NovelToon NovelToon
Ayo, Menikah!

Ayo, Menikah!

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Romantis / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Office Romance / Cintapertama
Popularitas:847
Nilai: 5
Nama Author: QueenBwi

Arkan itu cowok baik—terlalu baik malah. Polos, sopan, dan sering jadi sasaran empuk godaan Elira, si gadis centil dengan energi tak terbatas.

Bagi Elira, membuat Arkan salah tingkah adalah hiburan utama.
Bagi Arkan, Elira adalah sumber stres… sekaligus alasan dia tersenyum tiap hari.

Antara rayuan iseng dan kehebohan yang mereka ciptakan sendiri, siapa sangka hubungan “teman konyol” ini bisa berubah jadi sesuatu yang jauh lebih manis (dan bikin deg-degan)?

Cinta kadang datang bukan karena cocok—tapi karena satu pihak nggak bisa berhenti gangguin yang lain.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QueenBwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sebelas

Setelah serentetan kejadian yang membuat jantung Arkan nyaris migrasi ke dada orang lain, akhirnya kini ia dan Elira duduk lagi di dalam mobil yang meluncur mulus menuju kantor.

Sunyi.

Elira di sebelahnya sibuk menggoyang kepala, bersenandung lagu anak-anak versi remix, sementara Arkan berusaha mengingat: apa sebenarnya yang mereka bahas di hotel tadi sebelum semuanya berubah jadi... bencana yang menggoyahkan imannya?

Begitu mobil berhenti di depan gedung megah perusahaan keluarga, Arkan menahan tangan Elira yang sudah siap turun.

“Sebentar.”

Nada suaranya datar, tapi matanya jelas menyimpan sesuatu.

Elira menoleh, “Kenapa?”

“Aku baru ingat sesuatu. Kau belum menepati janjimu, Elira.”

Senyum Elira muncul perlahan — senyum yang terlalu manis untuk ukuran manusia yang baru saja membuat satu kantor gosip nasional.

“Aku pikir kau sudah lupa, Arkan.”

“Aku lupa tadi. Sekarang ingat.”

“Kalau begitu, kita bicarakan sambil jalan saja bagaimana?”

Akhirnya mereka keluar dari mobil.

Sama-sama jalan memasuki gedung raksasa tersebut. Karyawan yang mereka lewati saling melirik, bisik-bisik, sebagian bahkan pura-pura batuk padahal jelas sedang menahan tawa.

Arkan, dengan seluruh martabatnya sebagai pewaris perusahaan keluarga, menegakkan bahu — tapi matanya sudah menangkap semua lirikan penuh makna itu.

Sampai di depan lift, Arkan menatap Elira. “Jadi?”

Elira membenarkan rambutnya, gaya santainya tidak pernah gagal membuat orang salah fokus. Ia memencet tombil lift setelahnya.

“Kita ketemu setahun lalu, Arkan. Di acara ulang tahun cucu Menteri Pertahanan.”

Arkan mengerutkan kening. “Yang di hotel itu?”

“Ya. Kita sudah dikenalkan waktu itu. Aku bahkan ingat kay pakai setelan abu-abu yang terlalu formal untuk pesta anak umur tujuh.”

“Dan aku…tidak ingat apapun.”

Elira mendesah dramatis. “Sementara aku, tiap malam masih bisa ingat nada suaramu waktu tanya arah ke toilet.”

Pintu lift terbuka, mereka masuk.

Beruntung kosong. Setidaknya tidak ada saksi lagi—untuk sementara.

“Lalu kenapa kita dijodohkan?” tanya Arkan, mencoba menjaga logikanya tetap utuh.

Elira menyandarkan punggung ke dinding lift dan tersenyum. “Karena aku yang minta.”

“Kau—apa?”

Dengan frustrasi gemas, Elira mendorong Arkan pelan sampai punggung pria itu membentur dinding lift.

“Aku suka kamu, Arkan. Aku yang minta dijodohkan. Tapi kau? Kau lupa siapa aku! Jahat sekali.”

Arkan menatapnya lama. “Jadi… semua info pribadiku yang kau tahu itu—?”

Elira mengangguk pelan. “Aku minta Ayahmu untuk menceritakan apapun tentangmu.”

“Dan… stalking kecil-kecilan?”

“Penelitian mendalam,” Elira membenarkan, senyum manisnya berubah jadi sesuatu yang berbahaya.

Arkan mendengus, tapi sebelum sempat bicara, Elira sudah mendekat sedikit — cukup untuk membuat oksigen di lift menurun 30 persen.

“Aku cuma ingin tahu segalanya tentangmu,” katanya dengan suara lembut. “Kau marah?”

Arkan menarik napas, lalu menepuk lembut kepala Elira. “Tidak. Tapi kalau kau ingin menikah denganku, aku juga harus tahu segalanya tentangmu. Tanpa pengecualian.”

Tatapan mereka bertemu. Intens, seperti dua orang yang sadar sedang berdiri di tengah perbatasan antara profesionalisme dan… kebodohan emosional yang menyenangkan.

