Hujan
Suara angin mendesing tiba-tiba saat jendela tua terbuka lebar karena hembusan kencang dari luar.
Tirai tipis melambai liar, terseret badai yang mendadak menggila. Sekilas kilat membelah langit, menerangi ruangan kecil yang penuh dengan tumpukan buku, gelas kopi dingin, dan lembaran-lembaran naskah yang berserakan.
Di tengah ruangan, seorang penulis duduk membungkuk di meja kayu lapuk.
Wajahnya letih, rambut acak-acakan, tatapannya kosong menembus kertas kosong di depannya dan tangannya menggenggam pena, tapi tak bergerak.
Angin masuk lebih kencang, lembar-lembar tulisan yang selama ini ditulisnya dengan penuh perjuangan terangkat, beterbangan ke segala arah.
Beberapa menabrak dinding, yang lain terjun bebas ke lantai dan ada yang tersangkut di rak buku, ada pula yang keluar lewat jendela, lenyap ditelan senja.
Penulis hanya menatap tak berdaya, tak peduli. Matanya berkaca, tapi tidak menangis, mulutnya bergerak pelan, hampir tak terdengar.
"Apa gunanya semua ini?" bisik penulis.
Angin terus meraung. Lembaran terakhir di atas meja ikut terangkat dan terbang, meninggalkan meja kosong seperti pikirannya.
Suara dering telepon rumah yang nyaring tiba-tiba memotong raungan angin.
Penulis tersentak, seolah baru bangun dari mimpi buruk dan tangannya gemetar saat meraih gagang telepon hitam di samping mesin ketik tua.
"Halo?" tanya penulis setelah menerima panggilan.
"Aku butuh naskahmu sekarang, hari ini tenggat terakhir, kalau tidak masuk malam ini, kita kehilangan slot terbit." tegas seorang wanita terdengar di dalam panggilan itu.
Penulis terdiam, matanya menatap kosong ke meja yang kini hanya menyisakan pena dan tumpukan kertas kosong.
"Aku, aku—naskahnya, hilang!" gugup penulis yang terdengar jelas oleh si penelepon.
"Apa maksudmu hilang? Kirim ulang draft terakhir! Sekarang!" bentak si penelepon dengan teriakan.
Sambungan diputuskan oleh penulis itu yang kini terpaku diam dan menjatuhkan lututnya ke lantai.
Suara angin menyelinap lagi, penulis mendadak berdiri dan menyapu pandangan ke seluruh ruangan, buku-buku berserakan, kertas menempel di rak, lantai, bahkan di langit-langit dan naskah utama yang paling penting sudah tidak dapat ditemukan.
Ia berjalan cepat ke jendela, teringat bahwa beberapa lembar kertas terbang keluar.
"Satu lembar naskah terakhir, yang mengandung klimaks cerita, melayang ringan keluar jendela, menari bersama senja?" batinnya mengingat tentang beberapa lembar kertas yang terbang keluar jendela.
"Tidak jangan yang itu!" panik penulis itu sembari melotot ke arah jendela.
Ia menoleh ke luar, di bawah sana, halaman rumah basah oleh gerimis dan angin belum juga reda, tanpa pikir panjang, ia meraih jaket yang tergantung dan berlari keluar.
Dengan langkah tergesa, ia menyusuri taman, jalanan kecil, bahkan berjongkok memeriksa semak dan rerumputan. Mata liarnya mencari jejak tinta di kertas yang mungkin menempel di pagar, tersangkut di dahan atau terseret ke selokan.
Suasana gelap, hanya lampu jalan yang redup menemani pencariannya.
"Di mana kau!? Kumohon, hanya satu halaman itu," setengah berteriak penulis itu yang masih panik akan naskah milik yang hilang itu.
Penulis berlari menyusuri jalan berbatu yang basah dan nafasnya tersengal, rambut dan bajunya basah oleh gerimis.
Lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan di genangan air dan dia hampir putus asa, tapi langkahnya terus membawanya ke taman kecil di ujung blok.
Tiba-tiba, ia berhenti.
Di bawah pohon besar, berdiri seorang gadis muda, rambutnya basah, menempel di pipinya, mengenakan gaun sederhana yang kini lepek karena hujan dan di tangannya selembar kertas yang penulis itu kenali, sedang dipegang hati-hati seperti sesuatu yang rapuh dan berharga.
Gadis itu sedang membaca, begitu tenggelam dalam kata-kata, hingga tidak sadar diperhatikan.
Penulis mendekat, pelan, takut mengganggu momen itu.
"Itu, itu punyaku." gumam penulis yang suaranya langsung terdengar oleh gadis itu.
Gadis itu menoleh, matanya besar, bersinar meski basah oleh hujan, ia menatap penulis sejenak, lalu melihat kembali ke kertas.
"Aku tak tahu kenapa tapi aku merasa aku harus membacanya." ucap gadis itu terlihat anggun.
Ia menatap penulis lagi, kali ini dengan senyum tipis, jujur dan hangat.
"Tulisanmu menyelamatkanku malam ini."
