Hail Abizar, laki-laki mapan berusia 31 tahun. Belum menikah dan belum punya pacar. Tapi tiba-tiba saja ada anak yang memanggilnya Papa?
"Papa... papa...!" rengek gadis itu sambil mendongak dengan senyum lebar.
Binar penuh rindu dan bahagia menyeruak dari sorot mata kecilnya. Pria itu menatap ke bawah, terpaku.
Siapa gadis ini? pikirnya panik.
Kenapa dia memanggilku, Papa? Aku bahkan belum menikah... kenapa ada anak kecil manggil aku papa?! apa jangan- jangan dia anak dari wanita itu ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Egois
Pelukan itu belum lama terlepas ketika Hail merasakan sesuatu yang tidak biasa. Tangan Evelyn yang bersandar di dadanya terasa panas, jauh lebih hangat dari suhu normal. Ia menunduk, menatap wajah perempuan itu—dan hatinya mencelos.
Wanita kesayangannya itu terlihat pucat. Matanya basah oleh air mata, napas Evelyn pendek, tidak teratur.
"Eve," ucap Hail pelan, satu tangannya berpindah ke kening Evelyn. Panas.
“Kamu demam lagi?”
Evelyn buru-buru menggeleng, menyeka air matanya dan menarik diri, meski tubuhnya limbung.
“Aku nggak apa-apa. Serius. Ini cuma—aku capek aja.” Suaranya lemah, bergetar. Matanya tak mampu menyembunyikan rasa sakit yang perlahan menyerang. Tapi dia berusaha terlihat tenang.
“Kita ke rumah sakit!” Suara Hail tegas.
“Enggak... enggak usah. Aku nggak apa-apa Hail.” Evelyn menoleh cepat, terlalu cepat hingga kepalanya berdenyut.
“Aku... aku harus balik. Aku harus jaga Cala—”
Evelyn terdiam sejenak, menyadari sesuatu yang janggal. Dia menitipkan Cala pada Hail, lalu bagaimana pria ini bisa ke sini tanpa membawa Cala? Dimana gadis kecilnya?
"Dimana Cala? kau-" Evelyn menatap Hail dengan mata memerah penuh makna.
“Cala aman, dia bersama anak-anak bengkel," potong Hail.
Hail memasang kembali save belltnya, mulai melajukan mobil menjauh dari hotel. Tak ada pembicaraan, mata Evelyn sangat berat, kepalanya juga sakit, seperti ribuan jarum menghujamnya bersamaan. Tak berapa lama berkendara, mereka pun sampai di rumah sakit yang letaknya tak jauh dari tempat mereka tadi.
Pria berkemeja hitam itu membuka pintu mobil, lalu bergegas ke sisi penumpang. Membuka pintu mobilnya, dan melepaskan sabuk pengaman Evelyn.
"Aku nggak apa-apa Hail."
Hail hanya diam, dan membantu menurunkan kaki sang wanita dengan hati-hati.
"Hail~"
Pria itu mendesah singkat, ia berjongkok. Sedikit menengadah menatap wajah terindah sang pujaan hatinya.
"Eve, kamu nggak usah khawatir soal apapun. Cala aman bersama Cakra dan yang lain di tempatku, mereka akan menjaga Cala dengan baik. Sekarang kita fokus sama kesehatan kamu."
Evelyn tetap bersikeras. “Tapi—”
“Evelyn.” Nada suara Hail menurun, tapi lebih dalam dan penuh kuasa.
“Kamu bisa keras kepala nanti. Sekarang, masuk ke rumah sakit dulu.”
Evelyn tahu dia kalah. Badannya bergetar, dan dunia mulai berputar pelan di sekitarnya. Ia hanya bisa mengangguk lemah saat Hail membantunya keluar dari mobil.
"Pelan-pelan," ujar Hail sambil memegang erat tangan Evelyn, sementara satu tangan Hail merengkuh bahunya.
Evelyn tidak menjawab, sakit di kepalanya semakin terasa, tubuhnya pun lemas seperti jelly. Ia bahakan harus berusaha ekstra untuk sekedar melangkahkan kaki. Perut bagian bawahnya juga terasa amat nyeri, tap dia masih memilih diam. Tak ingin membuat Hail lebih khawatir.
Pelan tapi pasti, mereka pun memasuki lorong rumah sakit bau antiseptik menyengat. Lampu-lampu neon menyala terang, kontras dengan tubuh Evelyn yang makin melemah. Hail terus menggenggam tangan Evelyn erat, membawa perempuan itu dengan sigap ke meja administrasi.
"Permisi Suster, saya mau memeriksakan istri sa-"
Belum sempat Hail menyelsaikan ucapannya, Tubuh Evelyn tiba-tiba ambruk tepat di pelukan Hail, seolah semua kekuatannya lenyap dalam sekejap. Hail refleks menangkapnya, tapi tubuh Evelyn terlalu lemas—seperti boneka tanpa nyawa.
"Eve?! Evelyn!!" serunya panik, mengguncang pelan bahu gadis itu, tapi tak ada respon selain helaan napas tipis yang makin pelan. Napas Hail memburu, wajahnya memucat seketika. Ia menoleh liar ke sekitar, lalu berteriak ke arah meja pendaftaran.
“Suster! Tolong! Dia pingsan! Tolong cepet!!” Suaranya pecah, nyaris parau, penuh ketakutan. Seorang suster langsung berlari keluar membawa ranjang dorong. Hail berjongkok, mencoba mengangkat tubuh Evelyn yang terasa begitu dingin dan berat. Tangan Evelyn menggantung lemas, wajahnya pucat dengan semburat merah menyala di pipi dan pelipis yang banjir keringat dingin.
"Eve bangun, bangun, buka matamu!" pekik Hail panik.
Dengan suara gemetar dan napas memburu, Hail membantu meletakkan Evelyn di atas ranjang.
“Jangan kayak gini, please… buka mata kamu, Evelyn…” bisiknya putus asa, menggenggam erat tangan gadis itu. Saat ranjang itu mulai didorong masuk ke UGD, Hail berlari kecil di sampingnya, masih memegangi tangan Evelyn yang dingin
Setelah pemeriksaan awal dan tes laboratorium kilat, dokter pun masuk ke ruang IGD dengan ekspresi serius. Menghampiri Hail yang sejak tadi tidak mau beranjak dari sisi Evelyn sedikitpun.
“Pasien mengalami gejala tipus, suhu tubuhnya tinggi dan tekanan darahnya rendah. Dia harus rawat inap untuk observasi dan pemulihan," tutur dokter itu pada Hail.
"Baik Dokter," sahut Hail dengan anggukan kecil.
"Kamar rawat sedang disiapkan, kalau begitu saya permisi dulu."
"Baik, terima kasih Dokter."
Hail menatap wajah pucat Evelyn yang masih terpejam, tangan dingin yang berada dalam genggamannya ia usap dengan lembut dan penuh kasih. Perlahan mata Evelyn terbuka, menoleh lemah, pada Hail yang menumpukan kepalanya di genggaman meraka.
"Hail," ucapnya lemah.
"Eve!"
"Puji Tuhan kau sudah sadar." Hail langsung bangkit dan memeluk erat raga yang masih terbaring lemah di ranjang.
"Aku mau pulang," lirihnya hampir berbisik. Dahi Hail berkerut, ia melonggarkan pelukannya. Menatap Evelyn dengan tajam.
"Kamu harus rawat inap Eve!" tegas Hail.
“Aku enggak mau ngerepotin siapa-siapa...”
“Nggak ada yang merasa direpotkan” potong Hail, duduk di sisi ranjang sambil membetulkan selimut Evelyn yang sedikit berantakan.
“Kamu cuma lagi sakit. Dan tugas orang yang sayang sama kamu adalah jaga kamu.”
Mata Evelyn membelalak, nyaris tidak percaya mendengar kalimat itu dari bibir Hail. Tapi Hail hanya memalingkan pandangan, pura-pura sibuk menatap infus yang baru saja dipasang di tangan mungil itu. Dalam hati, Evelyn merasa... aneh. Hangat. Meskipun tubuhnya panas, tapi hatinya entah kenapa terasa lebih tenang sekarang.
Mungkin... karena Hail di sini.
Dia boleh egois kan ... sekali ini.
jangan sampai ada cakra ke dua lagi yaa pakk...
kamu pasti bisa membuktikan kalau papa nya evelyn gak bersalah. dia hanya di fitnah seseorang.
aduduh untung bgt ya ada ob lewat bawa mie goreng jadi hail gak lama² deh di luar nya
eh kebetulan yg disengaja nih, ada OB bawa makanan. jadi alasan hail tepat
sudah saatnya hail berjuang untuk mencari kebenaran untuk ayahnya Eve