Su Runa hanya ingin hidup tenang, bekerja santai, dan rebahan damai di apartemen kecilnya. Tapi siapa sangka, setelah satu malam penuh deadline dan mie instan, hidupnya malah “di-upload” ke dunia kolosal sebagai… tokoh numpang lewat?!
Kini dengan nama Yun Ruona, ia mendapati dirinya bukan putri bangsawan, bukan tokoh utama, bahkan bukan penjahat kelas kakap—melainkan karakter sampingan yang kalau muncul, biasanya cuma jadi latar pemandangan.
Awalnya, hidupnya berjalan damai. Sistem hanya memberi satu misi: “Bertahan Hidup.” Tidak ada skenario aneh, tidak ada takdir tragis, tidak ada paksaan ikut alur novel. Ia tumbuh sebagai gadis biasa, menjalani kehidupan versinya sendiri—bebas dan santai.
…sampai takdir iseng mempertemukannya dengan seorang pria misterius. Sejak saat itu, hidup Yun Ruona yang tenang berubah jadi drama tak terduga, penuh salah paham kocak dan situasi yang bikin geleng-geleng kepala.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Najwa Aaliyah Thoati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Jejak Musim di Saku
Pagi itu, tanggal 25 bulan 4 tahun 475, Dunia Xuanyu, Dinasti Hanxu, datang dengan cahaya lembut yang merayap di antara kisi-kisi jendela, menembus tirai bambu dan memantul di lantai kayu yang masih dingin. Embun menempel di ujung daun, gemetar oleh angin musim panas yang baru lahir. Di udara, tercium aroma rumput basah bercampur wangi plum terakhir yang mulai gugur dari rantingnya.
Orang-orang di kediaman keluarga Yun terbangun perlahan — tidak dengan riuh, tapi dengan kesunyian yang tahu dirinya akan segera kehilangan satu suara.
Yun Haoran berdiri di serambi depan. Jubahnya berayun ringan diterpa angin, sementara di tangannya tergenggam selembar surat bersegel akademi, lipatannya rapi dan aromanya masih baru. Tatapannya jauh, tapi hatinya berdenyut dalam dua rasa yang saling bertubrukan: kebanggaan yang hangat, dan kehilangan yang pelan-pelan tumbuh di sela napas.
Dari dapur, Su Yulan muncul dengan langkah tenang. Di pelukannya membawa sebuah kotak kayu kecil berisi bekal: kue kacang kering, daun teh muda, dan seikat kecil ramuan untuk menjaga daya tahan tubuh. Ia berjalan perlahan, seolah setiap langkahnya ingin menunda waktu.
“Sudah siap semuanya, istriku?” tanya Yun Haoran, suaranya nyaris tenggelam oleh desir angin.
Su Yulan mengangguk, meski matanya berusaha menghindar dari tatapan suaminya. “Ya, suamiku. Tapi hatiku belum siap,” ujarnya pelan, bibirnya tersenyum tapi ujung matanya bergetar.
Saat langkah kecil terdengar dari dalam rumah, keduanya menoleh hampir bersamaan.
Yun Zhen keluar dari kamar, membawa tas kain di punggungnya. Wajahnya tenang, tapi ada sesuatu di balik tatapannya — keheningan yang sudah belajar menelan perpisahan.
“Kau sudah lebih tinggi dari waktu terakhir Zhen'er pergi,” katanya pada Yun Zhen dengan lembut. “Tapi entah kenapa... bagi Niangqin, Zhen'er masih anak kecil yang suka berlari tanpa alas kaki di halaman belakang.”
Yun Zhen tersenyum. Ada sesuatu di senyum itu — lembut tapi juga berusaha menahan getir. “Mungkin karena Zhen'er belum benar-benar meninggalkan halaman rumah ini, Niangqin.”
Su Yulan mengulurkan tangannya, merapikan kerah jubah anaknya - jemarinya bergetar sedikit saat menyentuh kain. “Kalau begitu, jangan pernah benar-benar pergi. Biar dunia mengenal Zhen'er, tapi rumah yang mengenal jiwamu.”
