"aku pernah membiarkan satu Kalila merebut milik ku,tapi tidak untuk Kalila lain nya!,kau... hanya milik Aruna!"
Aruna dan Kalila adalah saudara kembar tidak identik, mereka terpisah saat kecil,karena ulah Kalila yang sengaja mendorong saudara nya kesungai.
ulah nya membuat Aruna harus hidup terluntang Lantung di jalanan, sehingga akhirnya dia menemukan seorang laki laki tempat dia bersandar.
Tapi sayang nya,sebuah kecelakaan merenggut ingatan Aruna,sehingga membuat mereka terpisah.
Akankah mereka bertemu kembali?,atau kah Aruna akan mengingat kenangan mereka lagi?
"jika tuhan mengijinkan aku hidup kembali, tidak akan ku biarkan seorang pun merebut milik ku lagi!"ucap nya,sesaat sebelum kesadaran nya menghilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aru_na, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24.
Malam itu, suasana di rumah Naila terasa berbeda. Aruna berusaha keras menyembunyikan kegelisahannya. Ia bermain dengan Anara, membantu Naila menyiapkan makan malam, dan sesekali terlibat obrolan ringan dengan Arza. Namun, di balik senyumannya, pikirannya terus waspada.
Setiap kali Norman terlihat di sekitarnya, Aruna merasakan gelombang kecemasan. Ia sadar, Arza mungkin tidak sepenuhnya menyadari niat jahat Norman, dan itu membuatnya merasa harus lebih berhati-hati.
Setelah makan malam, Arza dan Aruna membantu Naila membereskan dapur. Norman sesekali muncul, menawarkan bantuan, namun selalu ditolak Aruna dengan halus. Ia bahkan menolak untuk berinteraksi lebih jauh dengannya.
"Aruna, Dokter Arza, kalian bisa tidur di kamar tamu," kata Naila sambil menunjuk sebuah kamar di bagian belakang rumah. "Kamarnya tidak terlalu besar, tapi... Hanya itu yang kami punya."
"Tidak masalah ami, terima kasih banyak," jawab Aruna.
Saat mereka melangkah menuju kamar tamu, Aruna sempat berpapasan dengan Norman di lorong. Pria itu menyunggingkan senyum tipis, tatapannya menyiratkan sesuatu yang membuat Aruna bergidik.
Aruna buru-buru masuk ke dalam kamar, merasa lega begitu pintu tertutup di belakangnya.
Di dalam kamar, Aruna langsung menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur, menghela napas panjang. Arza duduk di tepi ranjang, menatap Aruna dengan penuh perhatian.
"Kamu baik-baik saja, Aruna?" tanya Arza lembut, mengusap puncak kepala istrinya. "Kamu terlihat sangat lelah."
Aruna bangkit, menatap Arza dengan tatapan cemas. "Aku... aku tidak nyaman. Aku takut."
Arza mengerutkan kening. "Takut kenapa? Ami dan Anara sangat senang kita di sini."
"Bukan itu," bisik Aruna, merendahkan suaranya agar tidak terdengar dari luar. "Aku takut pada ayah. Ada sesuatu yang salah dengannya. Aku bisa merasakannya."
Arza tampak berpikir sejenak. "Dia memang terlihat sakit, dan dia juga tampak menyesal. Mungkin itu hanya perasaanmu saja, Aruna."
"Tidak," Aruna menggeleng kuat-kuat. "Tadi siang, saat dia meminta kita menginap, aku melihat tatapan matanya. Itu bukan tatapan orang yang menyesal atau sakit. Itu... itu tatapan licik. Aku merasa dia merencanakan sesuatu."
Aruna memegang tangan Arza erat. "Kita harus tetap waspada. Aku tidak ingin Ami atau Anara terluka lagi karena dia."
Arza melihat kekhawatiran yang tulus di mata Aruna. Ia tahu Aruna memiliki intuisi yang kuat. Meskipun ia belum melihat hal yang sama, ia percaya pada istrinya.
"Baiklah, Aruna," kata Arza, menggenggam tangan Aruna. "Aku akan tetap waspada. Kita akan berjaga-jaga. Kamu tidak perlu khawatir sendirian."
Aruna sedikit merasa lega mendengar Arza percaya padanya. Mereka berdua kemudian memutuskan untuk tidak tidur terlalu larut, dan Arza berjanji untuk tetap terjaga jika Aruna merasa tidak nyaman.
Malam itu, tidur Aruna tidak nyenyak. Pikiran tentang Norman dan niat busuknya terus menghantui, membuatnya merasa waspada setiap saat.
Malam semakin larut. Di sisi lain rumah, di ruang keluarga, Norman duduk berdua dengan Naila. Suasana hening, hanya ada suara jangkrik dari luar. Naila sesekali melirik Norman, merasa iba dengan kondisinya.
Norman, yang sejak tadi berusaha menahan hasratnya setelah melihat Aruna, kini merasa nafsu itu semakin membakar.
Bayangan tubuh Aruna terus menari-nari di benaknya, mengalahkan segala rasa bersalah atau penyesalan. Ia tahu Naila adalah kunci untuk mendekati Aruna, dan ia akan menggunakan Naila sebagai pijakan.
"Naila..." panggil Norman, suaranya sengaja dibuat serak, menyiratkan kelemahan. Ia mendekat, meraih tangan Naila. "Aku... aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa ada di sini. Ada banyak penyesalan yang ingin aku perbaiki."
Naila menatap Norman dengan iba. "Aku tahu, mas. Aku sudah memaafkanmu."
"Tapi ada satu hal lagi, nai," bisik Norman, matanya yang tadi terlihat sakit kini memancarkan sesuatu yang lain. "Aku... aku sangat merindukanmu. Sudah lama sekali. Tubuhku... rasanya sangat sakit, tapi juga... sangat hampa." Ia mengusap tangan Naila perlahan, sorot matanya penuh permohonan yang licik.
Naila terkejut dengan sentuhan dan perkataan Norman. Ia menarik tangannya perlahan. "Mas... kita tidak bisa."
"Hanya sekali saja, nai," desak Norman, suaranya memelas. "Sebelum aku tidak punya kesempatan lagi. Aku... aku tidak tahan lagi. Aku ingin... aku ingin merasakan lagi sentuhan yang dulu pernah kita bagi. Anggap saja ini... sebagai perpisahan terakhir."
Naila membelalakkan mata mendengar hal tersebut. Ada rasa takut dan bingung. Namun, melihat Norman yang tampak putus asa dan menyebut-nyebut soal waktu yang terbatas, rasa ibanya kembali menguasai.
Ia merasa kasihan pada Norman yang terlihat sangat menderita. Mungkin, pikirnya, ini adalah permintaan terakhir dari seseorang yang di ambang kematian.
"Tapi, mas... kita tidak punya pengaman," bisik Naila, suaranya lemah, menyiratkan keraguan yang mulai terkikis oleh rasa iba dan rayuan Norman.
Norman tersenyum tipis di dalam hati. Sial, Naila akhirnya tergoda juga. "Tidak apa-apa, nai. Kita tidak perlu itu. Aku hanya ingin merasakan dekat denganmu lagi. Ini hanya sekali saja."
Naila menghela napas panjang, hatinya berperang antara akal sehat dan rasa kasihan. Akhirnya, ia menyerah pada desakan Norman. Ia mengangguk pelan, seolah tanpa daya. Senyum licik Norman semakin lebar di kegelapan malam, rencananya perlahan mulai berjalan mulus.
Malam itu terasa panjang bagi Aruna. Meskipun berada di kamar bersama Arza, ia tidak bisa sepenuhnya tenang. Kekhawatiran akan Norman terus menghantuinya.
