Di Era Kolonial, keinginan memiliki keturunan bagi keluarga ningrat bukan lagi sekadar harapan—melainkan tuntutan yang mencekik.
~
Ketika doa-doa tak kunjung dijawab dan pandangan sekitar berubah jadi tekanan tak kasat mata, Raden Ayu Sumi Prawiratama mengambil jalan yang tak seharusnya dibuka: sebuah perjanjian gelap yang menuntut lebih dari sekadar kesuburan.
~
Sementara itu, Martin Van der Spoel, kembali ke sendang setelah bertahun-tahun dibayangi mimpi-mimpi mengerikan, mencoba menggali rahasia keluarga dan dosa-dosa masa lalu yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan.
~
Takdir mempertemukan Sumi dan Martin di tengah pergolakan batin masing-masing. Dua jiwa dari dunia berbeda yang tanpa sadar terikat oleh kutukan kuno yang sama.
~
Visual tokoh dan tempat bisa dilihat di ig/fb @hayisaaaroon. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini di
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Johannes van der Spoel
Sementara di sisi lain kota, pesta perayaan atas dibukanya pabrik gula baru, terasa hambar bagi Martin van der Spoel.
Pemuda itu berdiri di sudut ruangan, sebelah tangannya memegang gelas kristal berisi anggur merah.
Ia mengenakan setelan jas formal berwarna hitam dengan dasi kupu-kupu, rambutnya disisir rapi ke belakang. Penampilannya sempurna, tapi wajahnya menunjukkan kebosanan yang tidak disembunyikan.
Matanya berkali-kali melirik ke arah pintu masuk, berharap melihat sosok yang ia tunggu, tapi harapan itu semakin pudar seiring berjalannya malam.
Sumi tidak ada di antara para tamu yang datang. Pesta yang tadinya ia nantikan dengan semangat, kini terasa menjemukan.
Alih-alih bergabung dengan kelompok pengusaha Eropa di tengah ruangan, Martin memilih untuk berdiri di dekat sekelompok bupati muda dan pangeran dari keraton.
Ia lebih tertarik dengan percakapan mereka daripada obrolan kolega-kolega Eropanya tentang saham perusahaan atau kebijakan pemerintah kolonial.
"Kabarnya Kangmas Bupati Prawiratama tidak bisa hadir malam ini karena jatuh sakit mendadak," ucap salah satu bupati.
"Saya dengar kondisinya cukup serius," timpal seorang pangeran dari kesultanan kecil di selatan. "Serangan jantung kedua dalam bulan yang sama."
"Jika beliau wafat, tentu Raden Mas Soedarsono yang akan menggantikan, bukan?" tanya bupati ketiga, seorang pria muda berusia sekitar tiga puluh tahun.
"Tentu saja. Dia anak laki-laki satu-satunya dari garwo padmi, pewaris yang sah," jawab yang lain. "Saya dengar Gubernemen juga sudah menyetujui suksesi ini sejak lama."
Martin mendengarkan dengan seksama, telinganya menangkap nama Soedarsono. Ia semakin mendekat, berpura-pura tertarik dengan hidangan di meja dekat kelompok priyayi itu.
"Omong-omong soal Raden Mas Soedarsono," suara bupati muda itu menurun menjadi setengah berbisik, "Saya dengar beliau akan menceraikan Raden Ayu Sumirna."
Jantung Martin berdetak lebih cepat mendengar nama Sumi disebut. Ia mengambil sepotong kue, berdiri lebih dekat untuk mendengar lebih jelas.
"Benarkah?" tanya pangeran kisaran 40-an tahun itu, tampak tertarik. "Setelah belasan tahun pernikahan?"
"Ya, karena tidak memberikan keturunan," jawab bupati muda itu dengan tersenyum sinis. "Dan akan menikah dengan putri dari Bupati Kartasura. Raden Ayu Retnosari, janda cantik berusia tujuh belas tahun. Malang sekali nasib Raden Ayu Sumirna. Saya masih ingat bagaimana dulu saya ditolak oleh keluarga Pranatadirja."
Martin merasakan ketidaksukaan yang aneh mendengar pria itu membicarakan Sumi dengan nada seperti itu.
"Jadi Dimas Adipati pernah melamarnya?" tanya pangeran itu.
"Ya, saya masih sangat muda waktu itu, baru lulus dari OSVIA. Terlebih, saya dulu hanya pewaris ketiga, jadi keluarga Pranatadirja lebih memilih Soedarsono yang akan menjadi pengganti ayahnya."
Ia tertawa getir. "Siapa sangka, lima belas tahun kemudian, perempuan itu akan menjadi janda. Sedangkan saya jauh lebih dulu menjadi bupati karena ayah saya meninggal, sedangkan saudara laki-laki saya yang lebih tua lebih memilih perempuan jelata dan melepaskan posisi sebagai pewaris, sedangkan saudara laki-laki saya yang lain meninggal karena sakit.”
"Apa Dimas tertarik untuk melamarnya lagi?" goda pangeran itu.