Untuk sesaat, Arkan benar-benar kehilangan fokus. Dia cantik sekali. Dan menyebalkan sekali karena tahu itu.

Namun detik berikutnya Elira dengan polosnya mulai membuka kancing atas kemejanya.

“Elira!” seru Arkan cepat. “Apa yang kau lakukan?!”

Elira menatapnya lugu. “Kau bilang ingin tahu segalanya tentangku.”

“Aku tidak bermaksud—dalam pengertian fisik!”

“Oh,” gumam Elira ringan. “Kupikir kamu tipe yang to the point.”

Arkan menutup matanya, menghitung sampai lima demi tidak mengucapkan hal-hal yang bisa masuk laporan HRD.

“Lain kali jangan buka baju di lift, Elira.”

“Tenang saja. Aku cuma bercanda. Lagipula, belum waktunya.”

“Belum waktunya?”

Elira menatapnya dengan ekspresi polos penuh dosa. “Ya. Setelah menikah nanti, baru waktunya.”

Arkan benar-benar ingin menabrakkan kepalanya ke tombol darurat.

Namun sebelum sempat menenangkan napas, pintu lift berbunyi ting.

Pintu terbuka — menampilkan tiga karyawan yang berdiri kaku, termasuk Raka, rekan kerjanya.

Raka menyengir. “Kalau sudah selesai adegan dramanya, kami mau naik, Pak Arkan.”

Suasana membeku dua detik sebelum rasa malu menghantam keras.

Arkan keluar dari lift, menarik Elira cepat-cepat.

Tapi sial, sebelum pintu tertutup, Raka sempat berseru, “Bagus tuh, Elira. Hickey-nya matching sama lipstikmu!”

Langkah Arkan langsung membeku.

Beberapa kepala karyawan berputar. Tatapan-tatapan penuh makna bermunculan secepat kilat dan langsung mengarah ke arah mereka.

Elira hanya tersenyum manis, bahkan melambaikan tangan ke Raka sebelum lift tertutup. Seolah apa yang Raka ucapkan barusan hanya salam biasa.

Arkan ingin lenyap ditelan bumi, tapi bumi tampaknya sibuk.

Belum cukup sampai di situ, Ayana — sepupu Elira yang juga kerja di divisi yang sama — muncul dari arah koridor.

Dia menatap Elira dari ujung kepala sampai leher, lalu bersiul pelan.

“Wow. Aku tidak tahu Arkan punya bakat artistik. Lehermu sudah seperti lukisan impresionis.”

Arkan menatap langit-langit, mungkin sedang bernegosiasi dengan Tuhan soal penghapusan memori massal. Lagipula, kemarin itu ia khilaf! Bagaimana tidak khilaf kalau tiap detik digoda begitu? Untung saja khilafnya itu dapat ia kendalikan jadinya tidak sampai melakukan hal-hal yang diinginkan Elira.

Tapi tetap saja, Arkan tidak menyangka akan meninggalkan bekas begitu.

Sementara Elira terkikik, lalu menatap Ayana dengan nada menggoda.

“Kalau kau di sana, kau bakal tahu seberapa... dedikatif dia, kak~”

Ayana menepuk pipinya sendiri dengan girang. “Astaga, Elira! Harusnya kau rekam!”

“Tidak bisa. Rahasia perusahaan,” jawab Elira santai.

Arkan nyaris kejang karena satu kantor kini menatap mereka seolah sedang menonton sinetron jam prime time. Mungkin lebih tepatnya mereka penasaran dengan pembahasan kedua wanita berbeda usia itu.

Ia menatap Elira, frustrasi setengah hidup. “Kau sadar semua orang mendengar pembicaraan kalian, kan?”

Elira menatapnya lembut, “Ya, tapi bukankah ini perusahaan keluarga? Kita cuma mempererat hubungan internal.”

Arkan menutup wajahnya.

Tuhan, tolong. Kalau ini ujian, minimal kasih kisi-kisi.

***

Setelah kejadian lift yang secara resmi membuat reputasi Arkan lebih viral dari laporan keuangan perusahaan, langkahnya kini berat seperti orang yang baru saja menandatangani kontrak penyesalan.

Karyawan di koridor menunduk sopan, tapi ekspresi mereka… ah, mustahil disembunyikan.

Beberapa bahkan pura-pura menatap ponsel padahal layar ponselnya hitam.

“Arkan terlihat lebih bahagia hari ini.”

“Bukan bahagia, itu lemas.”

“Leher tunangannya seperti hasil perang bantal yang brutal.”

Bisik-bisik itu terdengar jelas, menampar ego Arkan tiap langkah.

Sementara Elira berjalan di sampingnya dengan gaya runway model yang tampak terlalu percaya diri untuk seseorang yang baru saja menjadi topik utama gosip. Elira benar-benar tidak peduli dengan semua gosip itu.

Ia tersenyum pada setiap orang yang menatap — seolah sedang membagikan undangan pernikahan, bukan aib kolektif.

Begitu pintu ruangannya tertutup, Arkan menghela napas panjang.

