Email salah kirim, meeting berantakan, dan… oh ya, bos barunya ternyata mantan gebetan yang dulu menolak dia mentah-mentah.
Seolah belum cukup, datang lagi intern baru yang cerewet tapi manisnya bikin susah marah — dan entah kenapa, selalu muncul di saat yang salah.
Di tengah tumpukan laporan, deadline gila, dan gosip kantor yang tak pernah berhenti, Emma harus belajar satu hal:
Bagaimana caranya tetap profesional saat hatinya mulai berantakan?
Antara mantan yang masih bikin jantung berdebar dan anak magang yang terlalu jujur untuk dibiarkan begitu saja, Emma akhirnya sadar — cinta di tempat kerja bukan cuma drama… tapi juga risiko karier dan reputasi yang bisa meledak kapan saja.
Cinta bisa datang di mana saja.
Bahkan di ruang kerja yang penuh tawa, kopi tumpah, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ASEP SURYANA 1993, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 28 — Operasi Sabtu Malam
Sabtu malam di New York.
Hujan baru saja reda, menyisakan aroma aspal basah yang bercampur dengan suara mobil dari kejauhan.
Lampu-lampu kota memantul di genangan air di trotoar.
Emma berdiri di depan gedung apartemen Ryan dengan hoodie abu-abu dan tas kecil berisi laptop. Ia menatap ke atas — lantai lima, jendela dengan tirai setengah tertutup, cahaya layar monitor berwarna kebiruan menembus keluar.
“Ya Tuhan,” gumamnya, “kenapa aku rela begini demi cowok yang minum kopi kayak bayi?”
Pintu apartemen terbuka sebelum dia sempat mengetuk. Ryan muncul dengan kaus hitam dan rambut berantakan, memegang mug besar bertuliskan ‘Trust Me, I’m Almost a Genius’.
“Pas banget waktunya. Pizza baru dateng,” katanya santai.
Emma mendengus. “Kita mau nyusup ke sistem perusahaan, bukan pesta pizza, Ryan.”
“Siapa bilang nggak bisa dua-duanya?”
---
Di dalam apartemen Ryan, suasananya hangat dan agak berantakan.
Tumpukan kertas, beberapa alat elektronik terbuka, dan dua layar monitor besar menampilkan grafik data berwarna biru.
Emma meletakkan tasnya di meja. “Jadi, jelaskan padaku rencananya. Tapi tolong pakai bahasa manusia.”
Ryan duduk di depan komputer, menatapnya dengan senyum nakal. “Baik, nona HR yang disiplin. Kita nggak bakal nyusup ke server langsung. Itu bunuh diri. Tapi… aku kenal orang yang bisa buka pintu belakang.”
“Zane lagi?”
“Ya. Tapi kali ini lewat proxy server di luar jaringan kantor. Aman, tanpa jejak.”
Emma menghela napas. “Kau yakin ini nggak bakal berakhir dengan polisi di depan pintu?”
“Yakin,” jawab Ryan cepat, “...tapi kalau itu terjadi, aku siap pura-pura jadi korban penculikan.”
Emma melotot. “Lucu.”
Ryan menatapnya serius kali ini. “Aku nggak main-main, Em. Kita harus tahu seberapa jauh Liam udah manipulasi sistem itu. Kalau dia hapus data, bisa jadi dia juga nyimpan duplikat buat jaga-jaga.”
Emma menatap layar monitor yang penuh baris kode. “Jadi, kita bukan cuma cari bukti kalau dia bersalah... tapi bukti kalau dia punya sesuatu yang lebih besar.”
“Exactly.”
Ryan mengetik cepat, matanya fokus. “Dan kalau tebakanku benar, file-nya disembunyikan di folder internal dengan label yang nggak akan orang curigai.”
“Kayak apa?”
Ryan tersenyum. “Kayak ‘Accounting Archive’.”
---
Beberapa menit kemudian, layar menampilkan akses ke direktori internal.
Emma menahan napas. “Kita berhasil?”
