Najla anerka ariyani arutama
Nama dia memang bukan nama terpanjang di dunia tapi nama dia terpanjang di keluarga dia
Memiliki 4 saudara laki laki kandung dan 3 saudara sepupu dan kalian tau mereka semua laki laki dan ya mereka sangat overprotektif akhh ingin sekali menukar merek semua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon biancacaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PART 12
Angin malam tidak berubah. Tapi bobotnya berubah.
Arlen tidak menatap tangan pria itu. Ia menatap cara dia berdiri—keseimbangan kakinya, sudut bahunya, jarak nafasnya. Bukan bahasa tubuh orang yang menyerang. Tapi orang yang terlalu lama bertahan.
“Nama,” kata Arlen. Bukan pertanyaan. Filter pertama.
Pria itu menggeser scarf sedikit. Bukan untuk tersenyum, tapi untuk bicara jelas.
“kenzi.”
Kaelan mendengus kecil di belakang, “Nama aja gak bikin kita percaya.”
kenzi mengangguk. “Bagus. Orang yang gampang percaya biasanya kuburnya cepat penuh.”
Najla tetap di sofa, tapi matanya tajam. Dia tidak bicara, tapi dia mengamati seperti orang yang mulai paham bagaimana perang dibaca.
Arlen menahan pintu tetap terbuka, bukan undangan—tapi tes kedua.
“Lo bilang musuh kita sama,” ucap Arlen. “Siapa?”
Kenzi tidak menjawab dengan nama. Ia menjawab dengan konsekuensi.
“Mereka nyebut diri mereka council.”
Keheningan berubah tebal. Kaelan berhenti mengutak-atik pisaunya. Najla mengerjap sekali—lambat. Bukan karena takut, tapi karena mengenali bobot nama itu.
Arlen tidak bereaksi besar. Tapi rahangnya menegang 2 milimeter—cukup untuk orang seperti Kaelan membaca sinyal badai.
“council bukan geng,” lanjut Kenzi.
“Bukan kartel. Bukan kelompok bayaran biasa.”
“Mereka adalah arsitek pemburu.”
Najla: “Arsitek?”
Kenzi mengangguk sekali.
“Mereka tidak mengejar target.
Mereka mendesain keadaan sampai target tidak punya tempat untuk lari.”
Arlen memasukkan tangannya ke saku jaket. Bukan santai. Itu tanda dia memutuskan sesuatu di kepalanya.
“Dan keluarga lo?” tanya Kaelan datar.
Kenzi menutup mata sebentar. Bukan dramatis. Itu jeda orang yang menelan pecahan kaca di masa lalu.
“Mereka gak dibunuh,” katanya.
“Mereka dihapus.”
Najla mengangkat wajah. Kenzi melanjutkan:
“Tidak ada mayat. Tidak ada jejak. Tidak ada berita.
Satu malam, mereka ada. Pagi berikutnya, catatan keberadaan mereka seperti tidak pernah ditulis.”
Kaelan bersiul rendah. “Bukan cuma brutal. Mereka rapi.”
“Rapi karena mereka tidak bekerja sendirian,” jawab Kenzi.
“Mereka punya orang di dokumen negara, jaringan intel bayangan, bahkan pihak yang kalian kira netral.”
Najla berbisik, hampir ke dirinya sendiri:
“…jadi waktu Arlen bilang abu di teras itu sisa kontrak…”
Kenzi menyambung:
“Iya. Itu tanda bahwa council sudah mengeluarkan Kontrak Pemutusan.
Artinya bukan ‘bunuh target’.
Artinya: hapus target dan semua kemungkinan dia masih bisa dilindungi.”
Sunyi.
Arlen mengembus napas lewat hidung. “Keren. Jadi kita bukan cuma dibunuh. Kita juga mau dihapus dari sejarah.”
Kenzi mengangkat bahu kecil. “Lebih efisien buat mereka.”
Najla bangkit.
Mata dia bertemu Kenzi, tidak tunduk, tidak menantang. Hanya satu pertanyaan yang jujur:
“Lo datang ke sini karena balas dendam… atau karena masih mau nyelamatin siapa pun yang tersisa?”
Kenzi berhenti. Lalu, untuk pertama kali malam itu, jawabannya tidak dingin.
“Karena kalau gue sendirian… ending gue udah jelas.”
“Dan gue lebih suka nabrak dinding itu bareng orang yang masih punya alasan hidup.”
Kaelan mengangkat alis. Arlen menunduk, sudut bibirnya hampir membentuk sesuatu yang bukan senyum, tapi mengerti.
Najla tidak butuh waktu lama.
“Kalau begitu, masuk,” katanya duluan.
Kenzi menoleh ke Arlen. Karena semua orang di ruangan itu tahu: keputusan terakhir bukan di Najla. Bukan di Kaelan.
Arlen berjalan, melewati ambang pintu, dan menutupnya perlahan.
klik.
Bukan suara kunci. Itu suara pergeseran nasib.
“Jangan bikin gue nyesel,” kata Arlen.
Kenzi mengangguk. “Gue juga.”
Di luar, kota tidur tanpa tahu…
Bahwa di satu rumah kecil, empat orang yang seharusnya mati sendirian, baru saja duduk di meja yang sama.
Bukan sebagai teman. Belum.
Tapi sebagai orang-orang yang akhirnya punya musuh yang sama.
Dan perang yang sama.
Dapur menjadi ruang strategi dadakan. Tanpa peta besar, tanpa layar hologram, tanpa drama—hanya empat orang yang pernah kehilangan, sekarang menyusun cara membalas.
Kenzi meletakkan flashdisk kecil di meja.
