Baskara—menantu sampah dengan Sukma hancur—dibuang ke Jurang Larangan untuk mati. Namun darahnya membangunkan Sistem Naga Penelan, warisan terlarang yang membuatnya bisa menyerap kekuatan setiap musuh yang ia bunuh. Kini ia kembali sebagai predator yang menyamar menjadi domba, siap menagih hutang darah dan membuat seluruh kahyangan berlutut. Dari sampah terhina menjadi Dewa Perang—inilah perjalanan balas dendam yang akan mengguncang sembilan langit!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21: TINJU SATU LANGKAH
ARENA KELUARGA CAKRAWALA - PAGI HARI
Arena batu raksasa itu berdiri megah di jantung kompleks kediaman, dikelilingi tribun bertingkat yang kini sesak oleh lautan manusia. Ribuan warga Kota Batu Karang berdesakan, antusiasme mereka menciptakan dengung suara yang memekakkan telinga.
Di tribun kehormatan paling atas, Patriark Dharma duduk di singgasana berlapis emas, diapit oleh para Tetua. Di sebelahnya, Tetua Satriya menatap arena dengan mata sipit yang menyembunyikan perhitungan licik.
"Enam puluh empat peserta," gumam seorang Tetua muda. "Generasi emas."
Patriark tersenyum tipis, namun matanya tak lepas dari satu nama di gulungan daftar peserta. Nama yang seharusnya sudah menjadi sejarah.
Baskara Atmaja Dirgantara.
Di tribun penonton biasa, Larasati duduk dengan wajah pucat. Tangannya saling meremas di pangkuan. Di sampingnya, Nyonya Ratih—ibunya—duduk tegak dengan ekspresi dingin.
"Kau membuang waktumu," cibir Nyonya Ratih tanpa menoleh. "Melihat suamimu dipermalukan di depan satu kota tidak akan mengubah nasibnya."
"Dia tidak akan dipermalukan," balas Larasati lirih, meski suaranya bergetar.
"Jangan bodoh. Dia akan dihancurkan. Ini adalah panggung eksekusi mental untuknya."
Larasati menggigit bibir, menahan bantahan. ‘Baskara... buktikan mereka salah.’
DONG! DONG! DONG!
Gong raksasa dipukul tiga kali. Getarannya merambat hingga ke tulang dada setiap penonton.
Patriark Dharma bangkit berdiri. Aura Ranah Inti Emas Bintang 5 miliknya menyebar, menekan keributan penonton hingga hening seketika.
"TURNAMEN KELUARGA CAKRAWALA DIMULAI!" Suaranya menggelegar, diperkuat Prana. "Enam puluh empat petarung terbaik! Satu pemenang! Tanpa ampun! MULAI!"
Sorak-sorai meledak.
Di sudut arena, para peserta berbaris. Rata-rata adalah pemuda berbakat dengan aura yang memancar bangga.
Namun, semua mata tertuju pada satu sosok di ujung barisan.
Baskara.
Berbeda dengan peserta lain yang mengenakan baju zirah ringan atau jubah tempur mencolok, ia hanya mengenakan jubah hitam sederhana. Wajahnya datar, matanya tenang seperti danau tua. Tidak ada aura yang bocor darinya—seolah ia hanyalah manusia biasa yang tersesat di kandang singa.
"Lihat! Si Sampah benar-benar ikut!" "Dia cari mati ya?" "Mungkin dia pikir ini lomba baca puisi!"
Tawa ejekan bergema di seluruh stadion. Ribuan jari menunjuk ke arahnya.
Baskara tidak bergeming. Ia berdiri tegak, tuli terhadap cemoohan dunia.
[Sistem,] panggilnya dalam hati.
[Siap, Tuan.]
‘Aku akan menang tanpa menunjukkan kekuatan Naga. Bisakah tubuhku menahan serangan mereka dengan hanya mengandalkan skill pasif Iron Body?’
[Tubuh Tuan telah ditempa di neraka. Fisik Tuan setara dengan kultivator Inti Emas awal. Serangan tingkat Pengumpulan Prana hanyalah gelitik bulu ayam.]
