan ke arah Mia dengan kepalanya. "Lihat dirimu... bahkan suaramu saja gemetar."
Matanya kini memerah, namun Mia tetap menggigit bibirnya. Ia menolak membiarkan air matanya jatuh. Ia tidak akan memperlihatkan air matanya di hadapan Christopher.
Pria itu mendekat, dan dengan suara pelan yang mengandung ancaman, ia pun berkata, "Tenang saja. Hari ini aku tidak berniat menyentuhmu." Ia menyeringai tipis. "Asal kau tidak membuatku marah kali ini."
Mia mengangguk kecil. Tapi tubuhnya tetap kaku seperti kayu. Setiap helaan napasnya adalah usaha.
"Kalau kau tahu diri," Christopher melanjutkan sambil bersandar dengan santai, "mungkin kau bisa hidup sedikit lebih tenang di rumah ini."
Udara di ruang tamu semakin sesak. Asap rokok menari di udara, serta mengendap di langit-langit dan menusuk ke dalam paru-paru.
Mia menunduk dan terbatuk pelan.
"Ukhh... Uhukk"
Ia meringis kesakitan, wajahnya semakin pucat. Tapi ia tetap di tempatnya dengan diam, dan menahan segalanya.
Christopher menatap dingin ke arah Mia. Ia menghembuskan asap rokok itu perlahan, lalu meniupnya tepat ke wajah gadis itu tanpa rasa bersalah sedikitpun.
"Kemarin..." ucapnya datar namun tajam, "kau tidak meminta Daniel untuk mengantarkanmu pulang? Diam-diam, kalian masih berhubungan rupanya."
Ia menarik napas panjang, lalu tersenyum miring.
"Aku jadi penasaran... Bagaimana caramu membuatnya tetap melajang selama bertahun-tahun? Taktik macam apa yang telah kau gunakan, hm?"
Mia menggenggam perutnya. Suaranya nyaris tak terdengar saat ia mencoba untuk menjawab.
"Tidak... Uhukk..."
Tubuhnya sedikit membungkuk menahan rasa nyeri. Nafasnya juga tersengal.
Christopher menaikkan satu alisnya, ia merasa terganggu oleh respons yang tidak seperti biasanya.
"Kenapa? Kehilangan kata-kata? Biasanya kau cerewet."
Mia berusaha bicara lagi, namun hanya batuk-batuk saja yang keluar. Tangannya masih menekan bagian perutnya, dan tubuhnya sedikit menggigil.
"Aku... aku..."
Tatapan Christopher tiba-tiba berubah. Ia menyipitkan matanya untuk mengamati dengan saksama. Wajah Mia benar-benar terlihat pucat, keringat dingin pun juga membasahi pelipisnya.
"Hah? Ada apa denganmu sekarang?" tanyanya curiga.
Tiba-tiba, suara langkah dengan tergesa terdengar mendekat. Paman Jack muncul dengan wajah yang sangat panik, ia langsung menghampiri Mia.
"Nona!" serunya. "Wajah Anda pucat sekali… Tunggu sebentar, saya akan ambilkan obat dulu."
Tanpa menunggu izin darinya, Paman Jack berlari ke arah dapur. Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa segelas air dan obat.
"Ini, obatnya," katanya lembut. "Nona muda Mia belum makan apa pun sejak tadi malam."
Christopher berdiri dari sofa. Nada suaranya terdengar tegas, bahkan sedikit mengancam.
"Obat apa itu?"
Paman Jack menatapnya sebentar, sebelum menjawab dengan tenang namun juga tetap waspada.
"Obat perut, Tuan. Semalam ia terlihat tidak enak badan. Saya menyuruhnya untuk beristirahat hari ini. Karena itu, saya tidak berani membangunkannya pagi tadi."
Lalu Christopher menoleh pada Mia. Kerutan di dahinya menunjukkan kebingungan yang mulai muncul.
"Tapi… bukankah Mia pulang lebih dulu semalam?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. "Kenapa kondisi tubuhnya malah memburuk?"
Ia terdiam. Pikirannya sejenak melayang, ia mencoba mengingat kembali apa yang terjadi malam sebelumnya. Wajahnya mengeras saat menyadari sesuatu.
'Apa ini karena aku...?' pikirnya. 'Dia belum makan sejak kemarin...'
Sementara itu, Mia meminum obatnya dengan tangan gemetar. Setelahnya, ia perlahan duduk dan memeluk lagi perutnya, tubuhnya masih bergetar karena rasa sakit yang belum mereda.
