NovelToon NovelToon
ISTRI YANG DIPOLIGAMI

ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Poligami
Popularitas:5.2k
Nilai: 5
Nama Author: Naim Nurbanah

Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.

Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34

Malam itu, Umar duduk termenung di ruang tamu rumah Nay, matanya tertuju pada jam dinding yang berdetak perlahan. Seharusnya Citra sudah berhenti memintanya pulang, pikirnya, setelah empat malam berturut-turut dihabiskan bersama. Namun entah mengapa, rasa bersalah itu terus merayapi dadanya, seolah setiap sudut pikirannya terjepit. Memiliki dua istri ternyata jauh lebih rumit daripada bayangannya dulu. Kebohongan yang ia jaga rapat-rapat ini menjeratnya tanpa henti.

Saat Maghrib selesai dan mereka sholat berjamaah, Nay memandang Umar dengan mata yang penuh tanya. Suaranya lembut, namun mengandung harap.

"Mas, malam ini ada jadwal ngajar lagi, kan?" tanyanya, bibirnya sedikit gemetar menahan rasa cemas. Wajah Nay terlihat bimbang, seolah takut akan sepi yang mengintai jika Umar pergi. Umar menghela napas, berusaha menyembunyikan keraguan yang makin menyesak dalam dadanya.

Umar menggeleng cepat, menutup rapat matanya sejenak. Dalam dada, keraguan bergemuruh, tak mau berhenti. Ia ingin sekali mengaku jujur, tapi kata-kata terasa tercekat di kerongkongan.

"Tuhan, kenapa aku merasa seperti pengkhianat di rumah sendiri? Nay selalu menjadi tempatku bersandar, percaya sepenuhnya padaku tanpa ragu. Sementara aku… menyembunyikan rahasia besar yang bisa melukainya dalam-dalam."

Pikirannya melayang pada Citra, yang sepanjang minggu ini terus menuntut perhatian. Empat hari penuh dia ingin Umar habiskan bersamanya, tanpa memberi ruang sedikit pun untuk menyeimbangkan semuanya. Umar tahu, ini tidak adil untuk Nay, juga tidak adil untuk Citra. Tapi kata “adil” itu terasa asing baginya saat ini.

Dia termenung, mempertanyakan dirinya sendiri, apakah aku suami yang buruk? Atau hanya manusia biasa yang berusaha bertahan dalam kekacauan hasil ciptaan sendiri? Rasa bersalah itu seperti duri yang semakin dalam menusuk setiap hari, membuatnya lelah tanpa tahu kapan bisa berhenti.

Mereka sedang duduk di ruang keluarga, suasana begitu nyaman dengan suara film yang mengalun pelan di latar. Nay bersandar di pundak Umar, merasa damai dalam momen ini. Jari-jarinya sibuk memainkan cemilan di tangan suaminya, sementara hatinya penuh rasa syukur bisa menikmati waktu seperti ini bersama suaminya.

Nay tahu Umar mematikan ponselnya hari ini, mungkin dia ingin memastikan bahwa tak ada yang mengganggu kebersamaan mereka berdua. Entah kenapa hal itu membuatnya merasa istimewa, seolah-olah hanya  Umar lah yang ada di dunianya saat ini. Namun, jauh di lubuk hati, Umar juga tahu kenapa ponsel itu dimatikan.

Citra. Nama itu terus menyelinap di benak Nay, menimbulkan pertanyaan yang berputar tanpa jawaban pasti.

"Apakah dia masih terbayang di pikirannya, bahkan saat aku di sampingnya?" Nay bertanya dalam hati, hatinya berdebar antara harap dan cemas. Namun, ia buru-buru menepis gelisah itu. Untuk saat ini, ia tak mau merusak momen bahagia bersama Umar.

Tiba-tiba, Nay menarik napas panjang dan berkata,

"Oh iya, Mas. Tadi aku lihat Kak Citra agak aneh, deh."

