perjalanan wanita tangguh yang sejak dalam kandunganya sudah harus melawan takdirnya untuk bertahan hidup
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adiwibowo Zhen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kelinci abu abu misterius
Kamar yang luas, dindingnya berlapis kain sutra, dipenuhi perabotan antik yang berkilauan. Lampu kristal memantulkan cahaya keemasan pada cermin-cermin besar yang menghiasi sudut ruangan. Dua sosok duduk di tepi ranjang berkelambu sutra.
"Har... Anak dari supirmu sudah lahir. Tapi kenapa dia tidak mati, yah?"Ratmno dengan suara serak,jari jarinya mengetuk ngetuk lengan kursi.
Suharti mengangkat gelas anggur, matanya yang tajam berkilat di balik cairan merah.
"Iya, betul. Seharusnya dia menjadi bayi pertama yang mati sebelum 14 lainnya."Suharti dengan senyum tipis.
Ratmono berdiri, berjalan ke jendela besar yang menghadap ke taman bergaya Eropa.
"Apa tidak apa-apa?"Ratmono sambil berpaling.
"Seharusnya tak ada masalah. Kan kita punya stok banyak bayi lainnya."Suharti.sambil meletakan gelas,berdiri mendekati suaminya.
Dia meletakkan tangan di bahu Ratmono, pandangannya tajam seperti elang.
"Baguslah jika dia bisa hidup, meski sudah kita jual ke Gunung Kawi. Itu tandanya jiwanya besar."Suharti ,berbisik lirih.
Ratmono berbalik, matanya menyipit.
"Bisa kita ajukan lagi ke Srandil? Dewi Lanjar? Laut Selatan?"Ratmono sambil menyeringai.
Suharti mengangguk perlahan, senyumnya semakin lebar.
"Semakin dia tidak mati, semakin bagus. Dengan satu nyawa, kita bisa menjualnya ke banyak tempat."Suharti dengan wajah kejam dan menyeringai.
Ratmono menghela napas, wajahnya menunjukkan keraguan sesaat.
"Oh iya, benar juga... Eh, apa kamu tidak kasihan, Har? Istri sopirmu kan masih termasuk saudaramu... Dan bayi itu seharusnya menjadi cucumu juga."Ratmono berbisik lirih.
"Lagipula sejak kecil, ibunya bayi itu kan hidup di rumahmu. Karena orang tuanya cerai, anaknya tercerai-berai... dan istri sopirmu ikut kita hingga dewasa, dititipkan oleh ibunya karena waktu itu dia harus berkeliling jualan makanan?"Suharti tersentak,dan tertawa getir.
Ratmono mengangguk lemah. Suharti mendekat, menatap suaminya dengan pandangan dingin.
"Hidup ini kejam, Mas. Kalau kita tidak kejam, kita yang akan dikejam orang. Kalau kita tidak menindas orang, kita yang akan ditindas oleh orang lain."Suharti,dengan nada rendah penuh tekanan.
Ratmono menatap istrinya lama, lalu wajahnya berubah keras. Dia mengangguk perlahan.
"Iya... kamu benar sekali, Har."Bisik Ratmonno
Mereka berdiri berhadapan di tengah kemewahan yang menyesakkan, dua siluet terhubung oleh ikatan dosa dan keserakahan, sementara di luar jendela, bulan purnama menyaksikan dengan diam.
Kelambu sutra putih berayun lembut ditiup angin malam yang menyusup dari jendela terbuka. Kamar suite mewah itu dipenuhi aroma gardenia dan melati yang memabukkan, karangan bunga segar tersebar di setiap sudut—di atas meja rias, di karpet bulu domba, bahkan beberapa helai mawar merah terselip di antara lipatan sprei satin.
Ratmono menatap Suharti dari ujung kaki ranjang . Tubuhnya yang atletis hanya dibalut kimono sutra yang terbuka, memperlihatkan dada berotot. "Kau sudah mempersembahkan sesajinya?" suaranya rendah, beresonansi dengan dentingan genderang kecil di sudut ruangan.
