Di tepi Hutan Perak, pemuda desa bernama Liang Feng tanpa sengaja melepaskan Tianlong Mark yang merupakan tanda darah naga Kuno, ketika ia menyelamatkan roh rubah sakti bernama Bai Xue. Bersama, mereka dihadapkan pada ancaman bangkitnya Gerbang Utama, celah yang menghubungkan dunia manusia dan alam roh.
Dibimbing oleh sang bijak Nenek Li, Liang Feng dan Bai Xue menapaki perjalanan berbahaya seperti menetralkan Cawan Arus Roh di Celah Pertapa, mendaki lereng curam ke reruntuhan Kuil Naga, dan berjuang melawan roh "Koru" yang menghalangi segel suci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hinjeki No Yuri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabut Ungu Menandai Terbukanya Tirai Antara Dua Dunia
Di atas lengkungan puing Kuil Naga yang retak, sisa-sisa cahaya penyegel terakhir bergoyang di kegelapan yang semakin menebal. Batu-batu raksasa, terukir dengan runa kuno, kini hanya memancarkan sinar redup sebelum akhirnya padam kegelapan yang menyelimutinya. Liang Feng berdiri di atas pilar yang tumbang, pedang moonsteel terhunus di tangan bersarung, setiap otot menegang sambil menelusuri tiap sudut bayangan yang hancur itu. Nafasnya pendek dan terengah-engah udara di sekitarnya dipenuhi aroma tajam dari dupa terbakar dan rasa logam perak dari darah yang tumpah.
Lalu, datanglah hawa dingin. Angin, yang tak sepenuhnya beku maupun hangat, menerobos lorong-lorong temple yang sudah hancur. Dari celah ubin marmer dan retakan dinding, muncul uap yang bergerak bagai asap hidup. Ia kental seperti kabut pekat, namun bersinar dengan kilau ungu yang tampak ganjil. Kabut itu tertahan di atas lantai, melingkari pilar-pilar patah seolah ular-sulut yang tak henti-hentinya merayap. Dalam cahaya remang-remang, ia tampak seperti bintang-bintang yang terkunci dalam gerakan melingkar dan titik-titik cahaya yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya sendiri.
“Feng… apa itu?” suara Bai Xue bergema di dalam pikirannya, bukan terucap dengan kata, melainkan terpancar langsung ke benaknya, begitu penuh dengan ketakutan.
Liang Feng membeku. Tanda naga di dadanya berdenyut seirama dengan jantungnya. Dengan suara lirih ia membalas, “Ini bukan kabut biasa. Ini… Kabut Ungu. Tirai antara dunia kita dan Alam Roh sedang terkoyak kembali.”
Begitu kata-katanya terucap, kabut ungu itu menggulung lebih intens. Tendril panjang merambat seperti jari-jari bayangan, meraih ke atas menuju langit-langit yang runtuh dan melilit pilar-pilar yang tersisa. Dari dalam kabut, bentuk-bentuk kabur mulai terbentuk, siluet pucat berlapis cahaya bulan, menetes seperti lelehan perak cair, lalu berubah wujud menjadi makhluk mengerikan yaitu kerangka kurus berbalut jubah compang-camping, binatang bersayap dengan mata kosong bagai lubang malam, dan entitas hibrida yang menentang hukum alam. Satu per satu, mereka menembus celah realita dan merayap masuk ke kuil yang ternodai, membawa kecemasan merintih yang merasuk hingga ke tulang.
Liang Feng mengatup rahang, seluruh tubuhnya menegang bagaikan busur terisi panah. Jika celah ini tak segera ditutup, energi gelap dari dunia roh akan membanjiri alam mereka dan memadamkan nyala hidup tanpa ampun. Ia mengangkat pedangnya, bilah moonsteel terpahat sigil Naga Azure. Runa-runa di tepi pedang berpendar hijau zamrud, selaras dengan tanda di dadanya.
“Kita harus bertahan!” teriaknya, suaranya bergema di ruang hampa. “Nenek Li, segel celah itu! Bai Xue dan aku akan menahan mereka!”
Bai Xue merunduk cepat, bulu peraknya berkilau remang-remang di bawah puing kuil. Mata emas cairnya menyelinap tajam, penuh dengan tekad. Ia memanggil perisai energi bercahaya terang mengelilingi cakarnya, sebuah penghalang kristal hidup. Dengan raungan rendah, ia menghadapi barisan roh-roh yang sedang merangkak maju.
Liang Feng melesat ke depan, menabrak wraith pertama. Bentuknya mirip kucing, cakarnya mengalirkan cairan ungu pekat. Ia menghindar gesit, menancapkan sepatu botnya di debu. Sekali ayunan melintang, pedang memisahkan bahu roh itu. Ia melolong mengerang saat sosoknya larut menjadi partikel cahaya ungu yang segera tersebar dan sirna.
Namun tiap roh yang dibasmi diikuti dua roh baru yang berdesakan masuk. Sosok bersisik seperti ular dengan rambut sisik, wanita bergaun sutra hitam yang menelan cahaya, dan bahkan anakan naga berkepala dua keluar dari kabut. Mereka menyerang perisai Bai Xue, cakarnya merobek aura perlindungan itu hingga bergetar.