“Aku butuh kopi. Atau cuti.”

Elira duduk seenaknya di kursi tamu dan menatapnya penuh minat. “Kau terlihat stres, calon suamiku.”

“Karena kau.”

“Itu romantis kalau tidak diucapkan dengan nada ingin bunuh diri,” sahut Elira santai, memutar kursi sambil memperhatikan ruangan.

Arkan menatapnya tajam. “Kau sadar satu kantor mengira kita melakukan hal… yang tidak-tidak di hotel, kan?”

Elira tersenyum lebar. “Itu karena kau panik waktu aku bercanda soal kancing baju. Panik adalah bahan bakar gosip, Arkan.”

“Kau terdengar bangga.”

“Bukan bangga, realistis. Reputasi romantis di kantor itu investasi sosial.”

Arkan menatapnya lama, separuh heran separuh lelah. “Kau serius menganggap ini investasi?”

“Tentu. Orang yang dianggap punya kehidupan cinta menarik biasanya lebih disukai atasan. Mereka dinilai stabil secara emosional.”

“Emosional? Aku baru saja mengalami krisis eksistensial di lift!”

“Setidaknya kau punya eksistensi yang menarik.”

Arkan mendengus, menepuk meja. “Dengar, Elira. Kita ini baru dijodohkan sepihak. Aku belum tahu apa kau bisa jadi istri yang masuk akal.”

Elira bersandar ke kursi, menatapnya dengan senyum menggoda. “Tapi kau sudah tahu aku bisa bikin seluruh kantor bicara. Itu talenta sosial, bukan?”

“Talenta yang bikin aku mempertimbangkan pindah ke cabang luar negeri.”

Ya, ampun. Arkan tidak habis pikir. Wanita itu benar-benar pandai memainkan kata dan membuatnya terdengar normal.

Ketukan di pintu menyelamatkannya dari debat absurd itu.

Raka masuk dengan ekspresi menahan tawa yang gagal total.

“Arkan, Kau di panggil oleh Direktur."

Arkan menatapnya datar. “Kau bisa berhenti tersenyum seperti jurnalis infotainment, Raka?”

“Sulit, Pak. Netizen sudah menamai kalian ‘Pasangan Hickey Dynasty’ di forum.”

Elira terkekeh, “Lucu. Aku suka namanya.”

Arkan hanya menatap langit-langit, memohon kekuatan.

Beberapa menit kemudian, mereka sudah duduk di ruang Direktur.

Ayah Arkan — CEO perusahaan — menatap mereka dari ujung meja dengan ekspresi mixed feeling antara bingung, terkejut dan tidak tahu harus merespon bagaimana.

“Arkan. Elira. Bisa tolong jelaskan kenapa grup kantor heboh dengan foto kalian di depan lift? Apalagi ada yang membahas soal tanda merah di leher Elira.”

Arkan mencoba menjelaskan diplomatis, tapi Elira mendahului.

“Itu hasil miskomunikasi optik, Ayah. Cahaya refleksi di leher saya menciptakan ilusi visual yang menyesatkan.”

“Refleksi optik?” ulang sang Ayah mertua, menatapnya tanpa ekspresi.

“Ya. Efek pencahayaan gedung yang terlalu terang.”

“Lalu mengapa Arkan terlihat… memegang bahumu di foto itu?”

“Itu gesture suportif, Ayah. Kami baru selesai membahas strategi merger emosional.”

Arkan akhirnya bicara. “Ayah, tolong jangan dengarkan penjelasan versi dia. Semuanya hanya kesalahpahaman kecil yang dibesar-besarkan.”

Ayahnya memijat pelipis. “Kesalahpahaman kecil tidak biasanya menimbulkan kehebohan sampai sebegininya. Beruntung tidak ada pihak media yang tahu soal ini.”

Arkan dan Elira saling melirik sebelum mereka kembali menatap pria paruh baya itu yang sedang mengurut pelipisnya pelan.

"Kami akan lebih hati-hati, Ayah," ucap Arkan.

"Yah, semoga."

Saat mereka keluar dari ruang CEO, Arkan bersuara lirih, “Kau sadar sekarang aku mungkin jadi headline internal diperusahaan ini?”

Elira tertawa lembut, menatapnya dengan tatapan yang tidak sepenuhnya polos.

“Tenang saja, calon suami. Reputasi bisa jatuh, tapi chemistry kita naik.”

Arkan menatapnya, frustrasi tapi tak bisa menyangkal bahwa senyum itu berbahaya.

Elira menambahkan, “Lagipula, kalau semua ini skandal… setidaknya kita jadi skandal yang fashionable.”

Arkan menghela napas. “Kau benar-benar dirancang semesta untuk menguji kesabaranku.”

“Dan kesabaranmu,” kata Elira sambil melangkah menjauh, “ternyata seksi sekali saat sedang diuji.”

Arkan menatap punggungnya — dan sadar satu hal:

Ia sudah kalah dari permainan yang bahkan belum ia sadari sedang dimainkan.

1
QueenBwi
💜
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!