Di antara debu masa lalu dan dinginnya Jakarta, ada satu bangunan yang paling sulit direnovasi: Hati yang pernah patah.
Lima tahun lalu, Kaluna Ayunindya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya: meninggalkan Bara Adhitama—pria yang memujanya—dan cincin janji mereka di atas meja nakas tanpa sepatah kata pun penjelasan. Ia lari ke London, membawa rasa bersalah karena merasa tak pantas bersanding dengan pewaris tunggal Adhitama Group.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Desas-desus dan Bunga Mawar
Kabar buruk punya sayap, tapi gosip kantor punya mesin jet.
Ketika Kaluna melangkah masuk ke lobi Adhitama Tower sehari setelah insiden di lokasi proyek, ia langsung merasakan perbedaannya. Biasanya, resepsionis menyapanya dengan senyum sopan standar. Satpam hanya mengangguk sekilas. Karyawan lain sibuk dengan ponsel masing-masing di depan lift.
Tapi pagi ini, udara terasa lengket oleh tatapan ingin tahu.
"Pagi, Bu Kaluna," sapa resepsionis dengan nada yang sedikit terlalu ramah, matanya menyapu Kaluna dari ujung rambut ke ujung kaki, seolah mencari tanda-tanda bekas pelukan sang CEO.
Kaluna memaksakan senyum tipis, mengangguk, dan bergegas menuju lift.
Di dalam lift yang padat, keheningan terasa mencekik. Kaluna berdiri di sudut, memeluk tabung gambar blueprint-nya. Dua orang karyawati divisi pemasaran berdiri di depannya, berbisik-bisik dengan suara yang "sengaja" tidak dipelankan.
"Iya, sumpah. Pak Hadi yang bilang sendiri. Pak Bara gendong dia bridal style sampai ke kontainer. Terus pintunya dikunci dari dalam hampir sejam."
"Gila... Pak Bara yang itu? Yang kalau senyum aja mahal? Kok bisa?"
"Ya bisalah kalau ceweknya jago servis. Padahal kelihatannya aja polos, ya. Ternyata selera Pak Bos yang modelan begini."
Wajah Kaluna memanas hebat. Telinganya berdengung. Ia ingin sekali menyela dan berteriak bahwa dia sakit maag akut, bukan sedang melakukan hal tak senonoh. Tapi ia tahu, pembelaan diri hanya akan membuat gosip semakin liar.
Ting.
Lantai 40. Kaluna keluar secepat kilat, meninggalkan bisik-bisik beracun itu di belakang.
Di meja kerjanya, Rian menyambut dengan wajah cemas.
"Mbak Kaluna... Mbak nggak usah dengerin omongan orang ya," bisik Rian, menyodorkan segelas teh hangat. "Anak-anak divisi lain emang mulutnya lemes."
Kaluna meletakkan tasnya kasar. "Bara... maksud saya, Pak Bara sudah datang?"
"Sudah, Mbak. Sejak jam 7 pagi. Suasana hatinya... agak mendung," lapor Rian.
Kaluna menghela napas. Ia harus menyerahkan laporan progres hari ini. Dengan langkah berat, ia berjalan menuju pintu ganda ruang CEO.
Ia mengetuk pintu. "Masuk."
Bara duduk di balik meja besarnya, kemeja putihnya digulung rapi sampai siku, dasi sudah longgar. Ia tampak sibuk menandatangani tumpukan berkas.
Saat Kaluna masuk, Bara mengangkat wajah. Tatapannya langsung tertuju pada wajah Kaluna, memeriksa. Tidak ada lagi kelembutan seperti saat di kontainer kemarin. Topeng dingin itu sudah terpasang kembali, meski retakannya masih terlihat samar.
"Sudah sehat?" tanya Bara datar, kembali menekuni berkasnya.
"Sudah, Pak. Terima kasih," jawab Kaluna kaku. Ia meletakkan map laporan di meja. "Ini revisi anggaran yang Bapak minta. Saya sudah memangkas biaya interior kamar sebesar 15% tanpa mengurangi kualitas marmer."
Bara mengambil map itu, membacanya sekilas. "Bagus. Duduk."
Kaluna duduk di kursi hadapan Bara. Suasana hening sejenak, hanya terdengar bunyi goresan pena Bara.
"Orang-orang membicarakan kita," kata Kaluna tiba-tiba. Ia tidak tahan menyimpan ini.
Tangan Bara berhenti bergerak. Ia menatap Kaluna lurus. "Saya tahu."
"Dan Bapak diam saja?"
"Saya tidak bisa mengontrol mulut seribu karyawan, Kaluna," jawab Bara tenang. "Semakin kita klarifikasi, semakin mereka merasa ceritanya benar. Biarkan saja. Nanti juga hilang sendiri kalau ada skandal baru."