Setiap suara kecil dari luar kamar membuat Aruna menegang, firasat buruk terus menyelimuti. Arza sesekali terbangun, memastikan Aruna baik-baik saja, dan memeluknya untuk menenangkan.
Di luar kamar mereka, di tengah kegelapan rumah yang tenang, Norman dan Naila memang berada di kamar mandi. Naila, yang semula diliputi rasa iba dan sedikit kerinduan yang terpendam, kini sepenuhnya pasrah pada situasi yang diciptakan Norman.
Mereka tidak mengeluarkan suara, hanya suara gemericik air sesekali terdengar samar. Norman tampak puas, berhasil mencapai apa yang diinginkannya dari Naila, sebagai bagian dari skema besarnya.
Setelah beberapa waktu, mereka keluar dari kamar mandi. Naila terlihat tidak nyaman, namun wajah Norman menunjukkan kepuasan yang tersembunyi.
Mereka kembali ke ruang keluarga, duduk terpisah, dengan Naila yang kini diliputi rasa bersalah dan penyesalan. Norman hanya duduk diam, membiarkan Naila tenggelam dalam pikirannya, sementara ia sendiri sudah mulai merancang langkah selanjutnya.
Pagi pun tiba. Matahari mulai menyinari sela-sela jendela, namun suasana di rumah Naila terasa lebih dingin dari biasanya. Aruna terbangun lebih awal, dengan Arza yang sudah terbangun di sampingnya. Aruna masih merasa tidak nyaman, ia memutuskan untuk segera mandi dan bersiap.
Saat Aruna dan Arza keluar dari kamar, Naila sudah berada di dapur, menyiapkan sarapan. Wajahnya terlihat lelah dan sedikit pucat, dengan sorot mata yang sulit diartikan.
Ia melirik Norman yang sudah duduk di meja makan, lalu dengan cepat memalingkan muka. Norman sendiri tampak biasa saja, seolah tidak terjadi apa-apa semalam.
Aruna bisa merasakan ada yang tidak beres. Interaksi Naila dan Norman terasa sangat kaku, ada ketegangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, ia memilih untuk tidak berkomentar, hanya membantu Naila menyiapkan hidangan.
Saat mereka sarapan, tidak banyak percakapan yang terjadi. Anara makan dengan tenang, sesekali melirik orang dewasa di sekelilingnya.
Naila terlihat menghindari kontak mata dengan Aruna, dan Norman sesekali melirik Aruna dengan tatapan yang membuat Aruna merasa sangat tidak nyaman.
Setelah sarapan, Arza segera pamit. "Ami, kami harus segera kembali. Terima kasih banyak untuk tumpangannya semalam."
Naila mengangguk lemah. "Sama-sama, Dokter Arza, Aruna. Hati-hati di jalan."
Norman beranjak dari kursinya. "Biar saya antar kalian kedepan."
Aruna menatap Norman, ada rasa tidak sudi. Namun, ia tidak bisa menolak terang-terangan di depan Naila. Arza mengangguk, menerima tawaran itu.
Saat Aruna memeluk Anara untuk berpamitan, ia sempat membisikkan, "Jaga diri baik-baik ya, Anara. Kalau ada apa-apa, telepon Kakak."
Anara mengangguk patuh. Aruna lalu beralih memeluk Naila, merasakan ketegangan dalam pelukan tantenya. Ada firasat yang kuat bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Naila. Ia ingin bertanya lebih jauh, namun waktu tidak memungkinkan.
Dengan langkah berat, Aruna dan Arza akhirnya meninggalkan rumah itu, diantar oleh Norman sampai ke tempat mobil mereka terparkir.
Meskipun secara fisik mereka sudah keluar dari rumah itu, Aruna merasa ada beban besar yang masih menggantung di hatinya. Ia tahu, pertemuan ini hanyalah awal dari serangkaian masalah yang lebih besar.