Kata-kata itu jatuh seperti benih ke dalam hatinya. Ia tidak menjawab, hanya menunduk, lalu mencium tangan ibunya — hangat, tapi terasa seperti selamat tinggal.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pagi beranjak lebih terang. Di halaman belakang, Yun Ruona berdiri dengan gaun hijau pucat, rambutnya masih kusut karena baru tidur dan belum sempat dirapikan. Ia menatap kakaknya dari kejauhan — ragu-ragu, seperti hendak memanggil tapi takut benar-benar melakukannya. Tak yakin harus mendekat atau tidak. Namun begitu Yun Zhen menoleh dan tersenyum sembari melambaikan tangan, langkah kecil itu langsung berlari menghampiri.
“Gege! Kau benar-benar mau pergi lagi?” tanyanya dengan suara kecil tapi menggigit di udara yang tenang.
Yun Zhen berjongkok di hadapannya. “Hanya sementara. Sama seperti dulu.”
Yun Ruona menggigit bibir. Ia menunduk, memetik bunga kecil yang tumbuh di tepi jalan setapak — bunga plum terakhir yang tersisa di musim yang hampir berganti. Ia memandanginya lama, lalu menyelipkannya ke saku dada kakaknya.
“Kalau bunga ini layu,” katanya pelan, “berarti anginnya sudah jauh dari Meimei.”
Yun Zhen tertegun. “Tapi bunga bisa kering tanpa mati,” balasnya lembut. “Ia hanya tidur menunggu musim berikutnya.”
Yun Ruona mengerjap, lalu tersenyum. “Kalau begitu, Meimei akan menunggu Gege di musim berikutnya.”
Matahari naik sedikit lebih tinggi, menumpahkan cahaya ke rambut mereka. Saat angin lewat, beberapa kelopak plum beterbangan, menari di antara dua bayangan kecil di tanah. Waktu seolah berhenti sejenak — memberi ruang pada dua jiwa muda yang tanpa sadar mengucap janji sederhana untuk tidak saling lupa.
Suara Su Yulan memanggil dari kejauhan, lembut tapi tegas. “Zhen’er, Diedie-mu menunggu di ruang kerja!”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ruang kerja Yun Haoran dipenuhi aroma tinta dan kertas tua. Di atas meja, sebuah surat bersegel merah sudah terbuka separuh, menampakkan lambang pusat Akademi Tianwen — seekor fenghuang melingkar di dalam matahari keemasan, berbeda dengan lambang bintang perak yang dipakai cabang Yunshan.
“Surat ini datang dua hari lalu,” ujar Yun Haoran tanpa banyak basa-basi.
“Tuan Wen Yao yang mengirim. Tapi jelas ini bukan surat biasa dari cabang Yunshan — ini perintah langsung dari pusat Longyuan. Ia meminta kau kembali lebih awal.”
Yun Zhen menatap surat itu. Ada sesuatu di sana — bukan sekadar undangan. Bahasanya sopan, tapi di balik kalimat yang tampak biasa, tersembunyi ketegangan halus. Ia membaca bagian terakhir pelan-pelan:
> “Karena perubahan struktur pelatihan khusus, murid bernama Yun Zhen diminta segera hadir sebelum musim panas berakhir. Harap dijaga kerahasiaannya.”
Yun Zhen mengangkat pandang. “Pelatihan khusus?”
Yun Haoran mengangguk. “Ada hal-hal yang bahkan Diedie belum sepenuhnya mengerti. Tapi tampaknya akademi sedang menyiapkan ujian bagi murid pilihan untuk program baru. Dan kau, Zhen'er, rupanya termasuk di dalamnya.”
Sekilas, kebanggaan melintas di wajah Yun Haoran — tapi segera redup oleh bayangan cemas yang tak bisa ia sembunyikan.