Kaluna mendengus tak percaya. "Mudah bagi Bapak bicara begitu. Bapak CEO-nya. Alpha Male yang digilai banyak wanita. Gosip ini justru menaikkan reputasi Bapak sebagai penakluk wanita. Tapi saya? Saya dibilang wanita murahan yang menggoda bos demi proyek."
Rahang Bara mengeras. Ia meletakkan penanya dengan keras.
"Siapa yang bilang begitu? Sebut namanya. Saya pecat hari ini juga," suara Bara rendah tapi mematikan.
"Bukan itu intinya, Bara!" Kaluna frustrasi, tanpa sadar menghilangkan panggilan formalnya. "Intinya adalah kedekatan kita yang tidak profesional ini menimbulkan masalah. Saya minta, mulai sekarang, jangan lakukan hal-hal di luar batas kerja. Jangan gendong saya, jangan suapi saya, jangan—"
"Jangan peduli padamu?" potong Bara tajam. Ia menyandarkan punggungnya, menatap Kaluna dengan sorot mata terluka yang disembunyikan di balik arogansi. "Maaf kalau kepedulian saya membuat reputasimu hancur."
Kaluna terdiam, merasa bersalah. Bukan itu maksudnya.
Sebelum mereka sempat melanjutkan perdebatan, pintu ruangan terbuka lebar tanpa ketukan.
Aroma parfum floral yang mahal dan menyengat langsung memenuhi ruangan, menyaingi aroma kopi Bara.
"Bara, Sayang! Maaf aku telat, tadi macet parah di Sudirman."
Seorang wanita melangkah masuk dengan percaya diri. Tinggi, langsing, dan sangat cantik. Rambutnya yang panjang bergelombang dibiarkan tergerai indah. Ia mengenakan blazer merah menyala yang dipadukan dengan celana kulot putih desainer ternama.
Di tangannya, ia membawa sebuah kotak bekal makan siang bento yang terlihat mahal.
Kaluna menoleh. Jantungnya mencelos. Ia mengenali wanita ini dari majalah bisnis dan feed Instagram sosialita Jakarta.
Siska Maheswari (28 tahun). Putri tunggal pemilik Maheswari Group, salah satu investor terbesar di proyek Hotel Menteng. Dan rumornya... calon tunangan Bara yang direstui oleh Bu Ratna.
Bara tampak terkejut, lalu wajahnya berubah menjadi topeng kesabaran yang dipaksakan. "Siska? Sedang apa kamu di sini?"
"Membawakan makan siang, dong," jawab Siska ceria, berjalan memutari meja dan—tanpa ragu—mencium pipi Bara sekilas.
Bara tidak membalas ciuman itu, tapi dia juga tidak menolaknya. Tubuh Kaluna membeku melihat pemandangan itu.
Siska kemudian menoleh, seolah baru menyadari ada makhluk hidup lain di ruangan itu. Matanya yang ber-eyeliner tajam menatap Kaluna. Tatapan itu ramah, tapi jenis keramahan yang merendahkan. Seperti ratu menatap pelayannya.
"Oh, ada tamu," ujar Siska. Ia menatap Bara. "Karyawan baru?"
"Arsitek," jawab Bara singkat. Ia berdiri, menciptakan jarak dari Siska. "Kaluna, kenalkan ini Siska Maheswari, perwakilan investor utama kita. Siska, ini Kaluna Ayunindya, Lead Architect untuk restorasi Hotel Menteng."
Kaluna berdiri, memaksakan senyum profesional meski dadanya sesak. "Selamat siang, Bu Siska."
"Panggil Siska saja," koreksi wanita itu sambil menjabat tangan Kaluna. Tangannya halus, kukunya di-manicure sempurna. Cengkeramannya lemah, seolah enggan bersentuhan lama-lama. "Oh, jadi kamu arsitek yang sering dibicarakan Tante Ratna? Katanya desainmu... unik."
Kaluna tahu "unik" dalam kamus Bu Ratna berarti "aneh" atau "jelek".
"Saya berusaha memberikan yang terbaik sesuai visi Pak Bara," jawab Kaluna diplomatis.
Siska tertawa kecil, lalu dengan santai duduk di lengan kursi kebesaran Bara, menunjukkan klaim kepemilikannya secara visual.
"Visi Bara memang kadang terlalu idealis. Makanya dia butuh aku untuk membuatnya tetap realistis," ujar Siska manja sambil merapikan kerah kemeja Bara. "Oh ya, Kaluna. Saya lihat desain ballroom-nya. Bisa tidak warnanya diganti? Saya mau nuansa Gold dan Maroon. Krem itu membosankan. Nanti pas acara pertunangan... eh, maksud saya acara Grand Opening, bakal kelihatan pucat di foto."
Siska keceplosan. Atau sengaja keceplosan. Kata "pertunangan" itu menggantung di udara seperti asap racun.
Mata Kaluna membelalak sekilas menatap Bara. Bara tampak tidak nyaman, tapi dia tidak membantah. Dia diam saja.