Matanya melirik tajam ke Umar yang tiba-tiba mengerutkan kening. Tatapan suaminya menusuk seolah mencoba menelusuri makna di balik kata-katanya.

"Maksud kamu, aneh seperti apa?" Umar bertanya, suaranya berusaha tetap tenang tapi ada kejanggalan halus yang sulit disembunyikan.

Umar terdiam, dadanya sesak menahan gelombang perasaan yang membuncah di matanya Citra. Tatapan itu membakar, campur aduk antara kecewa yang tajam, sakit hati yang dalam, dan amarah yang membara. Ia bisa merasakan lirihnya luka yang tersimpan, tapi benarkah dia tak pernah berpikir? Memilih menikahi Umar, walau tahu dia telah bersama Nay, bukankah itu sudah mengorbankan hatinya sendiri? Umar menghela napas panjang, menahan bisikan penyesalan yang bergejolak.

Di sudut ruangan, Nay memicingkan mata, pikirannya berkelana tanpa henti. "Kenapa malah aku yang terlalu mikir?" gumamnya pelan, tapi bayangan wajah Citra terus mengusik.

Tatapan cemburu itu, anehnya menusuk hati Nay lebih dalam dari yang dia duga. Seharusnya Citra sudah memahami situasinya atau mungkin ada sesuatu yang ia sembunyikan? Sementara itu, Umar hanya melemparkan pandangan singkat ke arah Nay, kemudian memalingkan wajah, geraknya canggung, seperti ada rahasia berat yang enggan ia bagi.

Nay menatap tajam ke mata Umar, seolah ingin membaca isi hatinya yang tersembunyi.

"Aku tahu, sejak dulu Kak Citra punya perasaan khusus sama Mas Umar. Apalagi setelah pertunangan mereka batal, wajar kalau Kak Citra kecewa, kan?" ucap Nay tanpa menunggu jawaban. Umar menyipitkan mata, bibirnya mengecil, mencoba menahan perasaan yang mulai bergolak. Suaranya terdengar dingin saat akhirnya menjawab,

"Lalu?" Napasnya keluar pelan, seperti sedang melawan gelisah yang merayapi dadanya. Nay memberanikan diri melanjutkan, suaranya sedikit bergetar,

"Mas, Mas Umar nggak merahasiakan sesuatu dari aku, kan?" Wajah Nay mendadak berubah, bibirnya menekan, sadar ia sudah menyentuh sesuatu yang sensitif. Umar menatap balik dengan tegas,

"Merahasiakan apa, Nay?" kalimat itu menggantung di udara, penuh pertahanan.

Umar menatap tajam, suaranya tiba-tiba meninggi. "Aku sama Citra sudah selesai. Kalau dia diam-diam masih suka aku, salah siapa? Harusnya aku larang, atau malah aku yang harus pantau dia, supaya nggak ketemu aku di mall?" Matanya menyala, menggurat amarah yang tersimpan lama.

Nay terdiam, dada bergetar. Tak mampu berkata-kata, hatinya tiba-tiba perih, seolah ucapan Umar menusuk lebih dalam dari yang terlihat. Bukan cuma soal Citra, tapi luka lama yang belum benar-benar sembuh, perlahan tercabut dari tempatnya bersemayam.

Tatapan Nay berubah. Perlahan melembut, wajahnya seperti orang yang baru sadar selama ini terlalu keras menilai. Ia menghela napas, kemudian pelan berkata, "Maaf."

Umar segera menarik Nay lebih dekat, merangkulnya hangat. Pelukan itu bukan sekadar isyarat fisik, tapi penghiburan tanpa kata, mencoba meredam badai di hati yang sama-sama bergejolak.

Umar menghela napas berat, matanya tiba-tiba berkaca-kaca, seperti ada sesuatu yang mengabur di sudut pandangnya.

“Aku nggak bermaksud memarahi kamu, sayang. Maafkan aku,” suaranya merendah, tapi jejak kemarahan tadi masih membekas, menyisakan luka kecil yang sulit dihapus begitu saja.