Ryan mengangguk. “Baru pintu depannya. Sekarang kita harus cari isi kamarnya.”
Ia menggulir daftar file satu per satu.
Sebagian besar laporan keuangan, beberapa file kontrak. Lalu matanya berhenti pada satu file yang aneh:
> HR_CONFIDENTIAL_BACKUP.zip
Ryan menatap Emma. “Kelihatannya menarik.”
“Jangan dibuka sembarangan,” bisik Emma. “Kalau itu jebakan?”
Ryan mengetik cepat, membuka file lewat sistem sandbox. Layar berkedip, menampilkan daftar isi di dalamnya — kumpulan data pegawai, laporan pelanggaran, dan… satu file teks kecil dengan nama:
> emma_case_draft.docx
Emma menatapnya, darahnya seolah berhenti mengalir.
“Buka,” katanya pelan.
Ryan menekan tombol Enter.
File terbuka.
Dan di layar muncul dokumen setebal dua halaman — berisi draf laporan pelanggaran atas nama Emma Wilson, ditandatangani Liam Dawson, lengkap dengan tanggal dan keterangan palsu:
> “Karyawan melakukan tindakan yang mengancam reputasi perusahaan. Direkomendasikan untuk pemutusan kontrak.”
Emma menutup mulutnya dengan tangan, matanya bergetar. “Dia… dia udah nyiapin semuanya. Bahkan sebelum aku dipanggil HR.”
Ryan menatapnya, rahangnya menegang. “Bajingan licik.”
Ia langsung menyimpan salinan file itu ke flashdisk, lalu menutup sistem.
“Sudah. Sekarang kita punya bukti.”
Emma masih menatap layar kosong, suaranya bergetar halus. “Dia pengen ngeluarin aku dengan cara bersih… tanpa pernah keliatan jahat.”
Ryan menoleh, lembut tapi mantap. “Kau nggak sendirian lagi, Em.”
Keheningan mengisi ruangan. Hanya suara hujan tipis di luar.
Emma berusaha tersenyum. “Kau sadar kita baru aja ngelanggar tiga peraturan perusahaan dan mungkin dua undang-undang?”
Ryan tertawa kecil. “Setidaknya kita ngelakuin kejahatan demi kebaikan.”
“Kau sadar betapa cheesy itu kedengarannya?”
Ryan menatapnya lama, matanya serius kali ini. “Aku sadar. Tapi aku juga sadar… aku nggak mau liat kau dihancurin lagi.”
Keheningan lagi.
Emma menunduk, lalu mengambil sepotong pizza di meja. “Kalau gitu, demi kejahatan suci ini, aku berhak ambil potongan terakhir.”
Ryan tersenyum lega, kembali ke kursinya. “Silakan, partner kriminalku.”
---
Beberapa menit kemudian, Emma tertidur di sofa dengan laptop di pangkuannya.
Ryan menatapnya dari meja, ekspresinya berubah lembut. Ia berdiri, menutup laptopnya pelan, lalu menutupi tubuh Emma dengan jaketnya sendiri.
Ia menatap wajahnya beberapa detik, lalu berbisik pelan,
> “Kau bahkan bikin bahaya keliatan indah, Emma.”
Ia berbalik ke arah monitor, memasang earphone, dan mulai menulis pesan ke Zane:
> RYAN: Dapat filenya. Tapi ini lebih besar dari dugaan kita. Dawson punya draf pemecatan palsu.
ZANE: Astaga. Jadi langkah berikutnya?
RYAN: Aku nggak tahu. Tapi satu hal pasti — kita baru aja buka pintu ke perang yang lebih besar.
Ryan menatap jendela, ke arah lampu-lampu Manhattan yang berkilau di malam basah itu.
Di luar, petir menyambar jauh di kejauhan.
Dan dalam bayangan wajah Ryan, terpantul dua hal sekaligus: keberanian dan ketakutan.
Karena mulai malam itu, permainan tak lagi soal cinta — tapi tentang bertahan hidup.
---