Baskara menyunggingkan senyum tipis.
[Tapi, teknik dan jurus tertentu juga tidak bisa diremehkan.]
‘Tentu saja, aku juga telah memiliki Teknik Bayangan Pemangsa untuk mengatasinya.’
Seorang Tetua wasit naik ke tengah arena, membuka gulungan undian.
"PERTANDINGAN PERTAMA!"
Jeda dramatis.
"BASKARA ATMAJA DIRGANTARA... MELAWAN... SURYA (KLAN CABANG BARAT)!"
Hening sesaat, lalu tawa meledak lebih keras dari sebelumnya.
"Mampus! Lawannya Surya Si Jagal!"
"Pertandingan pertama langsung dapat 'Boss Kecil'!"
"Siapkan tandu! Tulangnya bakal remuk!"
Di tribun kehormatan, Wibawa bersandar puas di kursinya. Senyum licik menghiasi wajahnya.
‘Sempurna. Surya adalah anjing gilaku yang paling setia. Dia akan mematahkan kaki dan tangan Baskara sebelum wasit sempat melerai.’
Dua sosok naik ke panggung batu.
Surya—raksasa setinggi 190 cm dengan otot yang menyembul dari rompi kulitnya. Wajahnya penuh bekas luka, dan aura merah kecokelatan (Pengumpul Prana Bintang 6) bergolak liar di sekelilingnya.
Di hadapannya, Baskara berdiri santai. Tangan tergantung lemas di sisi tubuh.
"BASKARA!"
Teriakan Larasati terdengar dari kejauhan. Baskara menoleh, mengangguk pelan ke arah istrinya. ‘Tenanglah.’
Surya meretakkan lehernya, bunyi krek terdengar nyaring.
"Hei cecunguk," geramnya. "Tuan Muda Wibawa titip salam. Dia minta aku mematahkan setiap tulang di tubuhmu. Perlahan-lahan. Bersiaplah!"
Baskara menatapnya bosan. "Kau banyak bicara untuk ukuran samsak tinju."
“Apa?!”
Wajah Surya memerah padam karena marah.
"MULAI!" teriak wasit.
WUSH!
Surya melesat maju. Lantai batu retak di bawah hentakan kakinya. Kecepatannya mengejutkan untuk tubuh sebesar itu.
"TINJU PENGHANCUR BATU!"
Kepalan tangan yang dibungkus aura cokelat tebal menghantam lurus ke wajah Baskara.
Penonton menahan napas.
Namun, Baskara hanya... menggeser kaki kirinya sedikit.
WOOSH.
Tinju maut itu meleset, hanya memukul angin di samping telinga Baskara.
Surya tidak berhenti. Ia melancarkan kombinasi serangan brutal. Kiri, kanan, atas, bawah.
BUK! BUK! SWISH!
Tapi Baskara terus bergerak.
Satu langkah mundur. Memiringkan kepala. Memutar bahu.
Gerakannya minimalis, nyaris malas. Namun setiap serangan Surya meleset tipis—satu sentimeter, satu milimeter.
Dan yang membuat penonton mulai terdiam adalah satu fakta mengerikan:
Kaki Baskara tidak pernah keluar dari satu kotak ubin lantai yang sama.
Ia berdiri di dalam kotak 60x60 cm itu, menari menghindari badai serangan tanpa berpindah tempat.
‘Dibanding monster di jurang neraka itu, pria ini lambat, aku bahkan tak perlu memakai belati’ ujar Baskara dalam hati.
"Apa-apaan itu?!" "Kenapa Surya tidak bisa mengenainya?!"
Surya meraung frustrasi. "BERHENTI BERGERAK, TIKUS!"
Ia melompat mundur, mengumpulkan seluruh Prana-nya. Aura di tubuhnya meledak, menciptakan tekanan angin yang membuat debu beterbangan.
"TEKNIK PAMUNGKAS: BADAI TINJU METEOR!"
