"Bapak, neng lelah kerja. Uang tabungan untuk kuliah juga gak pernah bisa kumpul. Lama-lama neng bisa stress kerja di Garmen. Cariin suami yang bisa nafkahi neng dan keluarga kita, Pak! Neng nyerah ... hiikss." isak Euis
Keputusasaan telah memuncak di kepala dan hati Euis. Keputusan itu berawal karena dikhianati sang kekasih yang berjanji akan melamar, ternyata selingkuh dengan sahabatnya, Euis juga seringkali mendapat pelecehan dari Mandor tempatnya bekerja.
Prasetya, telah memiliki istri yang cantik yang berprofesi sebagai selebgram terkenal dan pengusaha kosmetik. Dia sangat mencintai Haura. Akan tetapi sang istri tidak pernah akur dengan orangtua Prasetyo. Hingga orangtua Prasetyo memaksanya untuk menikah lagi dengan gadis desa.
Sebagai selebgram, Haura mampu mengendalikan berita di media sosial. Netizen banyak mendukungnya untuk menghujat istri kedua Prasetyo hingga menjadi berita Hot news di beberapa platform medsos.
Akankah cinta Prasetyo terbagi?
Happy Reading 🩷
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 : Perjumpaan dengan Haris.
Hai Readers...
Bab ketigabelas, Kebenaran itu mulai membuka jalannya sendiri secara perlahan. Semoga hal-hal buruk tidak menyapa Euis dan Pras... Cekidot! Happy Reading 🩷🩷
🌷🌷🌷
Minggu pagi hari itu, udara yang masih sejuk dengan cahaya mentari yang tidak begitu terik menemani perjalanan Euis dan Zen membelah jalanan kota Lembang dengan motor matic. Mereka membiarkan jilbabnya berkibar dengan gemulai diterpa angin pagi, perjalanan diselingi obrolan ringan mengenai idol K-Pop dan canda tawa khas remaja putri yang ceria dan polos.
Mereka berhenti di sebuah cafe yang menjual pastry dan coffe yang terkenal dengan cookies jumbonya. Apa yang sedang hive dan viral pasti akan ramai didatangi.
Euis menunjuk sebuah meja yang kosong dengan posisi yang bagus dan instagramable. "Kita duduk di sana Zen."
"Seru ya teh jalan-jalan seperti ini." ucap Zen sambil mendaratkan bokongnya di sofa empuk
"Nanti kalau kamu kuliah akan banyak teman, Zen."
"Teh Euis gak mau kuliah?" tanya Zen seraya membaca buku menu
"Dulu kepengen banget kuliah, karena mantan teteh lulusan S1 teknik, rasanya malu kalau tidak bisa setara. Tapi sekarang kayaknya gak mungkin lagi. Teteh nerima nasib aja, pasrah menjalani hidup." Euis tersenyum dengan getir.
"Teteh masih cinta sama mantan?" tanya Zen penuh selidik
"Eh, engga lah ya!" jawab Euis tegas
"Dia selingkuh!" bisik Euis menambahkan sambil mengernyitkan wajahnya.
"Teteh harus kuliah, biar setara dengan Aa Pras. Minimal S1 teh." bujuk Zen
"Ah uang darimana, gaji tiap bulan aja buat kirim ke kampung, Zen." bantah Euis, dia juga tidak banyak berharap dari pernikahannya.
"Nanti Zen akan ngomong sama Umy untuk menyisakan jatah beasiswa untuk teteh. Biasanya setiap tahun Abi sama Umy memberi beasiswa ke anak-anak panti yang ingin sekolah lebih tinggi, malah ada yang dikirim ke Kairo dan Turki untuk kuliah." ucap Zen
"Beneran ada program seperti itu dari Umy dan Aby?" tanya Euis penasaran.
"Beneran teh." Zen meyakinkan Euis
"Syaratnya apa?" tanya Euis antusias
"Nilai Rapot bagus, itu aja sih kayaknya. Lebih jelas teteh ngomong aja sama Umy."
"Teteh Pede kalau begitu, karena teteh selalu juara umum dari kelas satu SD sampai kelas tiga SMA." Euis tersenyum lebar hingga dimple nya terlihat.
"Atau kita daftar kuliah di kampus yang sama teh, biar aku ada temannya." bujuk Zen. Euis mengangguk ragu. Karena kampus yang ingin Zaenab tuju adalah kampus mahal. Rasanya tidak enak jika Euis memanfaatkan kedekatannya.
"Hai nona-nona manis, pagi-pagi sudah nongki di kedai kopi. Boleh Abang duduk di sini?"
"Eh Abang Haris, duduk lah. Kosong kok." Zen mempersilahkan Haris duduk satu meja dengan mereka.
"Boleh kenalan sama teman kamu, Zen." tanya Haris yang terus menatap Euis.
"Emh... Teteh mau kenalan gak?" Zen meminta persetujuan Euis.
"Saya Euis." jawab Euis kaku karena risih dengan tatapan Haris yang seakan menelanjanginya.
