Di balik ketenangan Desa Warengi Jati, sebuah tragedi mengoyak rasa aman warganya. Malam itu, seorang penduduk ditemukan tewas dengan cara yang tak masuk akal. Desas-desus beredar, rahasia lama kembali menyeruak, dan bayangan gelap mulai menghantui setiap sudut desa.
Bayu, pemuda dengan rasa ingin tahu yang tak pernah padam, terjebak dalam pusaran misteri ini. Bersama Kevin sahabat setianya yang sering meremehkan bahaya dan seorang indigo yang bisa merasakan hal-hal yang tak kasatmata, mereka mencoba menyingkap kebenaran. Namun semakin dalam mereka menggali, semakin jelas bahwa Warengi Jati menyimpan sesuatu yang ingin dikubur selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaNyala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9: Jejak Darah (1)
Selamat datang di dalam episode ini mungkin episode ini akan membuat semua yang membaca merinding, karena banyak sekali arwah arwah yang bergentayangan seolah olah ingin diselamatkan, atau malah sebaliknya arwah Jin dalam simbol itu?
...
Happy Reading...🕵♂️📸
......**----------------**...
...
Pagi itu, kabar kematian Herman menyebar cepat di seluruh desa Warengi Jati. Suara kentongan darurat dipukul, warga berkumpul di balai desa dengan wajah pucat pasi. Tidak ada yang percaya bagaimana mungkin seorang tahanan bisa mati di dalam sel yang dijaga polisi.
Pak RT berdiri di depan warga dengan suara parau.
“Semua ini bukan lagi sekadar pembunuhan. Kita berhadapan dengan sesuatu yang lebih besar… dan lebih mengerikan.”
Namun warga tak peduli lagi. Mereka berteriak, sebagian histeris.
“Setiap hari mayat muncul!”
“Kalau polisi saja tidak bisa melindungi, siapa yang bisa?!”
“Bubar saja desa ini! Kita semua akan mati satu-satu!”
Sementara itu, Kevin berdiri di belakang kerumunan, wajahnya pucat, tangan bergetar. Bayu meraih bahunya.
“Pin, fokus. Clue pertama sudah jelas: cincin ular. Itu bukan sekadar perhiasan. Itu simbol. Kita harus cari tahu siapa yang pernah terlihat memakai cincin itu.”
Kevin menatap Bayu dengan mata merah, seperti baru menangis. “Bay… arwah Herman bicara padaku. Dia bilang dalang ada di dekat kita. Bisa jadi… orang yang kita kenal, bahkan orang yang kita percaya.”
Bayu terdiam. Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk ke dalam hati.
-Malam berikutnya
Penjagaan desa ditingkatkan. Polisi berkeliling membawa senjata, warga mengunci pintu rapat-rapat. Tapi malam di Warengi Jati tetap terasa seperti neraka.
Kevin berbaring di kamar Bayu, mencoba memejamkan mata, namun suara bisikan terus menghantui telinganya.
“Darah… darah lagi… korban berikutnya…”
Tiba-tiba, gonggongan anjing terdengar keras dari arah kebun pisang. Disusul jeritan panjang yang memecah keheningan.
“TOLOOOONG!!!”
Bayu langsung bangkit, meraih parang di sudut kamar. Kevin mengikuti, meski kakinya gemetar. Mereka berlari bersama polisi menuju sumber suara.
Di tengah kegelapan, lampu senter menyorot sesuatu yang membuat semua orang tercekat.
Salah satu warga tergantung di pohon pisang, ususnya terburai keluar, melilit batang pohon seperti tali. Matanya melotot, lidahnya terjulur panjang, tubuhnya masih berayun pelan seakan baru saja digantung.
Seorang ibu menjerit sampai pingsan, polisi menutup mulut menahan muntah.
Kevin kaku di tempatnya. Lalu ia melihatnya arwah korban itu berdiri tepat di bawah tubuhnya sendiri, dengan perut bolong, belatung merayap di luka terbuka. Arwah itu menunjuk ke tanah, ke sebuah simbol yang tergores dengan darah lingkaran ular, kali ini dengan mata merah yang menyala samar.
Kevin jatuh tersungkur, tubuhnya bergetar hebat. Suara berat kembali masuk ke kepalanya:
“Tak ada yang bisa lari… semua akan jadi korban…”
Bayu berlari ke arah Kevin, mengguncangnya. “Pin! Sadarlah!”
Namun Kevin sudah kerasukan. Bola matanya berubah hitam, darah keluar dari hidungnya. Dari mulutnya terdengar suara serak yang bukan miliknya sendiri “Ular… ada di balik pesta darah… cincin… cincin… kepala desa…”
Semua orang terdiam. Mereka menoleh ke arah Pak RT yang berdiri di kerumunan.
Namun bisikan mulai menyebar di antara warga.
“Cincin… cincin ular…”
“Jangan-jangan Pak RT…?”
“Dia selalu ada di setiap kejadian!”
Suasana berubah mencekam. Polisi mencoba menenangkan, tapi warga sudah mulai ribut.
Kevin masih kejang di tanah, matanya hitam pekat, suara serak keluar dari mulutnya
“Cincin ular… kepala desa… darah berikutnyaaa…”
Semua orang terperangah. Hening beberapa detik, sebelum bisikan-bisikan mulai menyebar di antara warga.
“Pak RT…?”