Surya menerjang kembali. Kali ini, ia melepaskan puluhan pukulan dalam satu detik. Bayangan tinjunya memenuhi pandangan, menciptakan dinding serangan yang mustahil ditembus.
BOOM! BOOM! BOOM!
Lantai arena hancur. Debu tebal menutupi pandangan.
"Mati kau!" teriak Surya gila.
Hening.
Semua orang menunggu debu mengendap.
"Pasti sudah jadi bubur," bisik Wibawa sambil tersenyum.
Namun, saat debu menipis...
Mata Wibawa—dan ribuan orang lainnya—melotot keluar.
Baskara masih berdiri. Di kotak ubin yang sama. Jubahnya bersih. Napasnya teratur. Tidak ada satu goresan pun di kulitnya.
Ia menatap Surya yang terengah-engah dengan tatapan datar.
"Sudah selesai?" tanya Baskara. Nadanya seperti orang tua yang bertanya pada anak kecil yang sedang tantrum.
Harga diri Surya hancur. "TIDAK! AKU BELUM SELESAI!"
Ia mengaum, memusatkan sisa tenaga terakhirnya untuk satu pukulan bunuh diri ke arah dada Baskara.
"MATI!!!"
Baskara tidak menghindar kali ini.
Ia membiarkan tinju itu mendarat.
DUAK!
DING. [Iron Body] skill pasif aktif.
Hantaman keras terjadi tepat di dada Baskara.
Namun... Baskara tidak bergeming. Kakinya bahkan tidak bergeser satu inci pun.
Sebaliknya—
KRAAAK!
Suara tulang hancur bergema mengerikan di arena yang sunyi.
Bukan tulang Baskara.
Surya menjerit memilukan. Pergelangan tangan dan jari-jarinya remuk seketika saat menghantam dada Baskara yang sekeras baja ilahi.
Surya jatuh berlutut, memegangi tangannya yang bengkok aneh, wajahnya pucat pasi.
Baskara menatapnya dari atas. Dingin. Absolut.
"Giliranku," bisiknya.
Tanpa kuda-kuda, tanpa Prana yang terlihat, Baskara melayangkan satu tinju sederhana ke perut Surya.
BUAGH!
Dampak pukulannya menciptakan gelombang kejut di punggung Surya.
BOOM!
Tubuh raksasa Surya terangkat dari tanah, melayang mundur sejauh sepuluh meter seolah ditabrak kereta kuda, sebelum akhirnya menghantam dinding pembatas arena dengan suara dentuman keras.
Surya merosot ke tanah. Mata putih. Pingsan.
Darah segar mengalir dari mulutnya.
Hening.
Keheningan yang mencekam menyelimuti ribuan orang. Tidak ada yang bersorak. Tidak ada yang mengejek. Otak mereka gagal memproses apa yang baru saja terjadi.
"Satu pukulan..." bisik Tetua Satriya, berdiri dari kursinya dengan mata membelalak. "Tanpa menggunakan Prana..."
Patriark Dharma mencengkeram pegangan kursinya hingga hancur menjadi serbuk kayu.
Wibawa? Wibawa membeku, wajahnya seputih mayat. Keringat dingin mengalir deras di punggungnya.
Baskara berdiri sendirian di tengah arena. Ia menepuk-nepuk debu di jubahnya.
Lalu, ia menoleh perlahan ke arah tribun kehormatan.
Matanya terkunci pada Wibawa.
Ia tidak bicara. Namun tatapannya mengirimkan pesan yang jelas:
'Kau berikutnya.'
Baskara berbalik dan berjalan turun dari panggung dengan langkah tenang.
Di tribun penonton, Larasati menangis. Kali ini air mata lega.
Dan di seluruh penjuru arena, satu nama kini dibisikkan bukan dengan nada ejekan, melainkan dengan nada ketakutan murni.
Baskara Atmaja Dirgantara.
Sang Monster telah bangun.
[BERSAMBUNG KE BAB 22]
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁
oya untuk tingat ranah bisa kamu jelasin lebih detail thor di komen agak bingung soalnya hehe