🍁Ketika kesetiaan diragukan, nasib rumah tangga pun mulai dipertaruhkan.
-
-
Bukan pernikahan impian melainkan sebuah perjodohan. Aini harus menikah dengan anak dari sahabat lama Ayahnya atas permintaan sang Ayah yang tengah terbaring lemah dirumah sakit.
Berbeda dengan Aini yang berusaha menerima, Daffa justru sebaliknya. Dinginnya sikap Daffa sudah ditunjukkan sejak awal pernikahan. Meskipun begitu Aini tetap mencoba untuk bertahan, dengan harapan mereka bisa menjadi keluarga yang samawa dan dapat menggapai surga bersama.
Dan ketika cinta itu mulai hadir, masa lalu datang sebagai penghalang. Keutuhan cinta pun mulai dipertanyakan. Mampukah Aini bertahan ditengah cobaan yang terus menguji kesabaran serta mempertahankan keutuhan rumah tangganya?
📝___ Dilarang boom like, menumpuk bab apalagi sampai kasih rating jelek tanpa alasan yang jelas. Silahkan membaca dan mohon tinggalkan jejak. Terimakasih 🙏🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fajar Riyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 : Namanya Aini, sekarang dialah istriku.
Matanya menatap sendu, hatinya begitu bahagia karena akhirnya bisa bertemu. Bisa dia lihat ada seraut kekecewaan dari tatapan mata Daffa, dan itu terlihat sangat nyata. Meskipun begitu dia tetap mendekat, supaya bisa menatapnya dari jarak yang lebih dekat. Tak ada keraguan sama sekali saat dia melangkah, hingga kini dia sudah berdiri tepat dihadapan mantan suaminya.
"Daf..." suaranya begitu lirih, nyaris tak terdengar malah.
Ekspresinya masih tak berubah, masih tetap dingin meskipun dia sempat terkejut memang. Tak ada sapaan hangat menyapa layaknya seseorang yang sudah lama tidak berjumpa, hanya keheningan yang seolah datang mengusik kembali sakit dihati yang memang belum sepenuhnya hilang.
"Tunggu didalam mobil dulu, nanti Saya menyusul," perintahnya pada sekertarisnya, wanita itu hanya mengangguk setuju dan berlalu masuk ke dalam mobil yang sudah disiapkan.
Tatapannya beralih kembali ke arah wanita yang tidak lain adalah mantan istrinya, seseorang yang sudah memberinya luka dan jatuh didalam keterpurukan yang cukup panjang. Tak ingin berbasa-basi, Daffa langsung bertanya pada intinya saja, "Untuk apa kamu kembali," bukan sebuah pertanyaan, tapi lebih ke sebuah sindiran halus.
Air matanya tertahan, Celine tersenyum getir menanggapi ucapan Daffa. "Aku kembali untukmu, Daf. Maafkan aku yang sudah memilih meninggalkan kamu dulu,"
"Aku sudah memaafkan semuanya, jadi kamu tidak perlu datang jika hanya sekedar ingin mengatakan itu. Sekarang pergilah, dan jangan buang waktumu lagi untuk menemuiku, karena sekarang diantara kita sudah tidak ada apa-apa,"
Tanpa berbasa-basi lagi, Daffa hendak pergi, namun tangannya segera dicekal oleh Celine.
"Daf, beri aku waktu untuk kita bicara berdua. Aku sudah meninggalkan semuanya hanya untuk kamu, jadi tolong beri aku kesempatan satu kali lagi untuk memperbaiki semuanya dan memulai semuanya lagi dari awal. Aku masih mencintai kamu, cintaku tidak berubah sedikitpun, Daf. Hanya kamu satu-satunya pria yang selalu aku cintai, tak bisakah itu menjadi pertimbangan untuk kita bisa bersama lagi?"
Daffa tertegun. Semudah itu Celine berkata seperti itu setelah apa yang terjadi dulu diantara mereka, pergi meninggalkannya tanpa memikirkan bagaimana perasaannya.
"Aku pernah memberikan kesempatan itu, tapi kamu menyia-nyiakannya dan memilih untuk pergi," masih tanpa mau menatap, Daffa berkata. Jelas dia sangat kecewa, dan itu tidak bisa disembunyikan lagi.
"Aku tau aku salah, aku akan memperbaikinya." Celine menurunkan pegangannya ke bawah, hendak menggenggam tangan Daffa namun segera ditepis oleh pria itu.
Daffa berbalik, sorot matanya masih tidak berubah, masih dingin, dan yang jelas sangat kecewa, "Tempatmu sudah tidak ada lagi disana, sudah digantikan oleh seseorang dan aku sangat mencintainya,"
Celine menggeleng tak percaya, tubuhnya sedikit bergetar dan kakinya mundur perlahan beberapa langkah, "Tidak mungkin, cintamu hanya aku. Kamu pasti sedang berbohong kan?"