“Zhen’er,” ujarnya dengan nada pelan, “dunia di luar sana tidak selalu seperti buku-buku yang kau baca. Tuan Wen mungkin melihat sesuatu dalam dirimu. Tapi apa pun itu ... jangan biarkan dunia menentukan siapa kau sebenarnya.”
“Baik, Diedie,” jawab Yun Zhen lirih, kepalanya menunduk. “Aku akan mengingatnya.”
Yun Haoran berjalan mendekat, menepuk bahu putranya. “Diedie tahu kau kuat. Tapi ingat — kekuatan sejati bukanlah berani menghadapi dunia, melainkan berani kembali ke rumah tanpa kehilangan dirimu di dalamnya.”
Di balik pintu yang sedikit terbuka, suara napas kecil terdengar.
Yun Ruona berjinjit, mencoba mendengar lebih banyak, meski tak paham semua kata yang mereka ucapkan. Ia hanya tahu — nada suara mereka seperti orang-orang yang berbicara tentang sesuatu yang jauh, sesuatu yang mungkin akan memisahkan mereka lebih lama dari yang ia bayangkan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Menjelang siang, sinar matahari menetes lembut di bebatuan jalan depan rumah. Gerobak kecil dengan roda kayu sudah siap, kudanya mengibaskan ekor, seolah tahu akan ada perjalanan panjang.
Yun Zhen berdiri di hadapan keluarganya, membawa tas kecil di punggung, wajahnya tenang meski matanya bergetar seperti air yang menahan ombak.
Su Yulan menatap anak sulungnya seolah ingin menghafal setiap detail — garis dagu yang mulai tegas, raut tenang yang dulu sering cemberut karena hal sepele. Ia berusaha mencari setiap bayangan masa kecil yang masih tersisa, enggan anaknya berubah terlalu banyak. “Jangan lupa makan tepat waktu,” pesannya. “Dan jangan membaca terlalu lama di bawah lampu minyak.”
Yun Haoran menambahkan dengan nada ringan, tapi dalam. “Kalau ada badai, berhentilah sejenak. Tak perlu memaksakan langkah hanya karena ingin cepat sampai.”
“Baik, Diedie. Baik, Niangqin,” jawab Yun Zhen sambil menunduk.
Dari belakang ibunya, Ruona berdiri terpaku. Matanya mulai berair, tapi ia tak ingin terlihat lemah. Lalu tiba-tiba, ia berlari dan memeluk kaki kakaknya erat-erat.
✨ Bersambung ✨
Tentang reinkarnasi jadi bayi, trus tetiba ada sistem. Tapi sistemnya bukan membantu si FL punya kehidupan lebih baik. Lebih ke sistem yang menghubungkan perasaan atau ikatan hubungan gitu. Ini sistem yang baru sih.
Dari judulnya Panduan Tokoh Numpang Lewat. sempet di sebutkan bentar di bab 1 & 4 tentang novel dan ingatan FL. Tapi masih belum di temukan. Ini sangat pas, berarti tokoh numpang lewat itu beneran lewat aja di buku tanpa ada yang kenal dan sadar akan keberadaannya.
Sepertinya dari 24 bab ini masih pembuka cerita. belum masuk ke intinya. Mungkin semakin ke tengah, akan semakin terbuka alur-alur tersembunyi lainnya.
Good job Author. Aku suka gaya pikirmu. Lanjutkan! aku dukung .... /Joyful//Determined//Applaud//Rose//Heart//Good/
bikin nagih deh. ditunggu bab berikutnya, ya!
/Good/
dengan berkat dukungan dan cinta kalian, aku bisa tetap ada di sini dan tetap melanjutkan kisah ini, meski gak mudah.
makasih semuanya! love U All ....
/Rose//Heart//Pray/
Kutunggu dewasamu, Nana!
alurnya mulus bgt. gak kerasa kepaksa alurnya, kayak lagi naik rollercoaster!
pokok sukak bgt!!!!
semangat mamathor!
/Drool//Angry//Determined/