 
                            Di kehidupan sebelumnya, Max dan ibunya dihukum pancung karena terjebak sekema jahat yang telah direncanakan oleh Putra Mahkota. Setelah kelahiran kembalinya di masa lalu, Max berencana untuk membalaskan dendam kepada Putra Mahkota sekaligus menjungkirbalikkan Kekaisaran Zenos yang telah membunuhnya.
Dihadapkan dengan probelema serta konflik baru dari kehidupan sebelumnya, mampukah Max mengubah masa depan kelam yang menunggunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wira Yudha Cs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 GURUN PASIR SABAH
Perbatasan Hutan dan Gurun Pasir Sabah, perjalanan menuju Utara. Di malam hari sebelum mencapai Gurun Sabah, Max menghentikan kereta kudanya untuk beristirahat. Max menangkap rusa liar dan menyembelihnya untuk makan malam. Rusa tersebut di panggang utuh setelah bulu dan isi perutnya dikeluarkan. Tak lupa Riana melumurinya dengan
berbagai rempah-rempahan. Ansel menatap daging merah di
bawah lidah api itu dengan tatapan penuh napsu. Sesekali dia memegang perut dan menekannya. Dia benar-benar lapar. Setelah roti kukusnya di makan oleh anak laki-laki baru yang
dibawa ayahnya, dia jadi menahan lapar dalam waktu yang cukup lama. Melihat wajah pucat itu, Max tanpa sadar mendesah lelah. Dia tidak tega membiarkan anak itu terlalu
menderita. Segera Max mengambil sebilah pisau dari cincin penyimpanan dan memotong kecil daging rusa yang telah matang dengan utuh. Lalu dia menaruhnya di atas daun pisang dan menyerahkannya pada bocah kecil itu.
"Makanlah dengan perlahan. Katakan padaku jika itu kurang."
Ucapan Max memang terdengar acuh tak acuh. Namun, di mata anak laki-laki yang di duduk di samping Ansel, itu adalah bentuk perhatian yang sangat dalam.
Ansel yang melihat daging matang yang ayahnya serahkan, melebarkan kedua mata bulatnya. Mata itu penuh dengan binar bahagia, hingga kedua sudut mulutnya terangkat dan membentuk senyuman lucu yang sangat menggemaskan.
"Terima kasih, Ayah. Aku sayang padamu!" Seru bocah itu dengan riang sembari menerima makanannya. Max tanpa sadar tersenyum kecil di sudut bibirnya. Anak laki-laki di
sebelah Ansel terus memperhatikan interaksi mereka. Max menunjukkan kasih sayangnya dengan cara yang berbeda dan tidak terlalu berlebihan. Itulah yang dipikirkan oleh anak laki-laki itu setelah beberapa waktu bersama mereka.
"Nak, apa kamu tidak bisa mengatakan siapa namamu?" Riana yang sedang mengipasi daging rusa, menatap anak laki-laki dengan pakaian mewah itu. Setidaknya, jika dia mengetahui nama anak itu, mereka akan lebih mudah untuk
memanggilnya. Anak laki-laki itu tiba-tiba merasa agak gugup. Max yang duduk di seberang juga menatapnya dengan singkat. Alhasil, bocah itu merasakan sedikit rasa bersalah karena tidak
mempercayai keluarga penyelamatnya.
"Namaku...." Anak itu mengambil jeda sejenak. Dia memperhatikan orang-orang di sekitar yang menatapnya.
Mereka adalah orang baik, begitulah yang dia pikirkan kala itu.
Dia pun memutuskan untuk berkata jujur mengenai namanya. "Namaku Bannesa. Maaf aku baru bisa mengatakannya." Di akhir kata, anak laki-laki bernama Bannesa itu menunduk singkat sebagai tanda permintaan maaf.
"Bannesa? Itu nama yang sangat indah," kata Riana menanggapi. Dia tersenyum kecil menatap anak itu.