Beberapa menit kemudian, Paman Jack datang lagi dengan semangkuk bubur hangat ditangannya.
"Cobalah makan ini, Nona," ucapnya lembut. "Perut Anda tidak boleh dibiarkan kosong."
Mia mencoba tersenyum, meski senyum itu tampak terlihat lemah.
"Terima kasih, Paman," bisiknya.
Christopher masih berdiri di tempatnya. Ia menatap Mia dengan tajam, namun kali ini tatapannya bukan hanya dipenuhi oleh kemarahan, ada sesuatu yang samar di baliknya, seperti rasa bersalah yang belum sempat diakui.
Paman Jack mencuri pandang ke arah majikannya itu dengan ragu-ragu.
'Apa yang sebenarnya ingin Tuan Christopher lakukan?' batinnya. 'Tidak cukupkah penderitaan Nona Mia selama ini…?'
Asap rokok perlahan menghilang di udara, namun bayangan luka yang menggantung di antara mereka belum juga pergi.
Mia menatap mangkuk bubur hangat yang berada di tangannya. Uapnya masih mengepul, namun rasa sakit di dadanya justru dingin dan menyesakkan. Ia mendongakkan kepala perlahan, menatap pria di hadapannya dengan mata yang kehilangan cahaya.
"Aku pikir…" ucapnya pelan, "kau tidak akan kembali ke sini lagi."
Christopher berdiri dengan tubuh tegaknya, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Tatapannya terlihat datar dan tidak menunjukkan emosi sedikit pun.
"Ibu sudah kembali dari Australia," jawabnya singkat. "Besok kita harus pergi ke rumah utama. Kakek dan ayahmu juga akan hadir disana."
Mia meletakkan sendoknya perlahan ke sisi mangkuk itu. Lalu senyum pahit terukir di wajahnya.
"Lalu? Apa aku harus berpura-pura bahwa pernikahan ini berjalan dengan baik-baik saja?"
Christopher mengangkat alisnya, seolah mendengar pertanyaan yang terlalu naif itu.
"Benar. Di depan kakekku, kau hanya perlu bermain peran sedikit." Ia menyipitkan matanya. "Bukankah kau pandai dalam hal itu?"
Mata Mia menajam. Suaranya masih pelan, namun ada ketegasan yang muncul dari ujung kalimatnya saat ini.
"Jadi… Kau membatalkan niat untuk menceraikanku?"
Tatapan Christopher berubah tajam, seperti bilah pisau yang menghunus dalam diam.
"Kau jangan salah paham," tukasnya dingin. "Aku tidak peduli apa yang kau lakukan saat tidak ada orang lain. Tapi di depan kakekku, aku tidak ingin kau membuat masalah dihadapannya."
Ia kembali mengisap rokoknya, lalu menghembuskan asap ke arah lain dengan tenang.
"Kalau kau berani bermacam-macam, aku tidak akan ragu membuat aib di depan ayahmu."
Mia menunduk. Suaranya sangat pelan, hampir tenggelam didalam ruangan yang terasa hening.
"Aku mengerti…"
Christopher menatap Mia beberapa detik lebih lama. Gadis itu terlihat sangat lemah, tubuhnya terlihat lunglai, namun ia tetap patuh. Ada sesuatu dalam sorot matanya, sebuah keraguan yang sekejap muncul, namun segera ditepisnya.
Lalu ia melirik jam tangan peraknya.
"Aku ada urusan. Paman, tolong jaga dia," ujarnya sambil berbalik.
"Baik, Tuan Chris," jawab Paman Jack singkat.
Christopher berjalan menuju pintu, langkahnya mantap dan tegas. Ia membuka daun pintu dengan satu tangannya, lalu menutupnya perlahan tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.
Keheningan menggantung di udara.
Beberapa saat kemudian, sosok Bibi Im muncul dari balik pilar. Matanya sudah sembab, ia menatap Mia dengan tatapan yang dipenuhi rasa iba.
"Nona…" bisiknya lirih, "Anda sudah terlalu lama menderita di rumah ini…"
Mia tidak menjawab. Ia hanya memandangi bubur yang mulai mendingin di hadapannya. Napas panjang ia hela, tatapan matanya kosong, seakan tubuh dan jiwanya telah lama berpisah arah.
-🐣-
Pagi itu, suasana rumah Christopher masih dibungkus dinginnya udara musim gugur. Cahaya matahari menembus kaca besar di ruangan tengah, menciptakan siluet hangat yang kontras dengan hati yang beku di dalamnya.