Bupati muda itu tersenyum angkuh. "Mengapa tidak? Usianya memang sudah mendekati tiga puluh, tapi Raden Ayu Sumirna masih sangat cantik. Dan kali ini, posisi saya jauh lebih baik."
"Tapi tidakkah Dimas Adipati khawatir?" tanya bupati ketiga. "Selama lima belas tahun, ia tidak memberikan keturunan pada Soedarsono. Mungkin ia tidak bisa memiliki anak."
"Saya sudah punya cukup keturunan," jawab bupati muda itu dengan suara rendah. "Yang ini mungkin hanya untuk bersenang-senang."
Martin tampak kesal mendengar para pria ini membicarakan Sumi seolah ia hanya barang yang bisa diperebutkan.
"Tuan van der Spoel!" sebuah suara memanggilnya dari arah belakang, memutus konsentrasinya dari percakapan para priyayi.
Nyonya Smeets, istri salah satu pengusaha gula, berjalan menghampirinya dengan seorang gadis muda berambut pirang.
"Ah, Nyonya Smeets," Martin membungkuk sopan, mencium tangan perempuan setengah baya itu.
"Saya ingin mengenalkan putri sepupu saya, Elisabeth," ucapnya sambil menggiring gadis muda itu maju. "Baru datang dari Amsterdam bulan lalu. Dia sangat tertarik dengan budaya Hindia."
Elisabeth tersenyum malu-malu, menatap Martin dengan mata biru yang berbinar. Ia cukup cantik dengan gaun satin berwarna pastel dan rambut yang ditata rapi. Tapi Martin sama sekali tidak tertarik.
"Senang berkenalan dengan Anda, Nona Elisabeth," ucapnya sopan, mencium tangan gadis itu yang dibalut sarung tangan putih.
"Mungkin Anda bisa mengajak Elisabeth berdansa?" saran Nyonya Smeets, tersenyum penuh arti. "Atau mengajaknya berkeliling melihat koleksi seni Oriental?”
Martin memaksakan senyum. Ia paham betul niatan perempuan tua ini, berusaha menjodohkannya dengan putri atau kerabat mereka. Sebagai pewaris tunggal bisnis van der Spoel, ia adalah sasaran empuk untuk dijodohkan.
"Maaf, Nyonya Smeets," tolaknya halus. "Saya sedang tidak enak badan malam ini. Mungkin lain waktu?"
Wajah Nyonya Smeets sedikit berubah kecewa, tapi ia tetap tersenyum. "Tentu, Tuan van der Spoel. Lain waktu."
Setelah kedua perempuan itu berlalu, Martin menghabiskan anggurnya dalam sekali teguk. Ia tidak tahan lagi berada di pesta ini.
Tidak ada Sumi, hanya ada pria-pria yang membicarakannya seperti barang lelang dan gadis-gadis Eropa yang berusaha menarik perhatiannya.
Dengan langkah pasti, ia menuju tuan rumah—untuk berpamitan. Setelah berbasa-basi sejenak dan mengucapkan terima kasih atas undangannya, Martin bergegas keluar dari rumah besar itu, lega akhirnya terbebas dari atmosfer yang mencekik.
Di luar, angin malam menyapu wajahnya, membawa kesegaran yang ia butuhkan. Ia melonggarkan dasi kupu-kupunya, menatap langit berbintang dengan pikiran menerawang. Yang ia inginkan hanyalah melihat Sumi lagi, mendengar suaranya, melihat senyumnya.
Dengan cepat, ia menyalakan mesin Ford hitamnya dan melaju meninggalkan kediaman Residen. Namun, alih-alih menuju ke rumahnya, Martin membawa kendaraannya menuju Dalem Prawirataman.
Ketika mendekati gerbang besar berukir milik keluarga Prawiratama, Martin memperlambat laju mobilnya. Gerbang itu tertutup rapat.
Sejenak, Martin tergoda untuk mengetuk gerbang dan mencari tahu di mana Sumi berada. Tapi akal sehatnya mengambil alih.
Tidak bijaksana mencari seorang istri priyayi di tengah malam seperti ini, apalagi jika suaminya tidak ada di rumah. Itu hanya akan menimbulkan skandal yang bisa membahayakan Sumi.
Dengan berat hati, ia kembali melajukan mobilnya menuju rumah keluarga van der Spoel. Besok pagi masih terasa begitu jauh, tapi ia harus bersabar jika ingin melihat Sumi lagi.
Ketika tiba di rumahnya, Martin terkejut melihat lampu-lampu masih menyala terang. Biasanya pada jam segini, rumah sudah sepi kecuali para penjaga yang berpatroli.
Ia memarkirkan mobil di halaman depan dan melangkah masuk, disambut oleh kepala pelayan indo yang telah mengabdi pada keluarganya selama puluhan tahun.
"Selamat malam, Tuan Muda," Pria tua itu membungkuk hormat. "Tuan Besar baru saja tiba dari Semarang. Beliau menunggu Tuan Muda di ruang kerja."
