NovelToon NovelToon
DEMI IBU KU SEWAKAN RAHIM INI

DEMI IBU KU SEWAKAN RAHIM INI

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Pelakor / Mengubah Takdir / Angst / Romansa / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang
Popularitas:132.8k
Nilai: 5
Nama Author: Cublik

‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’

Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.

Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.

Siapakah sosok calon suaminya?

Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?

Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?

***
Instagram Author : Li_Cublik

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

15 : Kalian lebih pantas dikasihani

"Apa kalian digaji untuk bergosip?”

Kedua wanita itu sungguh terkejut, spontanitas melihat kebelakang pada sosok yang berkacak pinggang.

“Ku tanya sekali lagi! Apa kalian diupah untuk bergosip?!” Nelli menatap bengis, dia sedari tadi bersembunyi dibalik pohon sawit. Mendengar keseluruhan gosip murahan serta fitnah keji yang dilayangkan kepada sahabatnya.

"Apa-apaan kau Nelli? Mengagetkan saja!” Ratna mencebik, rautnya terlihat cemas, dan gesture nya gelisah.

Pun, sama halnya dengan Tatik. Dia memilih bungkam, pura-pura bersiap untuk membabat rumput.

Bukan Nelli namanya kalau mengalah tanpa terlebih dahulu mempermalukan sang lawan. Dia berteriak kencang hingga urat lehernya menonjol.

“Dayu! Sini kau!”

Yang dipanggil cuma Dahayu, tapi yang melihat dan melangkah mendekat lebih dari lima orang. Kebetulan mandor lapangan sudah pergi, mereka bisa sedikit bersantai. Adapun kepala rombongan, tetapi bisa diajak kompromi – asal pekerjaan selesai tepat waktu.

“Ada ribut-ribut apa ini wee? Bolehlah aku jadi tim tepuk tangan. Bila perlu harus ada baku hantam, biar awak puas menontonnya,” ujar seorang ibu berumur kisaran 40 tahunan, wajahnya dibaluri bedak dingin.

"Aku kan tadi lagi kencing di belakang pohon sawit, eh tak tahunya mendengar suara cempreng dua manusia tak beradab ini!” Jari telunjuknya menuding Ratna dan Tatik.

“Sudah wajah pas-pasan, kulit kusam, dada rata tapi disumpal busa beha biar keliatan sedikit berisi, pantat melorot macam Ayam habis bertelur, mana kurus kering lagi macam kekurangan gizi – bisa-bisanya mereka mengatai si Dahayu. Bilang kalau sahabat ku itu perempuan tak benar lah, sok pilih-pilih pasangan lah, terus dikatai suka menggoda mandor lapangan. Apa tak pitam awak mendengarnya, terus _”

“Bohong! Nelli berbohong, dia _”

“Ku doakan pantat mu kurapan, karena mencoba berkelit, tak mau mengakui.” Bibir atas Nelli terangkat tinggi, hingga gigi tengahnya terlihat, tatapan matanya penuh penghinaan.

“Daripada mempercayai kelen, aku lebih percaya pada Nelli. Meskipun mulutnya macam Bebek kalau lagi merepet, tapi dia jujur. Tak munafik macam kelen.” Si ibu melipat kedua tangan di dada.

“Iya, betul. Heran ku tengok kelen berdua ini! Salah apa Dayu? Sering kali kudengar mulut bak comberan kelen mengatainya,” timpal wanita yang kepalanya dibungkus kain jarik.

Ratna dan Tatik – merasa terpojok. Mereka ceroboh, tidak terlebih dahulu memeriksa sekitar saat hendak bergosip, jadilah sekarang diserang dari berbagai arah.

Dahayu sebenarnya malas menanggapi, tapi berhubung ini hari terakhir dirinya bekerja, maka hitung-hitung sedikit memberikan kenang-kenangan tak terlupakan.