“Dia kepala desa kita…”
“Bukankah aku pernah lihat dia pakai cincin kepala ular waktu acara bersih desa?”
“Berarti… semua ini ulahnya?! Dia dalangnya?!”
Mata-mata penuh curiga serentak berbalik menatap Pak RT. Beberapa pemuda desa maju dengan wajah marah, sebagian bahkan sudah menggenggam kayu dan batu.
Pak RT terbelalak, keringat dingin bercucuran.
“Bukan! Bukan aku! Kalian jangan percaya begitu saja! Cincin itu… hanya cincin warisan keluargaku. Aku sudah memakainya puluhan tahun! Jangan salahkan aku tanpa bukti!”
Namun kerumunan semakin gaduh. Seorang ibu yang tadi pingsan kini histeris berteriak:
“Kalau bukan dia, kenapa cincin itu mirip dengan yang diceritakan Herman sebelum mati?!”
Polisi segera membentuk barikade, mendorong mundur warga yang makin beringas. Salah satu polisi berteriak lantang, “TENANG! Jangan main hakim sendiri! Kalau Pak RT benar bersalah, biar kami yang membuktikan. Sekarang bubar dulu!”
Bayu ikut maju, mencoba menenangkan warga. “Kalian semua jangan terpancing! Ingat, dalang sebenarnya ingin kita saling curiga. Justru itu yang diinginkan pembunuh ini. Jangan hancurkan desa sendiri!”
Namun sorot mata warga belum reda. Kecurigaan sudah tertanam dalam benak mereka, dan bisikan-bisikan itu tak bisa dihentikan.
Kevin, yang mulai sadar dari kerasukan, terbaring lemah. Ia memandang Pak RT lama sekali, lalu berkata dengan suara lirih, “Bukan dia… aku bisa merasakannya… bukan dia dalangnya…”
Pak RT menatap Kevin dengan mata berkaca-kaca, setengah lega, setengah masih ketakutan. Tapi bagi warga lain, ucapan itu tidak cukup. Bayangan keraguan tetap melekat.
Keributan di kebun pisang semakin menjadi. Warga menjerit-jerit, sebagian panik, sebagian lain menuduh tanpa dasar.
Billy, anak SMA yang suka nimbrung, menerobos kerumunan. Wajahnya pucat, tapi matanya berbinar karena rasa ingin tahu.
“Bang Bayu! Bang Kevin!” teriaknya sambil ngos-ngosan. “Aku lihat jelas tadi… usus itu gerak sendiri, kayak ada yang narik dari tanah!”
Bayu menoleh tajam. “Billy! Kau jangan sembarangan ngomong, bikin warga tambah panik!”
“Tapi beneran, Bang! Aku lihat kayak ada bayangan hitam di batang pisang!” Billy menunduk, tubuhnya gemetar.
Pak Ustadz maju dengan tenang, tasbih di tangan. Suaranya berat tapi menenangkan.
“Sudah, jangan ribut. Mayat ini jangan dipertontonkan. Kita doakan dan semayamkan sesuai ajaran.”
Pak Herry, yang baru kembali dari luar desa setelah sibuk urus pembangunan mushola, ikut bicara.
“Astagfirullah… aku tinggalkan sebentar, desa sudah begini. Warga jangan saling tuduh. Fokus dulu, turunkan jasadnya.”
Dengan hati-hati, dua polisi memotong lilitan usus. Tubuh korban jatuh berat ke tanah. Beberapa warga menjerit histeris. Kevin menutup wajahnya, tapi ia masih bisa melihat arwah korban berdiri di dekat jasadnya.
Balai Desa
Beberapa jam kemudian, balai desa penuh sesak. Aroma kemenyan bercampur dengan darah yang mengering. Jasad korban dibaringkan di atas tikar pandan, ditutupi kain putih seadanya.
Pak Ustadz memimpin doa. Suaranya tenang, menenangkan warga.
“Jangan saling tuduh. Kita doakan almarhum agar diterima di sisi-Nya.”
Billy duduk di pojok, wajahnya serius untuk ukuran anak SMA. Ia mendekat ke Kevin dan Bayu, berbisik kecil.
“Bang Kev… beneran arwahnya masih ada di sini?”
Kevin hanya menatap kosong ke arah jasad, melihat
arwah korban perlahan memudar.
Pak Herry berdiri, menarik napas panjang.
“Rasanya ada yang tak suka mushola berdiri di desa ini. Tapi kita jangan goyah. Mushola harus cepat selesai, itu benteng kita.”
Begitu menyeramkannya jasad yang baru saja mereka temukan, akankah ada korban lagi? atau? seluruh desa akan menjadi korban? berapa lama lagi kasus ini akan segera dipecahkan?.
see you in the next episode...
......**------------------**...
...
DISCLAMER❗️⚠️
Ko baca doang? masa ga bantu mimin? kalo udah baca jangan lupa ya support juga mimin biar nanti mimin semangat bikin cerita lagi ☺️
Cerita ini hanya karangan semata jika ada perilaku/kata yang kasar mohon di maafkan. Dan apabila jika ada kesalahan dalam pengetikan kata/typo saya mohon maaf, namanya juga kan manusia mimin juga manusia lohh, jadi mohon dimaklumi ya hehe..
Sekali lagi mimin mengucapkan mohon maaf jika per episode di dalam cerita yang mimin buat terlalu pendek soalnya mimin sengaja membagi agar BAB nya banyak, dan biar kaliannya juga greget hehehe😜