Martin mengerutkan dahi. Ayahnya seharusnya masih di Semarang sampai minggu depan untuk urusan bisnis. Kedatangannya yang mendadak pasti berkaitan dengan sesuatu yang penting—dan Martin punya firasat bahwa itu berkaitan dengan Kedung Wulan.
Dengan langkah berat, ia berjalan menuju ruang kerja ayahnya di ujung timur rumah besar itu. Pintu kayu jati bercat hijau terbuka, menampakkan sosok Johannes van der Spoel yang duduk di belakang meja besar, ditemani sebotol brandy dan cerutu yang menyala.
Johannes van der Spoel adalah pria tua yang berwibawa. Di usianya yang menginjak tujuh puluh tahun, tubuhnya masih tegap, meski rambutnya telah memutih sempurna.
Jenggot putihnya selalu terpotong rapi, menambah aura aristokrat yang menawan. Mata birunya yang tajam—serupa dengan mata Martin—menatap putranya dengan sorot kecewa yang sudah tidak asing lagi.
"Martin," ucapnya dengan suara berat, aksen Belanda yang kental masih terdengar meski telah puluhan tahun tinggal di Hindia. "Kau pulang lebih awal dari pesta?"
"Ya, Papa," jawab Martin singkat, meraih sebotol brandy dan menuangkannya ke gelas tanpa menunggu ditawari. "Aku tidak tahu Papa akan pulang hari ini."
"Aku tidak berencana pulang secepat ini," balas Johannes, menghembuskan asap cerutu ke udara. "Sampai aku mendengar bahwa putraku telah membuka kembali Kedung Wulan."
Martin meneguk brandy-nya, bersiap menghadapi kemarahan ayahnya. "Aku hanya membersihkan sumber mata air yang sangat potensial, Papa. Air di sana tidak pernah kering, bahkan di musim kemarau panjang sekalipun."
"Aku sudah memerintahkanmu untuk tidak mendekati tempat itu!" suara Johan meninggi, kepalan tangannya menghantam meja. "Berapa kali harus kukatakan bahwa tempat itu berbahaya? Dan kau sudah kubelikan tiket untuk kembali ke Belanda! Mengapa kau masih di sini?"
Martin memutar matanya, kebiasaan yang selalu membuat ayahnya semakin marah. "Tiket itu untuk minggu depan, Papa. Aku bahkan belum genap satu bulan di sini. Perjalanan ke Eropa sangat melelahkan. Dan mengenai Kedung Wulan, aku tidak mengerti apa bahayanya."
"Kau tidak perlu mengerti," tegas Johan. "Kau hanya perlu patuh pada perintahku. Sebagai orangtuamu dan kepala keluarga van der Spoel."
"Aku bukan anak kecil lagi, Papa," balas Martin, suaranya tenang namun penuh ketegasan. "Aku hampir dua puluh enam tahun, sudah cukup dewasa untuk membuat keputusanku sendiri."
Johan menghela napas panjang, menatap putranya dengan pandangan lelah. "Kau benar-benar keras kepala!"
Martin mengedikkan bahu dengan santai, tak terpengaruh dengan suara keras ayahnya. "Aku hanya ingin tahu alasannya, Papa. Apa yang membuat Kedung Wulan begitu terlarang? Di sana ada sumber mata air yang tidak pernah kering, bahkan di musim kemarau terpanjang. Itu aset berharga."
"Ada hal-hal yang lebih penting dari nilai ekonomi, Martin," jawab Johan, matanya menerawang jauh. "Tempat itu memiliki sejarah kelam, dan penduduk lokal menganggapnya keramat. Jika kau membuka tempat itu kembali, kau akan membuka luka lama."
"Luka apa? Sejarah apa?" desak Martin, mencondongkan tubuhnya. "Papa selalu menolak menjelaskan. Bagaimana aku bisa patuh jika aku tidak tahu alasannya?"
Johan menatap putranya dengan sorot mata yang sulit diartikan—campuran antara kemarahan, kekhawatiran, dan sesuatu yang lebih dalam. Kesedihan, mungkin?
"Kau tidak perlu tahu semuanya, Martin. Ada hal-hal yang lebih baik tetap tersembunyi." Ia mengambil sebuah amplop dari laci meja dan menyodorkannya pada Martin. "Berangkat ke Batavia lusa dan jangan membantah lagi.”
Martin mengabaikan amplop itu. "Aku tidak ingin kembali ke Eropa, Papa. Tempatku di sini."
kui mangunthalan
😁
konflik makin rumit bila
Martin terus mendekati ndoro ayu Sumi
tapi ya sama Martin aja wis
Raden Soedarsono lepasin saja
banyak istrii ,jarene tresno
ndoro kanjeng Raden ayu ndesak trs
sopo eruh seng mandull kui malah Soedarsono
gk apa2lah jadi janda kamu juga orang kaya,dan ada mas martin yang keyeng sama kamu