"Euis tinggal dimana?" Haris terlihat antusias dengan latar belakang Euis
"Saya tinggal di rumah Bu haji Arini." jawab Euis melirik Zen
"Saudara kamu Zen? Kok Pras gak cerita punya saudara secantik Euis." tanya Haris sambil memindai tubuh Euis
"Teteh bukan saudara tapi... " tangan Euis segera memberi kode dengan remasan lembut.
"Baby sitter!" jawab Euis dengan cepat untuk memotong jawaban Zen. Dari lirikan sinis Zen terlihat sekali gadis itu tidak setuju Euis berbohong.
Wajah Haris seketika berubah, tubuhnya yang sejak tadi condong ke depan menatap Euis dengan serius, kini mundur lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. "Baby sitter anaknya Pras?" tanyanya dengan wajah datar.
"Permisi Kaka, pesanannya sudah semua ya... " seorang waiters perempuan menginterupsi obrolan mereka dengan meletakkan semua pesanan.
"Sudah sebesar apa anak itu?" tanyanya pelan tapi Euis sempat mendengar.
"Beratnya sudah naik dua kilo sekarang, makin lucu, iya kan Zen." jawab Euis antusias jika membahas Sandra, Zen mengangguk senang.
"Oh ya? Selucu apa sih, ga percaya kalau gak lihat sendiri." rasa ingin tahu Haris mulai tergelitik.
"Main aja ke rumah." jawab Zen
"Abang sibuk Zen, Kaka kamu juga jarang di rumah. Paling kita sering ketemuan di kantor atau di tempat lain. Emmh ... mungkin Abang bisa lihat dari photo atau video bayi lucu itu ?"
Haris sebenarnya masih sangsi jika anak yang Haura kandung darah dagingnya atau bukan, karena ia tahu Haura wanita yang licik. Ia bisa saja menggunakan kehamilannya untuk memeras Haris saat itu, tapi itu tidak dilakukan Haura. Bisa jadi Sandra memang anak Prasetya.
Euis mengeluarkan ponsel Android miliknya yang keluaran lama, mungkin edisi itu sudah tidak ada lagi di pasaran. Haris melirik Euis seakan miris atas kemiskinan perempuan cantik yang duduk di depannya. Biasanya gadis seusia Euis suka bersolek dalam hal apapun, termasuk memberi aksesoris handphone.
Gawai lama dengan casing sederhana mencerminkan kehidupan si empunya gawai sesederhana itu.
Video bayi yang sedang mengoceh dan tertawa bahagia pun diputar. Walaupun video yang ia lihat di hape Euis tidak sejernih hasil bidikan kamera ponsel mahalnya, mata Haris tidak berkedip sama sekali, ada getaran aneh di dadanya yang tidak Haris inginkan saat melihat tawa lebar bayi itu, getaran kecemasan dan kebahagiaan datang secara bersamaan.
"Lucu kan bang?" tanya Zen
Haris tidak menggubris pertanyaan Zen dan tidak menghiraukan tatapan heran kedua gadis yang ada di depannya.
Saat itu, bagi Haris dunia di sekelilingnya berhenti berputar. Semua terdiam tidak ada yang bergerak, hanya suara video bayi lucu dan degup jantungnya sendiri yang terdengar, pikirannya melayang pada photo-photo masa kecilnya yang masih ia pajang di kamar, ia menelusuri satu persatu photo di dinding kamarnya, memindai bentuk wajah di ingatannya dengan wajah bayi yang ia lihat di video itu.
Bayi yang sama dengan versi yang berbeda. Photo yang dibingkai dan dipajang di kamarnya versi bayi laki-laki sementara yang di video bayi yang sama versi perempuan. Dia merasa familiar dengan wajah Sandra.
Jantungnya berdenyut lebih kencang, terasa diremas oleh tangan tak kasat mata, kecemasan menyelimuti perasaannya saat itu. Matanya baru berkedip saat layar ponsel Euis tiba-tiba gelap pertanda video sudah lama berhenti. Ia baru merasakan dunia di sekelilingnya baru kembali berjalan.
"Fokus banget lihatnya pak, sampe pertanyaan kami dicuekin." seloroh Euis sambil tersenyum lebar bersama Zen.
"Eh, i-iya... Lucu banget a-akuu terkesima ada bayi selucu itu." gugup Haris.
Haris merenung sejenak menyadari sesuatu yang asing baru saja ia dengar, "Tadi kamu manggil saya apa? Bapak? Memangnya saya terlihat sudah tua?" protes Haris
"Kata Zen, bapak temannya pak Prasetya, betul kan?!"
"Kalau Pras kamu panggil bapak gak apa-apa, aku belum menikah, panggil aku abang seperti Zen. Oke Euis?" Haris berusaha mengalihkan topik karena perasaan asing yang baru saja ia rasakan sangat mengganggu pikirannya.
"Teh gawat! Aa nyariin kita, katanya Sandra gak ada yang jagain di rumah... Ish gimana sih itu Kaka ipar, gak mau ngurus anaknya sendiri jadi ganggu waktu me time kita." umpat Zen setelah membaca chat dari ART di rumahnya.