“Sebetulnya salahku apa? Bukan sekali dua kali aku mendengar kalian mengatai di belakang, tetapi ketika berhadapan langsung cuma berani menatap sinis. Apa pernah diri ini menggoda suami mu Ratna, Tatik?” Ia maju kedepan.

“Daripada aku, sebenarnya kalian lah yang lebih pantas untuk dikasihani. Mengapa? Telah bersuami, tetapi masih saja harus bekerja begitu keras demi ekonomi tercukupi. Sementara suami kalian asik main kartu di warung kopi sambil menggoda para pelayan yang juga berprofesi sebagai biduan, benar tidak?”

“Tentulah benar. Aku sendiri korban kegatalan mata keranjang para pria kere, keringat bau bangkai itu,” sahut Nelli. Dia sering bertemu dengan suaminya Ratna dan Tatik, saat kumpul di warung yang pemiliknya memiliki kibot (hiburan).

Tatik dan Ratna bungkam, dalam hati mengumpat. Tatapan mereka masih berani, menyimpan dendam.

“Baru saja melahirkan, bayi pun belum genap berumur lima bulan. Bukan menemani tumbuh kembang anak, malah berpanas-panasan membabat lahan demi mendapatkan upah agar bisa beli susu formula. Sangat miris bukan? Lantas, kenapa selalu aku yang kalian jadikan sasaran pelampiasan? Sungguh lucu sekali,” ia terkekeh, pancaran mata tak suka sama sekali tidak ditutupi.

“Jangan pernah menilai seseorang hanya karena melihatnya cuma sekilas. Belum tentu yang kalian katai lebih buruk dari diri sendiri. Bisa jadi, di masa depan – dia menjadi penolong untuk kehidupan kalian yang malang. Kita kan tak tahu jalannya takdir itu seperti apa. Kemarin masa lalu, hari ini kenyataan, dan esok adalah harapan. Bisa jadi Tuhan berbaik hati, mengangkat derajatnya. Apa tak malu nantinya bila kalian mengemis bantuan kepadanya?”

Dahayu menepuk bahu Ratna dan Tatik. “Saranku, kurangi bergosip, menghujat apalagi memfitnah. Perbaiki diri kalian sendiri! Kalau bernyali – tegur suami tak berguna kalian! Miris sekali, bersuami tapi seperti tak memiliki. Semua- semua masih diusahakan sendiri – kalau aku jadi kalian, lebih baik tak menikah daripada dijadikan Sapi perah!”

“Dengarkan itu! Semangat betul mengatai orang, giliran diladeni langsung terdiam. Dasar beraninya cuma dibelakang! Dah macam Anjing peliharaan yang tali kekangnya dipegang sang tuan. Bila dilepaskan maka hilanglah nyalinya. Mental pecundang kok sok keras. Cih!” Nelli menabrak kan bahunya ke pundak Ratna, lalu menyusul Dahayu.

Perdebatan panas itu pun berakhir, para pekerja mulai mengayunkan parang babat, memotong rumput dan tumbuhan liar.

Keringat bercucuran di wajah-wajah wanita tangguh, tak menyerah meskipun fisik dan hati lelah. Tetap semangat demi masa depan yang belum pasti, selalu berharap meskipun sering dipatahkan oleh kenyataan.

Di tepi jalan, tepatnya dalam mobil mewah berkabin terbuka. Seseorang tengah melihat melalui teropong jarak jauh. Dia menyaksikan bagaimana gahar nya wanita yang kemarin telah kehilangan kesuciannya.

Amran masih berdiam diri, padahal para pekerja sudah berjalan menjauhi tepi, masuk ke dalam perkebunan miliknya.

Dibalik kemudi, Randu sabar menemani sang Tuan. Dia memilih diam, tetapi matanya pun ikut melihat perdebatan yang sepertinya panas tadi.

Dalam hati bergidik ngeri melihat sahabat sang nyonya muda, terlihat sangat agresif. Dari jarak jauh dan tidak bisa mendengar apa yang diperdebatkan – Randu meyakini kalau sosok wanita itu sungguh pemberani.