Hati Kaluna terasa seperti diremas. Jadi benar. Gosip itu benar. Bara sudah punya calon. Tentu saja. Lima tahun adalah waktu yang lama. Apa yang dia harapkan? Bara akan melajang selamanya menunggunya?
"Warna krem dipilih untuk mempertahankan keaslian bangunan heritage, Bu Siska," jelas Kaluna, suaranya terdengar hampa. "Tapi kalau investor meminta perubahan, saya akan diskusikan lagi."
"Bagus," Siska tersenyum puas. Ia beralih pada Bara. "Sayang, makan yuk. Aku bawa Sushi dari restoran Jepang favorit kamu. Kita makan di sofa sana aja."
Bara menatap Kaluna. Ada permohonan maaf di matanya yang hanya bisa dibaca oleh Kaluna. Tapi Kaluna sudah menutup akses itu. Dia kembali menjadi dinding es.
"Kalau tidak ada lagi yang perlu dibahas, saya permisi kembali ke meja saya, Pak," ujar Kaluna formal, membereskan berkasnya dengan cepat.
"Tunggu, Kaluna," panggil Bara, melangkah maju.
"Silakan nikmati makan siangnya, Pak Bara, Bu Siska," potong Kaluna cepat, tidak ingin mendengar apa pun lagi. Ia mengangguk hormat, lalu berbalik dan berjalan cepat keluar ruangan.
Begitu pintu tertutup, Kaluna bersandar di dinding koridor. Napasnya sesak.
Sakit.
Melihat Bara menggendongnya kemarin memberinya harapan palsu. Harapan bahwa mungkin, mungkin saja, masih ada tempat untuknya di hidup Bara. Tapi kehadiran Siska adalah tamparan realitas.
Bara adalah CEO Adhitama Group. Siska adalah putri konglomerat. Mereka setara. Mereka sepadan. Sementara Kaluna? Dia hanya masa lalu yang menjadi beban.
"Mbak Kaluna? Pucat lagi? Sakit lagi?" tanya Rian yang kebetulan lewat membawa dokumen.
Kaluna menggeleng, menegakkan tubuhnya. Ia menyeka sudut matanya yang basah.
"Nggak, Rian. Saya sehat," jawab Kaluna, suaranya bergetar namun tegas. "Saya cuma baru sadar... saya salah tempat."
Di dalam ruangan, Bara menepis tangan Siska yang sedang merapikan rambutnya.
"Siska, stop," ujar Bara dingin. Ia berjalan menjauh menuju jendela.
"Kenapa sih, Bar? Kamu kaku banget hari ini," gerutu Siska, membuka kotak sushinya. "Tante Ratna bilang kamu lagi stres gara-gara proyek ini. Makanya aku datang menghibur."
"Aku tidak butuh hiburan, aku butuh ketenangan," balas Bara tanpa menoleh.
"Siapa perempuan tadi?" tanya Siska tiba-tiba, nadanya berubah tajam. Insting wanitanya menyala.
"Arsitek. Sudah ku bilang kan?"
"Bukan itu maksudku," Siska berdiri, berjalan mendekati punggung Bara. "Cara dia menatapmu... dan cara kamu menatap dia tadi. Itu bukan tatapan bos ke bawahan, Bara. Ada apa?"
Bara berbalik, menatap Siska dengan tatapan kosong. "Jangan mulai drama, Siska. Kita partner bisnis. Perjodohan ini cuma di kepala Mama, bukan kesepakatan kita."
Siska tersenyum miring. "Bisnis dan pernikahan di dunia kita itu sama saja, Bara. Kamu butuh suntikan dana Maheswari untuk ekspansi hotel ini, dan Papaku butuh koneksi politik keluargamu. Kita pasangan sempurna. Kenapa harus dipersulit dengan perasaan?"
Bara tidak menjawab. Ia hanya menatap gedung pencakar langit di luar sana.
"Jangan bilang kamu masih belum move on dari mantan pacarmu yang kabur itu?" tebak Siska tepat sasaran.
Rahang Bara mengeras.
"Hati-hati, Bara," bisik Siska, jari telunjuknya menyentuh dada bidang Bara. "Kalau Tante Ratna tahu kamu main api lagi sama masa lalu... perempuan itu yang bakal hangus terbakar. Dan kali ini, aku nggak akan tinggal diam."
Siska kembali duduk di sofa, memakan sushinya dengan santai.
"Ayo makan, Sayang. Sebelum dingin."
Bara mengepalkan tangannya di saku celana. Ia terjebak. Di satu sisi ada ibunya dan Siska yang memegang kendali masa depan perusahaannya. Di sisi lain ada Kaluna, wanita yang memegang hatinya tapi terus ia sakiti.
Dan gosip di kantor benar. Skandal baru saja dimulai.
BERSAMBUNG....
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️