Jika dulu dia langsung merasa iba ketika melihat air mata itu terjatuh, sekarang dia lebih memilih untuk abai. Daffa mengangkat tangan kanannya dan menunjukkan cincin yang melingkar di jari manisnya. "Namanya Aini, dan sekarang dia adalah istriku."
Hening menguasai udara. Rasa sakit begitu mencengkram hatinya kuat-kuat, sesak mulai menguasai. Diatas reruntuhan hatinya sendiri, Celine berusaha untuk tetap berdiri dengan tegak.
Daffa menghela nafas panjang, tatapannya sudah tidak sedingin tadi, meski masih ada kekecewaan disana, "Meskipun kamu datang dengan sejuta cinta, hatiku tidak akan berpaling. Dia yang menyembuhkan hati yang sudah kamu buat, tidak mungkin aku menyia-nyiakannya dengan begitu saja,"
Berusaha untuk tegar, Celine menatap lekat mata si pemilik hatinya guna mencari kejujuran disana, "Apa dia lebih cantik dari aku?"
"Bukan hanya cantik, tapi hatinya juga baik. Dan itu cukup membuatku tertarik, hingga aku memutuskan untuk menjadikan dia satu-satunya masa depan yang ingin aku pertahankan," begitu yakin dia berkata, penuh ketegasan, tanpa ada keraguan sedikitpun.
Celine berusaha mengumpulkan puing-puing hatinya yang hancur, dalam diamnya dia mengangguk pelan, "Wanita itu sangat beruntung karena bisa memiliki kamu,"
"Bukan dia, tapi aku yang beruntung bisa memilikinya. Dan sebaiknya kamu lupakan apa yang sudah pernah terjadi diantara kita dulu, karena akupun sudah melupakan semuanya,"
Tak ingin terlibat obrolan lebih lama, Daffa pun pamit untuk pergi, "Aku masih memiliki banyak pekerjaan, sebaiknya kamu pergi dan tidak perlu datang lagi untuk menemuiku."
Tubuhnya berbalik, Daffa naik kedalam mobil dimana sekertarisnya sudah menunggu disana bersama supirnya. Melihat mobil itu pergi dan menghilang dari pandangan matanya, Celine tau Daffa tidak akan mungkin kembali turun hanya untuk sekedar memeluknya dan mengatakan jika apa yang diucapkannya tadi adalah bohong.
-
-
-
"Putar mobilnya, kita pulang ke rumah sebentar," titah Daffa ketika mobil yang dinaikinya sudah melaju jauh meninggalkan area kantor.
"Tapi, Pak. Kita sudah ditunggu oleh Pak Hutomo untuk membahas proyek." Sinta memprotes, pasalnya mereka sudah sangat terlambat untuk pergi.
"Hanya sebentar, Saya hanya ingin mengambil vitamin Saya yang tertinggal dirumah," ucapnya sambil memijat pelipis.
Sinta mengulum senyum, sebagai wanita yang juga sudah menikah jelas dia tau vitamin yang dimaksud disini. Lagipula dia juga belum pernah mendengar ataupun melihat bosnya itu meminum vitamin sebelumnya.
"Hem, baiklah,"
Keheningan kembali menguasai, Daffa melemparkan pandangannya keluar mobil dan mulai merenung. Obrolannya dengan Celine tadi kembali menguasai pikirannya, bagaimana Celine menangis, meminta maaf, semua itu terlihat tulus memang.
Namun, sekarang ketulusan itu sudah tidak berarti apa-apa, dia sudah memantapkan hatinya pada satu pilihan, dan dia tidak ingin melukai hati Aini hanya karena kehadiran Celine kembali.
-
-
-
Dengan membawa luka yang menusuk dihati, Celine kembali ke apartemennya. Langkahnya gontai, tubuhnya seakan lemas tak bertenaga. Beruntung tidak terjadi apa-apa saat dia mengendarai mobil tadi, karena pikirannya benar-benar sedang tidak fokus.
Celine membuka pintu kamarnya, melemparkan tas ditangannya ke atas ranjang dengan begitu saja. Sebuah foto pernikahannya dengan Daffa dia ambil dari atas nakas dan mengusapnya pelan. Senyum bahagia jelas terlihat diwajah mereka ketika foto itu diambil dulu, dimana mereka baru saja mengikat janji suci pernikahan dan berjanji akan selalu bersama-sama apapun yang terjadi.
Selama ini dia selalu menjaga hatinya hanya untuk Daffa seorang, karena dia memang sangat mencintainya sampai sedalam itu. Kesalahannya hanya satu, yaitu lebih memilih untuk mengembangkan karirnya dulu, tapi dengan semudah itu Daffa mengatakan jika dia sudah memiliki seseorang yang mengisi hatinya dan sudah melupakannya. Jelas tidak semudah itu Celine bisa menerima dan merelakan semuanya untuk berakhir dengan begitu saja.
"Aku kembali hanya untuk kamu, dan aku tidak akan berhenti sebelum memiliki kamu kembali, Daffa Erlangga!"
...💧💧💧...
. tapi aku ragu celine bakal sadar sebelum dapet karma instan🤧🤧