Suharti berlutut di hamparan kelopak mawar, tubuhnya yang lentik terbungkus kebaya transparan, memperlihatkan bayangan payudara kencang. "Sudah, Sayang. Darah ayam jago hitam sudah kita persembahkan pada tengah malam tadi." Tangannya yang dihiasi gelang emas meraih mangkuk perak berisi minyak melati. "Dia berjanji akan melipatgandakan gairah kita malam ini."
Ratmono mendekat, bayangannya menutupi tubuh Suharti. "Dua puluh tahun pernikahan, tapi kau masih membuatku merasa seperti remaja yang pertama kali melihat wanita." Jemarinya membuka kancing kebaya perlahan, menyingkap kulitnya yang masih mulus, bagaikan gadis dua puluh tahun. Bau minyak melati dan gardenia membaur dengan keringat mereka.
Suharti mendesah saat bibir Ratmono menyentuh lehernya. "Dia tidak hanya memberikan kita kekayaan, Mon... tetapi juga api yang tak pernah padam." Tangannya merobek kimon sutra itu, mengungkapkan tubuh pria yang masih perkasa di usia lima puluh.
Di atas kepala ranjang, patung kecil dewi berwajah dua,satu sisi tersenyum, satu sisi menakutkan,seolah menyaksikan dengan mata batu yang tajam. Lilin-lilin di altar kecil berkedip lebih terang ketika Ratmono menelanjangi Suharti sepenuhnya dan menempatkannya di atas tumpukan bantal sutra.
"Lihat bagaimana dia memberkati kita," bisik Suharti ketika Ratmono memasuki dirinya dengan gerakan penuh keahlian. Kelambu berayun lebih kencang, kelopak bunga berhamburan dari ranjang. Setiap sentuhan terasa seperti listrik, setiap ciuman seperti api,seolah ada kekuatan ketiga yang memperbesar setiap sensasi.
Mereka bergerak dalam irama ritual kuno, bukan sekadar hubungan suami istri, tetapi persembahan kepada kekuatan yang mereka puja. Di luar, bulan purnama bersinar terang, menyinari kamar yang dipenuhi teriakan dan desahan yang tak lagi sepenuhnya manusiawi.
Yang aneh dari suasana malam itu bukanlah adegan ranjang Ratmono dan Suharti, tetapi keadaan di desa Kedung Dadap yang dilanda hujan angin. Di wilayah kota kecamatan desa Kedung Dadap, tempat rumah Suharti dan Ratmono, justru purnama bersinar terang. Sebuah kontras yang luar biasa, padahal jaraknya hanya terpaut tiga kilometer,jarak yang tak terlalu jauh, tetapi langit seakan terbelah dua.
Pagi itu, sekitar pukul delapan, ketika Yati sedang menjemur Larasati,nama yang diberikan untuk sang bayi mungil,sebuah sedan berwarna gelap memasuki halaman rumah Mbok Yam. Yati mengenal mobil itu; mobil yang sering ia lihat di rumah Ko Acun. Jantungnya berdebar, firasatnya mengatakan sesuatu akan terjadi.
Ketika mobil berhenti dan pintu terbuka, dua sosok familiar muncul: Ko Acun dan istrinya, Nyonya Liu. Senyum lega merekah di wajah Yati. "Ko, Nya, selamat datang! Ini gubuk orang tuaku," sapa Yati dengan senyum hangat, menyambut kedatangan mereka.
"Oh, iya, Ti," jawab Ko Acun, matanya menyapu halaman rumah Mbok Yam. Ia melihat boks bayi yang berada di atas meja kecil, tempat Larasati sedang berjemur. "Oh, itu cucuku sedang berjemur," jelas Yati.
"Eh, iya, Ko, kata Ko Acun harus dijemur tiap hari," timpal Yati, mengingat pesan Ko Acun sebelumnya.
"Iya, iya, benar sekali," jawab Ko Acun, mengangguk-angguk. Ia dan Nyonya Liu melangkah mendekat ke arah Larasati, mengamati gadis mungil yang menggeliat lucu karena kehangatan mentari pagi.