“Ini daftar fasilitas Council yang resminya tidak pernah ada,” katanya. “Gudang logistik. Pabrik kertas identitas. Safehouse. Dan satu arsip pusat bernama Pusat Sinkron.”
Kaelan bersiul rendah. “Pabrik identitas? Jadi mereka bisa bunuh orang, lalu bikin orang itu gak pernah tercatat hidup?”
Kenzi mengangguk. “Itu panggung kerja mereka.”
Najla menatap flashdisk itu seperti benda kecil yang berbau kematian. “…Kalau kita hancurin tempat itu?”
“Bukan cuma runtuhin bangunan,” jawab Kenzi.
“Tapi runtuhin kemampuan mereka menghapus orang.”
Arlen bersandar di kursi. “Jadi langkah pertama: kita pukul Pusat Sinkron.
Bukan buat menang.
Tapi buat bikin mereka berdarah duluan.”
Tidak ada debat. Rencana ditetapkan.
Serang. Cepat. Senyap. Tanpa ampun.
Saat mereka baru masuk tahap membagi peran—
Lampu rumah berkedip sekali.
Bukan gangguan listrik. Itu sinyal intrusi.
Kenzi berdiri duluan. “Drone pengintai. Kecil. Probably sudah di atap.”
Kaelan mendengus. “Deket banget. Berarti dia udah antar paket.”
Arlen sudah di depan jendela belakang. Lalu dia mencium udara.
“Bensin,” katanya.
Belum ada ledakan. Tapi bau itu… adalah salam sebelum api.
Najla langsung mundur dari ruang tengah. “Bukan bom besar. Mereka mau bakar, biar kita keluar lewat titik yang mereka pilih.”
Arlen menoleh. Ada kebanggaan tipis di matanya—analisa Najla makin tajam.
Kenzi melempar jaket dan berkata dingin: “Plan berubah. Mereka kepo sama pintu depan? Kita keluar lewat atap.”
Dan tanpa menunggu detik berikutnya—
BOOM.
Bukan ledakan besar. Tapi cukup untuk membuat dinding sisi timur ambruk dalam semburan api.
Meridian tidak datang dengan ancaman. Mereka datang dengan hukuman.
Di atap rumah, saat api mulai menelan lantai bawah…
Empat bayangan berdiri sejajar. Tidak panik. Hanya lebih tajam.
Dan di ujung gang seberang, berdiri seseorang yang bahkan tidak repot bersembunyi.
Rambut putih, coat panjang abu-abu, dan sarung tangan kulit hitam yang seperti bagian dari kulitnya sendiri. Ia tidak membawa senjata terlihat. Karena orang seperti dia adalah senjata.
Kenzi membeku.
Untuk pertama kali sejak ia tiba, nadanya tidak datar:
“…it’s him.”
Najla menoleh cepat. “Siapa?”
Kenzi tidak menjawab Najla. Ia menatap pria itu seperti masa lalunya berdiri dan menghisap rokok di depannya.
“Orion.”
Kaelan mengernyit. “Pentolan Council?”
“Bukan,” jawab Kenzi tipis. “Dia tangan kanan penghancur keluarga gue.”
Angin lewat. Api di bawah mereka retak dan bergemuruh.
Orion mengangkat kepala, menatap mereka di atap, lalu tersenyum kecil.
Bukan senyum menang. Tapi senyum orang yang akhirnya bertemu hantu yang dulu dia kira sudah jadi abu.
Ia berbicara. Tidak perlu berteriak. Suaranya naik dengan tenang, seperti pria yang yakin langit akan membawa kata-katanya:
“Lama tak jumpa, anak hilang.”
Kenzi mengepalkan tangan.
Lalu Orion menambahkan—tatapan bergeser ke Arlen:
“Dan… kamu.
Yang ibunya mati karena dia percaya dia bisa jadi tameng.”
Najla tersentak. Kaelan hampir langsung melompat kalau bukan karena Arlen mengangkat satu jari.
Karena Arlen… tidak bergerak bukan karena takut. Tapi karena peluru kalimat itu tidak membuatnya tumbang lagi.
Ia justru melangkah ke pinggir atap.
“Aneh ya,” kata Arlen, suaranya rata.
“Dulu orang bikin gue remuk pakai masa lalu.”
“Sekarang mereka cuma bikin gue hafal wajah siapa yang harus gue bakar duluan.”
Orion tertawa kecil. “Bagus. Berarti permainan kita mulai seru.”
Kenzi menarik napas. Najla berdiri lebih dekat ke Arlen tanpa sadar. Kaelan memutar pisau, lalu menutupnya dengan klik yang penuh janji.
Di bawah, api meraung. Di atas, perang baru saja saling menyapa.
Orion berbalik pergi.
Bukan karena takut. Tapi karena orang seperti dia tidak datang untuk menyelesaikan, hanya untuk membuka babaknya.
Sebelum menghilang, ia sempat berkata:
“Datanglah ke Pusat Sinkron kalau kalian mau sejarah kalian kembali.”
“Tapi ingat…”
Ia menoleh setengah wajah.
“Sebagian sejarah… hanya kembali untuk membunuh pemiliknya.”
Lalu ia hilang di balik asap.
Empat orang. Satu rumah terbakar.
Musuh bukan mengetuk pintu lagi… dia menunggu di tujuan.
Arlen menghela napas, bukan lelah—tapi mantap.
“Kita berangkat malam ini.”
Najla mengangguk. Kaelan menyeringai. Kenzi sudah menyiapkan tas.
Dan untuk pertama kalinya…
Mereka tidak hanya bertahan. Mereka bergerak ke wilayah di mana musuh merasa paling berkuasa.