"Namaku Ansel! Ingatlah untuk mengganti roti kukusku yang telah kamu makan!" Ansel yang sedang fokus dengan dagingnya tiba-tiba menyahut. Max memperhatikan bocah kecil
itu. Dia tampak pendendam dan susah melupakan hal-hal yang membuatnya jengkel. Namun, entah mengapa Max benar-benar merasa bahwa Ansel semakin mirip dengannya. Baik itu dari
tingkah laku dan pola pikirnya yang dewasa.
"Tenang saja. Aku sudah mengirimkan surat kepada Ayahku
untuk mengganti roti kukus itu. Maaf sudah memakan roti kukusmu," ucap Bannesa dengan tulus. Ansel hanya mengangguk tanpa menoleh menatapnya.
***
Menjelang fajar, Max sudah menjalankan kereta kudanya. Segera mereka tiba di Gurun Pasir Sabah. Meski matahari belum menampakkan wujudnya, udara terasa hangat dan
Max banyak mengeluarkan keringat. Sesekali dia bertemu dengan beberapa kawanan kalajengking raksasa dan ular derik.
Max mengatasi mereka dengan serangan tanpa suara. Dia tidak ingin membangunkan orang-orang yang masih tidur lelap di dalam gerbong.
Namun, tanpa Max sadari, Bannesa diam-diam melihat pertarungannya dengan kalajengking raksasa. Anak laki-laki itu semakin mengagumi sosok Max yang tampak tangguh dan kuat. Bannesa tiba-tiba berpikir, bahwa orang seperti itulah yang cocok untuk menjadi pendamping sekaligus
pelindung kakak perempuannya. Namun, sayangnya Max sudah
mempunyai seorang putra. Bannesa takut kakaknya tidak akan menyukai seorang duda.
"Paman, apa kamu terluka?" tanya Bannesa ketika Max berjalan mendekati kereta kuda. Max menatap anak itu sembari
menyeka keringat di dagunya.
"Tidak," jawab Max singkat, sembari melompat menduduki kursi kusir. Bannesa mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Itu adalah sebuah sapu tangan lembut dengan motif sulaman bunga.
"Gunakan ini, Paman. Keringat itu memenuhi wajahmu."
Max tidak menolak, dia segera mengambilnya dan menyeka sisa keringat dengan sapu tangan itu.
"Masuklah. Kau bisa tidur lebih lama," ujar Max sambil menarik tali kendali dan memecut pelan badan kuda. Kereta kembali bergerak menyusuri Padang Pasir Sabah. Bannesa tidak ingin menganggu Max, maka dari itu dia segera masuk dan
duduk di samping Ansel yang masih tertidur dengan pulas. Di sisi lain juga ada Riana yang masih tertidur dengan sedikit gelisah karena udara panas. Sepanjang perjalanan melewati
Gurun Pasir Sabah, Max dapat merasakan ada sesuatu yang
mengikutinya dari belakang. Namun, Max berusaha untuk tenang. Seolah-olah dia tidak merasakannya. Meski demikian, Max tetap menjaga kewaspadaan. Ada tiga nyawa yang harus dia lindungi. Max tidak akan membiarkan mereka terluka.
"Perampok? Siluman? Atau mungkin pembunuh? Baik, mari kita
lihat, siapa yang akan menderita." Setelah bergumam di dalam hati, seringaian jahat muncul di wajah tampan itu.
Max dengan sengaja melubangi kantong serbuk racun dan
mengarahkannya ke bawah. Segera serbuk racun berwarna putih dari kantong itu perlahan berjatuhan ke permukaan pasir. Serbuk racun dan pasir membaur menjadi satu. Kandungan pasir dengan cepat terkontaminasi oleh serbuk racun yang
Max sebarkan, hingga jika melihat ke belakang, maka jejak serbuk putih di permukaan pasir itu berubah warna menjadi garis hitam memanjang.
"Satu... dua... tiga ... empat... Li-." Hitungan Max terhenti kala ia
mendengar suara batuk mengerikan yang berasal dari belakang gerbong keretanya.