Ko Acun tersenyum, tatapannya penuh makna. "Jaga baik-baik anak ini. Dia membawa tugas berat karena selamat dari petaka. Meski hidupnya tidak akan mudah, tapi aku yakin dia akan kuat," ujar Ko Acun, suaranya lirih namun penuh keyakinan.
Mendengar kata-kata Ko Acun, hati Yati berdebar kencang. Ia merasa bingung dan takut. "Ko, sebenarnya ada apa sih, Ko? Yati jadi bingung dan takut," tanyanya, suaranya bergetar.
Ko Acun menghela napas panjang, menatap Yati dengan tatapan teduh. "Ti, nanti kamu juga akan tahu. Tak usah terlalu dipikirkan. Banyak-banyak berdoa dan serahkan saja semuanya kepada Tuhan," jawab Ko Acun, mencoba menenangkan Yati.
"Manto di mana, Ti?" tanya Nyonya Liu, mengalihkan pembicaraan.
"Oh, Mas Manto sudah berangkat kerja," jawab Yati. "Silakan masuk, Ko, Nya," ajaknya, mempersilakan mereka masuk ke dalam rumah.
Di ruang tamu yang sederhana, Ko Acun duduk di kursi bambu. Yati mengikuti dari belakang sambil menggendong Larasati. Nyonya Liu duduk di samping Ko Acun, mengamati sekeliling rumah dengan tatapan ramah.
"Ti, kemana ayah ibumu? Kok sepi? Katanya ini rumah ayah dan ibumu," tanya Ko Acun, merasa heran karena rumah itu tampak sepi.
"Oh, Ibu jualan makanan keliling kampung, Ko. Dan Ayah ke sawah pagi-pagi sekali," jawab Yati, menjelaskan keberadaan orang tuanya.
Tiba-tiba, Ko Acun berdiri dan melangkah keluar ke jalan. Ia melihat ke arah barat, tatapannya tajam dan penuh konsentrasi. Yati yang penasaran mengikuti Ko Acun dari belakang, begitu juga Nyonya Liu.
"Ko, ada apa, Ko?" tanya Yati, merasa khawatir dengan tingkah laku Ko Acun yang aneh.
"Ti, kamu lihat kelinci abu-abu itu?" tanya Ko Acun, menunjuk ke arah seekor kelinci abu-abu yang sedang melompat-lompat di jalan.
"Iya, lihat, Ko. Ada apa?" jawab Yati, semakin bingung.
"Dia masuk ke halaman rumah itu. Apakah di sana juga ada bayi?" tanya Ko Acun, tatapannya semakin tajam.
Yati berpikir sejenak, lalu menjawab, "Oh, iya, ada, Ko. Di sana juga ada bayi, lahir sehari sebelum Larasati. Dia juga prematur."
"Iya, Ko kok Ko Acun tahu?" tanya Yati, merasa heran dengan kemampuan Ko Acun.
"Dia prematur, tapi sudah delapan bulan lebih. Baru pulang kemarin setelah diinkubator di rumah sakit, Ko," jelas Yati, memberikan informasi lebih detail.
"Kenapa, Ko?" tanya Yati, semakin penasaran dengan apa yang sedang terjadi.
Ko Acun menggeleng, enggan memberikan jawaban. "Tak apa. Besok kamu tahu," jawabnya singkat.
Ko Acun kembali menatap Yati dengan tatapan serius. "Lain kali, kalau kamu melihat kelinci abu-abu itu datang ke sini, bunuh atau usir. Kalau tak berani membunuhnya, usir saja sejauh mungkin," perintah Ko Acun, suaranya tegas dan penuh penekanan.
"Iya, Ko," jawab Yati, merasa takut dengan perintah Ko Acun.
Lalu, Ko Acun tampak seperti sedang membaca mantra. Ia menghentakkan kakinya di halaman rumah Mbok Yam, menciptakan getaran halus yang terasa hingga ke dalam rumah. "Huuuuss!" seru Ko Acun, seolah mengusir sesuatu yang tak terlihat.
Apakah kamu ingin aku melanjutkan narasi tentang apa yang terjadi setelah Ko Acun menghentakkan kakinya di halaman rumah Mbok Yam, dan bagaimana Yati menghadapi ancaman yang mengintai Larasati?