Lima mahasiswa mendaki Gunung Arunika untuk hiburan sebelum skripsi. Awalnya biasa—canda, foto, rasa lelah. Sampai mereka sadar gunung itu tidak sendirian.
Ada langkah ke-enam yang selalu mengikuti rombongan.
Bukan terlihat, tapi terdengar.
Dan makin lama, makin dekat.
Satu per satu keanehan muncul: papan arah yang muncul dua kali, kabut yang menahan waktu, jejak kaki yang tiba-tiba “ada” di tengah jejak mereka sendiri, serta sosok tinggi yang hanya muncul ketika ada yang menoleh.
Pendakian yang seharusnya menyenangkan berubah jadi perlombaan turun gunung… dengan harga yang harus dibayar.
Yang naik lima.
Yang turun… belum tentu lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irmann Nhh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 – Turun Tidak Selalu Berarti Bebas
Kami turun tanpa bicara.
Bukan karena tidak mau bicara… tapi karena tidak punya kata yang cukup.
Hutan pelan-pelan berubah.
Kabut menipis.
Rasanya lebih “normal” — atau setidaknya, tidak lagi seperti tempat yang hidup dan memperhatikan kami.
Sari berjalan di depanku, langkahnya goyah tapi tegas. Aku di belakang memastikan dia nggak jatuh. Kami tahu kalau sampai berhenti, kami mungkin terlalu takut untuk jalan lagi.
Setelah beberapa menit — atau entah jam — kami lihat sesuatu yang bikin lututku hampir lemas:
Papan rute pendakian. Yang asli.
Dengan tulisan yang jelas:
> → POS 1
← BASECAMP
Sari langsung ngeluarin suara yang mirip tawa campur nangis. “Kita… bener… kita sampai…”
Kami terus turun, dan akhirnya lampu-lampu permukiman mulai kelihatan — titik-titik kuning kecil di kejauhan yang terasa seperti keajaiban.
Saat gerbang kayu besar bertuliskan “SELAMAT DATANG DI GUNUNG ARUNIKA” terlihat dari jauh, aku hampir jatuh berlutut.
Tapi yang bikin bulu kudukku merinding bukan gerbangnya.
Melainkan sosok petugas relawan berseragam oranye yang berdiri diam di depan pos — seperti sedang menunggu.
Wajahnya tampak lega saat lihat kami… lalu berubah sedih begitu menyadari hanya dua pendaki yang turun.
Dia tidak bilang apa-apa.
Kami juga tidak.
Dia mengantar kami ke dalam pos pendaftaran pelan-pelan, seperti mendampingi orang berduka.
Di meja registrasi, buku catatan pendaki masih terbuka.
Halaman tempat kami tanda tangan masih di sana.
Aku ingin lihat — mungkin aku butuh lihat.
Nama-nama kami:
Dimas A.
Raka Pradipta
Sari M.
Arif W.
Lintang Ramadhani
Semuanya lengkap.
Tapi ada satu hal yang membuat jantungku seperti berhenti:
Di samping nama Lintang, ada tanda kurung kecil — bukan tulisan baru.
Tinta sudah pudar, seperti ditulis dua atau tiga tahun lalu.
Tertulis:
> (sudah pernah tercatat)
Sari menutup mulutnya. “Lintang… pernah ke sini… tercatat… bahkan sebelum kita datang…”
Petugas menarik napas, pelan. “Kami nggak boleh hilangin nama siapa pun dari buku. Yang pernah tercatat… selalu tercatat.”
Kalimat itu sederhana, tapi maknanya tajam.
Aku memberanikan diri nanya: “Pak… Dimas dan Arif… kalau mereka turun nanti, bakal ketemu kami, kan?”
Petugas tidak menjawab. Dia cuma menatap buku itu lama sekali, lalu menutupnya perlahan seperti orang menutup lembaran doa.
“Kalian istirahat dulu,” katanya datar.
“Kalau ada yang mau cerita… saya dengar. Kalau tidak mau… saya mengerti.”
Sari langsung jalan keluar.
Aku menyusul.
---
Di luar pos, dingin bukan lagi dingin gunung — dingin rasa kehilangan.
Sari duduk sendirian di bangku kayu dekat warung tutup. Aku duduk di sebelahnya.
Dia tidak menangis. Matanya kosong, menatap gelap di depan.
“Apa kita… bener-bener selamat, Ka?” suaranya pecah.
Aku tidak bisa jawab.
Karena selamat itu relatif.
Yang penting… kami masih hidup.
Setelah lama diam, Sari buka suara lagi, pelan:
“Setiap orang punya gunungnya sendiri ya? Yang cuma dia yang tahu jalannya, cuma dia yang tahu bebannya.”
Aku mengangguk.
“Kadang orang cuma ketemu gunungnya lebih cepat aja.”
Sari menatap gelang biru di tanganku — yang sekarang punya nama Lintang di ukirannya.
“Kamu mau simpan itu?”
Aku menatap gelang itu lama.
Bagian dari diriku ingin membuangnya jauh-jauh.
Tapi bagian lain tahu… membuangnya nggak akan mengubah apa pun.
Jadi aku menggenggamnya erat.
“Gue nggak akan biarin nama dia cuma hilang begitu aja.”
Sari pelan mengangguk.
Kami berdua berdiri. Masih tidak ada yang tahu langkah selanjutnya dalam hidup.
Tapi kami melangkah juga — pelan — ke arah penginapan basecamp untuk istirahat.
Saat berjalan, aku noleh sekali ke belakang.
Ke arah gerbang gunung.
Kabut tipis samar turun dari atas.
Dan di balik pohon, aku melihat sesuatu.
Bayangan lima pendaki.
Berdiri diam. Tidak bergerak.
Tapi tidak menyerang.
Yang turun hanya dua.
Tapi gunung tidak pernah kehilangan tiga lainnya.
Sesaat kemudian kabut menutup mereka, dan bayangan itu hilang.
Aku tidak bilang ke Sari.
Bukan karena aku mau bohong — tapi karena tidak semua kebenaran perlu dibawa turun.
Kalau kami sudah keluar dari gunung ini… maka kami harus benar-benar meninggalkannya di sana.
Untuk sekarang.
Tapi sebelum aku membalikkan tubuh sepenuhnya, aku dengar suara pelan dari arah gelap — bukan suara menyeramkan.
Lebih seperti desahan lega.
“Terima kasih…”
Aku tidak tahu siapa yang mengucapkan itu.
Lintang?
Dimas?
Arif?
Atau gunung itu sendiri?
Tidak penting.
Yang penting… kami dengar.
Aku dan Sari berjalan pergi.
Tidak menoleh lagi.
Karena beberapa pintu…
kalau sudah tertutup,
jangan dibuka kembali.
Dan beberapa gunung…
kalau sudah mengizinkanmu pulang,
jangan pernah tanyakan apa harganya.
pintu tertutup terbuka aja
lama banget horonrnya datang
geram sekali sama mereka main kabur aja
terasa banget horor nya.
aku suka horor