"Ayo kita pulang, kasian Sandra." ucap Euis panik.
Euis dan Zen segera bergegas meninggalkan cafe hingga lupa membayar tagihan dan tas selempang Euis tertinggal di sofa.
Haris langsung menyerahkan kartu debitnya untuk membayar tagihan mereka. Dan mengejar kedua gadis muda itu hingga kediaman Abi Ali. Dengan alasan membawakan barang yang tertinggal, Haris bisa melihat langsung bayi mungil dalam gendongan Euis yang wajahnya sudah memerah karena terlalu lama menangis.
"Ibunya kemana teh Mia? Kenapa anaknya ditinggal begitu saja. Aa juga sih kenapa gak pernah menegur kelakuan istrinya. Anak jadi korban keegoisan ibunya terus." Zen terus mengomel
Sementara Euis dengan telaten membuat Sandra diam dengan menimang dan memberikan ASI yang baru saja ia hangatkan. Haris terus menatap wajah bayi itu dengan perasaan campur aduk, ada kesedihan dan kekecewaan di matanya.
"Boleh saya menggendong nya?" spontan Haris setelah tangis Sandra mereda.
"Biar dia bobo dulu bang, khawatirnya kalau pindah tangan dia engga nyaman." tolak Euis masih fokus menatap wajah sedih Sandra.
"Bang Haris kenapa ikut pulang ke sini, memangnya Abang gak ada kesibukan?" tanya Zen heran.
"Kalau saya pulang, yang bawain tas ini siapa? Terus tadi kalian lupa bayar tagihan kan?" Haris berusaha memberikan alasan yang tepat, padahal tanpa ada barang yang tertinggal, Haris terdorong ingin mengetahui lebih jauh keterikatan Sandra dan Haura selama ini.
"Ya ampun untung ada bang Haris, terima kasih." Euis menerima tas selempangnya yang disodorkan Haris.
"Apa Haura tidak mengurus bayinya selama ini?" tanya Haris pada akhirnya, rasa ingin tahunya kini semakin tinggi.
Zen menghela napas dengan kesal, "bukan hanya engga mau mengurus bayi, tapi tidak mau melihat bayinya sama sekali, dari baru melahirkan bayi itu sudah ditinggal di rumah sakit, ibunya pergi ke Korea untuk operasi hidung dan dagu. Untungnya ada pihak rumah sakit menghubungi kami, jadi bayi itu kami yang jemput."
Deg!
Jantung Haris kembali berdegup dengan kencang seakan memompa darah lebih kuat lagi. Tanpa disadari tangannya mengepal, urat di pelipisnya menegang hingga terlihat menonjol. Kecurigaannya semakin menguat, bahwa Haura menyembunyikan suatu rahasia besar dari dirinya juga dari Prasetya sahabatnya.
Zen dan Haris mengekori Euis hingga ke kamar untuk menidurkan Sandra, bayi itu kini terlelap setelah hampir satu jam ditimang Euis dalam gendongan hingga terlelap.
"Biasanya berapa jam ia tertidur?" bisik Haris sambil terus menatap wajah Sandra
"Kalau perutnya kenyang, ia bisa tidur lama, satu jam lebih." jawab Euis
"Setelah bangun apa yang ia lakukan?" bisik Haris lagi.
"Main, ngemil dan nyusu lagi. Kenapa bang Haris tertarik banget. Pengen punya anak juga?" Zen yang menjawab.
"Cari calon mamanya dulu, cariin dong Zen." Haris melirik Euis.
"Wah selera Abang pasti ga ada di kalangan teman-teman Zen, karena teman Zen rata-rata berhijab." sanggah Zen
"Kalau Euis sudah punya pacar?" tembak Haris to the point.
Euis dan Zen saling tatap. Hening, tidak ada yang bersedia menjelaskan.
"Ada apa ini kok kumpulnya di sini?" suara bariton Prasetya memecah keheningan di dalam kamar itu.
"Haris? Ada perlu apa?" Pras menatap Haris penuh selidik.
"Eh Pras, sorry aku gak sengaja ke sini. Awalnya kita bertiga abis nongki di cafe, terus dapat kabar anak kamu nangis tidak mau berhenti di rumah. Dan... gue di sini sekarang."
"Nongki? Kalian? Kok bisa?" cecar Pras.
Pras menatap wajah Euis yang sejak tadi menunduk. Setelah kejadian beberapa hari lalu, Euis tidak pernah mau menatap wajah Pras jika sedang berbicara, gadis itu selalu melengos jika tatapan mata mereka beradu pandang.
"Pras, sepertinya lebih baik kita keluar dari kamar ini. Anakmu baru saja tidur." Haris menarik lengan sahabatnya keluar dari kamar. Ia tidak ingin Pras memarahi baby sitternya karena kehadirannya di sana.
B e r s a m b u n g...
Gaes, jangan lupa like, komen yuaachh... Terima kasih 🩷🩷
wajar Harris gak euis istri kedua prass....