“Tahan mereka di sini!” teriak Liang Feng saat ia meloncat mendekat. Ayunan pedangnya melahirkan gelombang api naga hijau-perak. Ledakan cahaya itu menyapu beberapa roh, menjungkirbalikkan mereka. Namun ruang yang tercipta segera diisi makhluk-makhluk baru. Seekor naga muda mencengkeram tepian gelombang itu, lalu meledak menjadi kembang api cahaya sebelum lenyap.
Keletihan menimpa Liang Feng bagai batu besar. Nafasnya terbakar di paru-paru, keringat mengaburkan pandangan. Ia menatap kabut yang menebal di dinding, meresap hingga ke dalam pori-pori batu. Dalam sekejap, suara langkah tergesa terdengar.
“Feng! Bai Xue!” teriak suara serak. Nenek Li muncul dari sela kabut, dengan punggungnya bungkuk termakan oleh usia, namun sorot matanya menyala dengan keberanian tak tergoyahkan. Tangan keriputnya memegang grimoire berkulit usang, ditulis mandala setengah pudar. Di pinggangnya tergantung sebuah piala kecil berisi embun pagi dan kelopak tanaman lotus perunggu berukir simbol kuno.
Liang Feng mengangguk cepat sebelum kembali menoleh ke wajah musuh. “Segel runa itu!” teriaknya. “Kita tahan mereka sejauh mungkin!”
Dari balik reruntuhan samping, para pertapa terakhir Ordo Azure muncul, membentuk lingkaran pelindung di sekitar Nenek Li. Masing-masing membawa nampan berisi kristal starlight, dupa hitam cedar berlimpah aroma nafas phoenix dan gulungan gulungan kitab.
Nenek Li menempatkan piala di atas altar yang retak, lalu menarik napas dalam-dalam. Suaranya, meski parau, mampu menembus suasana hening disekitarnya.
“Kabut ungu yang membuka jalan,
Dua dunia dalam tarian rapuh.
Cahaya insan dan kilau roh,
Kita jalin segel, hentikan arus murka.”
Saat kata terakhir terucap, embun di piala bergetar. Bai Xue meloncat ke udara, auranya memancarkan sinar yang terfokus untuk menusuk kabut ungu. Kelopak lotus perunggu melayang dari tangan para pertapa, mengorbit piala bagaikan karangan cahaya hidup.
Tergerak oleh mantra kuno, Liang Feng menancapkan pedang ke lantai marmer yang retak. Tanda Tianlong di dadanya meledak, gelombang api hijau-putih merambat melalui fondasi kuil. Ledakan energi menyebar, roh-roh melolong saat tubuh mereka menghantam perlindungan cahayanya.
Dengan dentuman terakhir yang menggetarkan, kelopak bunga menutup seperti habis mekar, melepaskan kubah cahaya keemasan yang memancar di seluruh ruangan. Kabut ungu mundur, retak menjadi tentakel yang berkelok sebelum menguap, seakan disedot napas surgawi.
Partikel debu menyebar didalam sinar cahaya yang menembus celah. Satu-satunya suara yang tersisa adalah desisan roh-roh yang terpecah.
Liang Feng menarik pedangnya dan berlutut di samping Bai Xue, yang mendarat anggun lalu mencabut perisainya. Ekor rubah perak itu melilit kakinya sebagai ungkapan solidaritas. Ia memejam matanya sejenak, memetik ketenangan meski napasnya masih panas.
Nenek Li menutup grimoire dengan desahan kelelahan. “Celah pertama tertutup.” ucapnya, suaranya bergetar menahan sisa sihir. “Namun ini baru langkah pertama. Banyak retakan kuno masih tersembunyi di seluruh penjuru dunia.”
Liang Feng berdiri dengan susah payah, menyarungkan pedang saat runanya meredup. Sinar rembulan menari di atas baju zirahnya melalui lengkungan dinding yang lapuk. Ia menoleh kepada Nenek Li. “Terima kasih.” katanya dengan lembut. “Tanpa segelmu, kita pasti akan terlilit kegelapan.”
Mata Nenek Li yang berkerut menampakkan senyum tipis. “Kau dan Bai Xue telah berdiri teguh, bak sisik naga tua. Istirahatlah malam ini. Fajar esok, dewan akan berkumpul. Aku merasakan retakan berikutnya berada di Jantung Rawa.”
Bai Xue melangkah maju, mencium udara dengan hidungnya, masih merasakan sisa aroma kabut ungu. Ia mengeluarkan geraman, ringkasan euforia dan rasa waspada, tatapannya tertuju pada reruntuhan kuil.
Liang Feng mengelus bulu peraknya. “Kita beristirahat malam ini. Besok, kita berangkat ke rawa.”
Liang Feng menatap bukit di kejauhan, di mana alang-alang bergoyang bagai penari hantu dalam kabut pagi. Di balik sana, gerbang berikutnya menantinya, ia tidak tahu akan seberbahaya apa disana.
Ia menghela napas, merasakan udara pagi yang hangat bercampur aroma dupa yang memudar. Di sekelilingnya, para penjaga merapikan senjata dan merawat yang terluka, bersiap menempuh perjalanan selanjutnya.
“Kita menang hari ini.” bisiknya pada Bai Xue, yang menyentuhkan kepala lembutnya ke pahanya. “Namun ujian sejati menanti. Jalan masih panjang, harapan meredup. Tapi selama kita bersatu, bahkan bayangan tergelapun harus tunduk pada cahaya kita.”
Liang Feng dan kawan-kawannya meninggalkan reruntuhan Kuil Naga.