་་
"Bajingan! Dia menyebarkan racun di pasir!" Itu suara pria dewasa yang sedang mengumpat. Diikuti gelombang pasir dan beberapa manusia tiba-tiba keluar dari pasir dengan wajah
memerah.
Max segera menghentikan kendaraannya dan melompat di atas gerbong kereta. Dia memandang orang-orang yang berada tak jauh dari keretanya dengan tatapan dingin. Aura membunuh terpancar begitu kuat. Beberapa pria yang hanya menggunakan celana hitam selutut masih terbatuk-batuk sembari memegangi leher. Wajah cokelat mereka memerah. Tak berapa lama setelah mereka batuk parah, cairan kental berwarna merah pekat perlahan mengalir dari hidung dan telinga.
"Kurang ajar! Akan kubunuh kau!" Raung salah satu pria itu dengan marah.
Pria itu merupakan salah satu manusia yang masih bisa
mempertahankan pernapasannya meski dengan susah payah. Tak diragukan lagi, racun yang disebarkan di permukaan pasir itu adalah racun mematikan yang sangat berbahaya. Hanya dengan mencium baunya, akan mampu melumpuhkan sistem syaraf dan mengalami gangguan di saluran pernapasan.
Pria itu dengan marah mencabut pedang di sisi kiri pinggangnya dan melemparkan pedang itu pada pemuda
gagah yang berdiri di atas gerbong kereta. Pedang dengan bilah tajam itu segera melesat bak anak panah. Sementara Max, pemuda itu hanya menatap mata pedang itu dengan datar. Dia menepis pedang itu dengan mudah hanya menggunakan jari telunjuknya. Segera pedang berbalik arah dan menusuk tepat kepala pria yang melemparkannya. Semua pria berkulit cokelat yang melihat hal itu, tertegun. Awalnya
mereka kira kereta kuda itu hanyalah kendaraan saudagar kaya biasa hingga mereka bisa merampoknya dengan mudah. Namun, siapa sangka, jika pemiliknya adalah seorang pemuda
gagah yang tidak sederhana.
"Sial. Dia terlalu kuat. Kita harus segera meninggalkan tempat ini!" Pria lain yang masih bertahan memberikan perintah.
Sebagian mengangguk patuh dan sebagian lagi berjatuhan ke permukaan pasir, mereka meregang nyawa karana tidak sanggup lagi menahan efek racun yang perlahan melumpuhkan semua sistem kekebalan dan organ tubuh. Pria-pria yang masih bertahan menyeret kaki mereka agak menjauh dari jejak racun dan melompat memasuki pasir. Max melihat pasir itu perlahan bergelombang menjauh dari
keretanya. Mereka benar-benar meninggalkan rekannya yang sudah meregang nyawa.
Bannesa yang lagi-lagi tidak sengaja melihat adegan berdarah ketika pedang menancap kepala salah satu penjahat, langsung membekap mulut sendiri dengan tangan gemetar karena dia nyaris berteriak ketakutan. Bannesa sudah mengira penyelamatnya ini bukanlah orang biasa. Dia bahkan bisa membunuh tanpa melakukan gerakan yang sia-sia.
"Paman Max, siapa kamu sebenarnya? Mengapa kamu sangat
kuat? Kamu mampu untuk membunuh laba-laba raksasa, ratusan ular derik, dan bahkan membunuh manusia. Meski begitu, entah mengapa aku tidak takut padamu. Aku justru merasa aman karena berada dalam perjalanan bersamamu." Bannesa bergumam di dalam hati, sembari mengintip Max melalui tirai yang menutupi gerbong bagian belakang. Bannesa sekali lagi dibuat tertegun, ketika melihat kebrutalan Max saat pemuda itu mencabut pedang dari kepala dan memotong tubuh pria tak bernyawa itu tanpa mengubah sedikit pun ekspresi datarnya.
***