Mia perlahan menuruni anak tangga dengan langkah hati-hati. Ia mengenakan gaun putih sederhana yang jatuh dengan anggun hingga lututnya, dan dibaluti mantel biru lembut yang membingkai tubuh mungilnya. Rambut poninya sedikit panjang, guna untuk menutupi sebagian dahinya. Kulitnya yang putih bersih dan ekspresi polosnya membuatnya terlihat seperti gadis SMA.
Christopher yang berdiri di depan pintu tengah memasang jam tangannya terhenti sesaat. Matanya menatap Mia tanpa berkedip, sorotnya tampak asing bahkan bagi dirinya sendiri.
'Apa-apaan… kenapa dia terlihat seperti dulu?' batinnya menggema.
Mia menghampirinya tanpa ragu, lalu berdiri di depan pria itu dengan wajah datar.
"Ada apa? Kenapa menatapku seperti itu? Bukankah kita harus pergi sekarang?" tanyanya dengan nada datar.
Christopher mengalihkan tatapannya dengan cepat dan mengklik lidahnya.
"Tch. Ayo."
***
Mesin mobil melaju stabil di jalanan kota, namun suasana di dalam kabin begitu tegang dan terasa sunyi. Tidak ada percakapan apapun, hanya ada suara gesekan ban dan desahan napas yang tertahan.
Mia duduk kaku di sisi penumpang dan tubuhnya menegang. Ia menatap kosong ke arah jendela, seolah menjauhkan pikirannya dari realita yang menggigit.
Christopher yang duduk di kursi kemudi melirik ke arahnya, lalu mendecak pelan.
"Huh… kenapa kau tidak memotong rambutmu?" tanyanya tiba-tiba.
Mia tetap diam. Ia menarik napas dalam-dalam untuk menahan emosi yang mulai menggelegak di dadanya.
"Sekarang kau berdandan dan tampil seperti itu. Kau senang dengan penampilanmu sekarang? Sengaja, ya? Agar banyak pria yang menatapmu?"
Nada suara Christopher tajam.
Mia menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia tidak ingin menjawabnya, tapi rasa sakit dalam dadanya mulai menguar tak tertahankan.
"Hah? Kau tuli? Aku sedang berbicara padamu, Mia!"
Akhirnya, Mia menoleh perlahan. Tatapannya tampak tenang, namun suaranya menyimpan luka yang tidak terlihat.
"Aku membiarkannya panjang… untuk menutupi luka di dahiku."
Christopher mengerutkan dahi. Suara mesinnya terus menderu pelan, tapi udara di dalam mobil seketika membeku.
"...Luka?"
Mia mengangguk pelan. Senyumnya tipis dan begitu getir.
"Setiap kali aku bercermin… aku tidak sanggup untuk melihatnya. Jadi aku menutupinya dengan rambutku."
Hening.
Christopher menahan napas sejenak. Rahangnya mengeras, matanya menatap lurus ke jalanan, seolah menolak menanggapi apa yang baru saja ia dengar.
"Sungguh sangat menyedihkan," katanya akhirnya. "Kau memang terlalu lemah."
Mia tidak menjawab. Ia hanya menunduk kembali dan tangannya menggenggam mantel dengan erat, seolah itu adalah satu-satunya pelindung yang tersisa.
Christopher menghela napas berat lalu melirik ke arahnya dengan tatapan dingin.
"Dengar baik-baik. Saat kita tiba di rumah utama, sebaiknya kau bersikaplah manis padaku."
"Aku mengerti," jawab Mia singkat.
"Jangan membuatku malu di depan keluarga. Kau tahu apa yang bisa kulakukan jika kau tidak menurut padaku, bukan?"
"Aku tidak berniat membuat masalah denganmu. Aku akan melakukan apa yang kau minta."
Christopher mengalihkan pandangan ke luar jendela, seolah segalanya telah selesai. Tapi bagi Mia, justru sebaliknya. Ada gelombang perasaan yang mengaduk di dalam dadanya, dan ia tidak bisa lagi membendungnya.
Ia memejamkan mata sesaat, berusaha menahan air matanya yang hampir jatuh.
Bukan karena kata-katanya... tapi karena sebuah harapan.
Harapan yang dulu tumbuh, lalu ia sendiri kubur dalam-dalam.
Dan kini, luka itu… belum juga sembuh.
.
.
.
.
.
.
.
- 𝐓𝐁𝐂 -
Mia Mia cinta butamu membuat dirimu terluka kamu jg sangat goblok ,, wanita kaya kamu tuh ga bisa move on ga bisa sukses terlalu myek2 kamu ,,so enjoy lah