Nay menatapnya dengan ragu, ingin percaya bahwa Umar benar-benar tidak menyembunyikan apa pun darinya. Namun, hatinya masih terasa sesak, seperti ada sesuatu yang terhalang.

“Sudah, ya. Kita nggak perlu bicara soal Citra lagi,” Umar mencoba tegas, suaranya bergetar sedikit saat berkata,

“Ingat, Nay, aku cuma mencintaimu.”

Ia seperti berbicara pada diri sendiri, berusaha menenangkan istri sekaligus dirinya sendiri. Tapi, kata-kata itu terdengar hampa, bergema di ruang itu tanpa meyakinkan siapa pun, bahkan dirinya sendiri.

Nay menarik napas pelan, menundukkan kepala.

“Aku cuma cemburu, Mas,” bisiknya, suara hampir tak terdengar.

“Takut kamu tiba-tiba balik ke Citra... karena dia kan teman kecil kamu.” Ia diam sesaat, hati berdebar menanti reaksi Umar, seolah menimbang setiap kata yang keluar dari mulutnya.

Raut wajah Nay tampak tegang, bibirnya sesekali gemetar seolah menahan sesuatu yang berat. Namun, matanya menatap tajam penuh kejujuran, pancaran yang sejak lama tak lagi bisa ia lihat di wajah Umar.

Jantung Nay berdebar, ketakutan merayap perlahan bukan karena Umar, tapi karena dia peduli melebihi batas yang sebenarnya tak seharusnya. Dadanya terasa sesak, bayang-bayang bersalah menyelinap tanpa henti. Umar mencoba melemparkan senyum tipis, tapi tatapan Nay yang penuh harap membuatnya sadar betapa rapuhnya itu.

“Mas, jangan ada kebohongan di antara kita, ya?” suara Nay tenang, tapi penuh tekad.

“Jangan ada kebenaran yang harus disembunyikan. Kalau ada yang penting, mending langsung bilang saja.” Kalimat itu menusuk, menggoyahkan benteng yang sudah lama Umar bina dengan susah payah.

Kata-kata Nay menusuk sesuatu yang selama ini Umar sembunyikan rapat-rapat di dalam hati. Rasanya seperti pedang tajam yang menembus kulit, tapi tanpa meninggalkan bekas luar yang tampak.

Umar terdiam, bibirnya kelu, tak mampu menyusun jawaban. Bagaimana bisa dia menjawab? Rasa bersalah itu membesar dan mengganjal di dada, sementara hatinya tahu Nay berhak tahu kebenaran itu. Tapi, dia belum siap mengungkapkan semuanya.

Apakah waktu mampu menyembuhkan luka kejujuran yang tertunda? Apakah Nay sanggup memaafkan suami yang pernah berdusta?

Umar menunduk, ragu. Jika Nay yang mengutarakannya, mungkinkah dia akan menerima? Terlalu mustahil rasanya. Di sisi lain, Citra seolah tahu rahasia itu; rasa cemburu yang menggelora setiap kali melihat Umar dekat dengan Nay tidak pernah padam. Api kecil itu selalu berkobar di matanya, mengingatkan Umar bahwa cinta yang dibaginya memang rumit dan penuh bahaya.

1
tina napitupulu
nyesak tak tertahankan...
Shaffrani Wildan
bagus
Dhani Tiwi
kasuhan nay... tinggal aja lah si umar nay..cari yang setia.
tina napitupulu
greget bacanya thorr...gak didunia maya gak didunia nyata banyak kejadian serupa../Grievance/
Usman Dana
bagus, lanjutkan
Tini Hoed
sukses selalu, Thor
Ika Syarif
menarik
Sihna Tur
teruslah berkarya Thor
Guna Yasa
Semangat Thor.
NAIM NURBANAH: oke, terimakasih
total 1 replies
Irma Kirana
Semangat Mak 😍
NAIM NURBANAH: Terimakasih banyak, Irma Kirana. semoga nular sukses nya seperti Irma menjadi penulis.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!