“Jalan! Kita ke rumah sakit PT Tabariq!” titahnya, meletakan teropong di dalam dasbor.

“Baik, Tuan.”

Hari itu dilalui oleh Dahayu dengan lancar, tak ada lagi cibiran cuma tatapan sengit.

Namun, diabaikan saja, dianggap angin lalu. Dia sadar … buang-buang waktu meladeni para pembenci. Sekeras apapun berusaha mendekati, memberi pengertian, bila hati sudah tertutup rasa tak suka, maka usahanya akan sia-sia.

.

.

Keesokan harinya.

“Buk, jangan seperti ini! Nanti kita terlambat, ketinggalan truk. Tak jadilah pergi ke pajak beli baju baru.” Dahayu sedang membujuk ibunya yang merajuk. Tidak mau mengenakan celana kulot.

“Mau rok! Tak mau ini!” Celana hitam panjang dia lempar ke pojok ruangan.

“Lain kali ya pakai rok, sekarang celana dulu,” sangat lembut dia bertutur kata, tetapi sang ibu tetap menggeleng.

“Adik bohong!”

Bu Warni berdiri, menarik lepas cermin dan membantingnya.

Pyar.

Auch.

Darah segar menetes dari punggung kaki Dahayu, ada serpihan kaca menancap di sana.

“Sudah tahu ibumu gila! Harusnya dimasukkan ke rumah sakit jiwa! Bukannya sok-sokan dirawat sendiri. Mampus kan jadinya terluka!”

.

.

Bersambung.

1
Hanipah Fitri
lanjut
Alfiah Putri Pangalila
sangat mengandung bawang, semangat thor
tiap karyamu selalu ku pantau ☺️😍
imau
emang Dayu punya salah apa sama kamu Fiya?
imau
wkwkwk😂 sdh kena suap Randu ya bu
imau
jangan lupa, belahan dagunya 😄
imau
gimana g bergetar rahimnya Nelli 🤣🤣🤣
imau
ini nih gurunya Bu Warni 😄
imau
pengertian sekali
siauwdidola
seru, menarik
Kaka Shanum
tertawalah sepuasnya kamu nafiya karena setelah itu jangankan bisa tertawa,bicara pun tak sanggup kalau kau tau siapa amran tabariq......
NNPAPALE🦈🦈🦈🦈
perkosaaaa aja itu si dayu itu mran.. tuman banget cangkemnya...🤣🤣🤣🤣🤣
NNPAPALE🦈🦈🦈🦈
bukan akal akal an sih,,, tapi biang keladi nya...🤣🤣🤣🤣
NNPAPALE🦈🦈🦈🦈
laaaaahhh sana minum obat dulu,,,, kayaknya dosismu perlu ditambah deh biar agaj warasan dikit...
NNPAPALE🦈🦈🦈🦈
sak karepmu jem jem..... eh... aku ngomong apa ya... jem jem kayaknya ada terusannya deh...🤣🤣🤣🤣
NNPAPALE🦈🦈🦈🦈
abang amran.... kawinin aku bang...🤣🤣🤣🤣
NNPAPALE🦈🦈🦈🦈
matamu pengen tak colok ya peyang... segala macam orang dibilang ganteng, mungkin kalo orang utan dikasih jas celana sama sepatu pantofel paling juga dibilang ganteng sama si peyang ini...
Nurul Boed
Karena Dayu masih beranggpan dia hanya istri sementara,, 🤔🤔🤔
Nurul Boed
Beee,, model an begini gpp dech jadi yang ke tiga 😆😆😆😆
hidagede1
wah... ganteng banget abang amran,,, ah.. ini mah c'nafi gak bakalan bisa tidur 7hari 7 malam, wkwkwk
Marlina Prasasty
untung Bondan gak satu mobil dgn sang tuan pasti dia akan kema sadaran dr perang dunia ke3 ini
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!