Penulis terdiam, dadanya sesak dan hujan seperti lenyap dari kesadarannya, tangannya perlahan terulur.
"Aku harus menyerahkannya ke editor, tapi, terima kasih karena membacanya." ucap penulis dengan gugup.
Gadis itu menyerahkan kertas itu perlahan. Ujung-ujungnya basah, tinta mulai luntur di beberapa tempat tapi masih bisa terbaca.
Saat tangan mereka bersentuhan, ada keheningan, bukan karena cuaca dan karena perasaan.
"Kalau tulisanmu bisa menyelamatkanku aku yakin, itu juga bisa menyelamatkanmu." ucap gadis itu yang melihat keadaan penulis yang kini terlihat tidak baik-baik saja.
Penulis memandangnya seolah baru mengingat siapa dirinya, ja mengangguk, menggenggam kertas itu erat, lalu berbalik.
Penulis menggenggam naskah yang basah dengan hati-hati, lalu menatap gadis itu sekali lagi dan hujan masih mengguyur pelan, seperti belum ingin berhenti.
"Kalau kamu belum ada tempat untuk berteduh, apartemenku tidak jauh dari sini. Kau bisa menghangatkan diri sampai hujannya reda." ucap penulis yang sedikit ragu meskipun dia benar-benar tulus.
Gadis itu menatapnya beberapa detik, seolah menilai niatnya. Tapi sorot matanya tetap lembut, tidak takut, tidak curiga hanya terlihat sepi dan kosong.
"Kalau kau tidak keberatan aku mau." jawab gadis itu dengan penuh wibawa.
Suasana hangat menyambut mereka. Ruangan kecil yang tadinya kacau kini terasa berbeda, meskipun masih berantakan, tapi ada kehidupan.
Lilin menyala di atas meja karena listrik sempat padam dan asap dari air panas mengepul dari dua cangkir teh.
Gadis itu duduk di dekat jendela, mengenakan jaket lusuh milik penulis dan mulai memandangi hujan di luar.
Penulis duduk di seberangnya, naskah sudah diamankan dan dikeringkan sebaik mungkin.
Beberapa detik hanya diisi dengan diam. Tapi bukan diam yang canggung, melainkan ketenangan yang nyaman.
"Uhm, siapa namamu?" tanya penulis dengan penasaran dan juga karena bingung dengan obrolan apa yang harus dia mulai.
"Liliana.." jawab gadis dengan datar.
"Terima kasih, Liliana karena memungut kembali naskahku yang hampir hilang dan karena telah membacanya."
Liliana menatap tulus dan berkata, "Aku rasa, aku memang harus menemukan tulisan itu, atau mungkin tulisan itu yang menemukan aku."
Keduanya saling berpandangan, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, penulis merasa tidak lagi sendirian.
Di luar, hujan masih turun. Tapi di dalam, ada kehangatan yang mulai tumbuh pelan-pelan.
Penulis hendak membuka suara lagi. Suasana antara mereka mulai mencair, bahkan ada senyuman samar di wajah Liliana.
Namun, petir menyambar dengan keras. Suara gemuruhnya menggetarkan kaca jendela, dan sesaat cahaya terang dari kilat menyinari seluruh ruangan. Hujan di luar terlihat seperti tirai perak yang deras menutup dunia.
Refleks, keduanya menoleh ke jendela.
Sunyi sesaat setelah guntur bergemuruh. Hanya suara hujan.
"Petir itu, hampir terasa menyentuh kita."
Ia berbalik untuk melanjutkan obrolan, tapi Liliana sudah tidak ada.
Kursi di dekat jendela kosong, jaket lusuh yang tadi dipakai Liliana tergeletak di sandaran kursi, basah dan cangkir teh di meja masih mengepulkan uap.
Tidak ada suara pintu dibuka, tidak ada langkah kaki, tidak ada tanda-tanda kepergian.
Penulis terpaku, jantungnya berdetak kencang, ia berdiri dan memeriksa setiap sudut ruangan, kamar mandi, dapur kecil, bahkan lorong depan.
Tidak ada siapa pun.
"Liliana…?" tanya penulis dengan suara pelan yang nyaris tidak terdengar.
Angin malam masuk lewat celah jendela yang tak tertutup rapat. Tirai bergoyang pelan di lantai, di samping kursi tempat Liliana tadi duduk, ia melihat sesuatu.
Sebuah lipatan kertas, bukan bagian dari naskah yang sebelumnya tidak ada.
Tangannya gemetar saat mengambil dan membukanya.
Tulisan tangan halus terbaca samar di kertas yang sedikit lembab, "Kau menyelamatkanku lewat kata-katamu, sekarang, selesaikan ceritamu dan jangan berhenti!" kata Liliana di dalam kertas itu.
Penulis menatap tulisan itu lama, tak tahu harus merasa takut, bingung, atau terinspirasi.
Lalu, ia duduk kembali di meja, menyalakan lampu baca yang mulai berkedip dan mengambil pena.
Dia pun mulai menulis dengan sambutan hujan reda dan cahaya yang matahari yang menyinari ruangannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments