NovelToon NovelToon
Bercerai Setelah Lima Tahun Pernikahan

Bercerai Setelah Lima Tahun Pernikahan

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: Nagita Putri

Nathan memilih untuk menceraikan Elara, istrinya karena menyadari saat malam pertama mereka Elara tidak lagi suci.

Perempuan yang sangat ia cintai itu ternyata tidak menjaga kehormatannya, dan berakhir membuat Nathan menceraikan perempuan cantik itu. Namun bagi Elara ia tidak pernah tidur dengan siapapun, sampai akhirnya sebuah fakta terungkap.

Elara lupa dengan kejadian masa lalu yang membuatnya ditiduri oleh seorang pria, pertemuan itu terjadi ketika Elara sudah resmi bercerai dari Nathan. Pria terkenal kejam namun tampan itu mulai mengejar Elara dan terus menginginkan Elara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nagita Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12

****

Hari-hari Elara di kantor utama mulai terbentuk rutinitas. Pagi datang, ia selalu tiba lebih awal untuk memastikan laporan, jadwal rapat, dan kebutuhan Marvin sudah siap.

Namun, semakin hari, semakin jelas ada sesuatu yang berubah dari sikap Marvin terhadapnya.

Jika sebelumnya Marvin hanya tegas dan dingin, kini pria itu mulai sering melontarkan komentar kecil atau pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.

Pagi itu.

Elara duduk di mejanya, memeriksa ulang agenda rapat hari itu. Tiba-tiba pintu ruangan Marvin terbuka, dan pria itu keluar dengan langkah tenang.

“Elara, apa kau sudah sarapan?” tanya nya.

Elara terkejut, ia langsung menoleh cepat.

“Maaf, Tuan? Sarapan?” tanya Elara memastikan.

Marvin berdiri bersedekap, menatapnya tenang pada wajah Elara.

“Aku tanya, apakah kau sudah sarapan. Sekretaris yang lemas tidak akan bisa kerja cepat.” ucap Marvin.

Elara berkedip, merasa ucapan itu janggal.

“Ya, saya sempat makan roti sebelum berangkat, Tuan.” balas Elara.

Marvin mengangguk tipis paham.

“Hm. Jangan hanya roti. Besok makan sesuatu yang lebih layak. Aku tidak mau melihatmu pingsan di tengah rapat.” ucap Marvin lagi.

Elara cukup terkejut lagi. Ia menatap Marvin yang sudah kembali masuk ke ruangannya tanpa menunggu jawaban.

“Selalu saja mengejutkan.” gumam Elara.

Siangnya.

Ruang rapat dipenuhi direksi cabang. Presentasi berlangsung. Elara duduk di sisi Marvin, mencatat poin-poin penting. Saat rapat selesai, para direksi beranjak keluar.

Marvin masih duduk, membuka kancing jasnya sedikit, lalu menoleh ke Elara.

“Kau mencatat semuanya?” tanya Marvin.

“Ya, Tuan. Semua poin sudah saya rangkum.” balas Elara.

“Baik. Kau lebih rapi daripada sekretarisku sebelumnya. Dia selalu melewatkan detail kecil.” ucap Marvin menampilkan sedikit kekesalannya.

Elara tersenyum tipis.

“Terima kasih, Tuan. Saya hanya berusaha melakukan yang terbaik.” balas Elara.

Marvin menatap Elara sejenak, nada lebih pelan.

“Aku tahu. Kau memang selalu berusaha keras. Itu yang membuatmu berbeda.” ucap Marvin terdengar seperti pujian.

Elara menunduk cepat, wajahnya memanas. Ia tak tahu harus menanggapi bagaimana.

“Tuan terlalu berlebihan menilai saya.” ucap Elara mengingat dirinya adalah karyawan yang baru saja menjadi sekretaris di sisi Marvin.

Marvin tersenyum tipis.

“Mungkin. Atau mungkin justru aku melihat apa yang orang lain tidak lihat.” lanjut Marvin

Ucapan itu membuat Elara semakin bingung.

Namun detik selanjutnya terlihat Marvin kembali masuk ke dalam ruangannya.

**

Hari itu hujan deras turun di luar jendela. Kantor mulai sepi, sebagian besar karyawan sudah pulang. Elara masih sibuk merapikan laporan untuk esok hari. Marvin keluar dari ruangannya, berdiri di samping meja Elara.

“Masih belum selesai?” tanya Marvin.

“Sedikit lagi, Tuan. Saya ingin memastikan tidak ada kesalahan.” balas Elara.

Marvin menatap Elara, menatap jam tangannya.

“Kau tahu sudah lewat jam kerja? Tidak perlu memaksa diri.” ucap Marvin.

Elara menoleh, sedikit heran.

“Tapi biasanya Anda selalu menuntut hasil cepat.” balas Elara dengan nada sedikit pelan.

Marvin mengangkat alis yang bersama senyum yang terukir.

“Itu benar. Tapi kalau kau jatuh sakit, siapa yang akan menyiapkan agendaku?” tanya Marvin.

Elara hampir tersedak dengan jawaban bossnya itu.

“Tuan, saya hanya bawahan. Anda bisa menemukan orang lain jika saya tidak ada.” balas Elara menatap tak menyangka atas jawaban yang keluar dari mulut Marvin.

Marvin dengan tatapan dingin kembali memberi balasan.

“Tidak. Aku tidak suka ganti orang semudah itu. Aku butuh yang bisa kupercaya.” ucap Marvin sedikit memberi tatapan tajam pada Elara.

Elara menelan ludah, lalu menunduk paham karena terlalu lancang bicara dengan Marvin.

“Saya akan menyelesaikan ini sebentar lagi, Tuan.” akhirnya Elara menyudahi pembicaraan itu.

Marvin berbalik, melangkah ke pintunya lagi.

“Baik. Tapi jangan pulang terlalu larut. Aku tidak mau kau kehujanan sendirian.” singkat Marvin lagi.

Kalimat terakhir itu membuat Elara membeku di tempatnya.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Hanya tinggal Elara dan Marvin di lantai itu. Elara baru saja selesai mengirim laporan keuangan via email. Saat ia bersiap berkemas, pintu ruang Marvin terbuka.

“Elara.” panggil Marvin.

Elara berdiri cepat.

“Ya, Tuan?” balas Elara.

Marvin melangkah mendekat, suaranya tenang.

“Kau selalu pulang terlambat minggu ini.” ucap Marvin.

“Saya hanya ingin memastikan pekerjaan beres dan sekarang sudah saya selesaikan semuanya.” ucap Elara.

Kenyataannya Elara itu serba salah, terkadang Marvin mudah sekali emosi kalau pekerjaan milik Elara tidak selesai dengan benar.

Marvin menatap lurus ke matanya.

“Kau bekerja terlalu keras untuk melupakan sesuatu, bukan?” tiba-tiba Marvin mengucapkan sesuatu yang terdengar cukup aneh.

Elara tentu saja heran.

“Saya tidak mengerti maksud Anda.” balas Elara.

Marvin mendekat sedikit, nada lebih lembut.

“Aku tidak bodoh, Elara. Aku tahu ada sesuatu di masa lalumu yang berat. Aku tidak ingin tahu detailnya, tapi aku tahu kau sedang berusaha lari lewat pekerjaan.” ucap Marvin seakan memperhatikan detail yang Elara lakukan setiap hari.

Elara menggenggam tangannya erat-erat, wajahnya menegang.

“Tuan Marvin, saya pikir itu di luar kapasitas Anda sebagai atasan untuk menanyakan hal pribadi.” ucap Elara.

Marvin diam sejenak, lalu tersenyum kecil.

“Kau benar. Itu bukan urusanku. Tapi entah kenapa, aku peduli.” balas Marvin cukup tenang.

Elara terdiam. Setelahnya Marvin melangkah mundur, ia kembali ke ruangannya.

“Sudahlah. Pulanglah. Jangan buat dirimu semakin lelah.” lanjut Marvin lagi.

Elara menatap punggung Marvin yang menghilang di balik pintu.

Semakin hari Elara tidak mengerti dengan jalan pikiran bosnya itu.

Akhirnya Elara berjalan keluar kantor dengan payung kecil di tangannya. Ia melangkah cepat di bawah hujan, tapi pikirannya tak bisa berhenti memutar ulang kata-kata Marvin.

“Aku peduli.”

Di lantai atas gedung, dari balik jendela, Marvin masih berdiri memperhatikan Elara yang berjalan menjauh di bawah hujan. Senyum tipis terbit, hanya sebentar, lalu ia kembali menutup tirai.

'Aku senang dia bekerja lebih lama di sisiku, walau aku tahu itu cukup melelahkan.' gumam Marvin membatin.

***

Di sisi lain.

Nathan duduk sendirian di apartemennya. Ruang tamu dipenuhi berkas kerja, segelas kopi sudah dingin di meja.

Kepalanya terus kembali ke satu adegan, Elara berdiri di sisi pria itu, Marvin Luther. Pria muda, tampan, dan jelas dari gesturnya, seseorang yang berpengaruh dan berkuasa.

Nathan meremas rambutnya sendiri, napasnya terdengar berat.

“Kenapa aku seperti ini? Kenapa aku harus peduli? Bukankah aku yang meninggalkannya? Bukankah aku yang memilih jalan ini?” gumam Nathan bermonolog.

Namun bayangan wajah Elara, yang kini tampak lebih tenang dan kuat, terus menghantui. Lebih buruk lagi, tatapan Marvin pada Elara, bukan tatapan atasan pada bawahan, tapi ada sesuatu di sana.

“Elara, apa kau benar-benar sudah melupakanku? Atau pria itu hanya kebetulan ada di sampingmu? Aku… aku tidak siap melihatmu diambil alih begitu saja.” gumamnya lagi.

Tangannya mengepal di balik saku celana. Rasa cemburu dan penyesalan bercampur menjadi satu.

Keesokan paginya.

Di kantornya sendiri, Nathan duduk di meja kerja tapi tatapannya kosong.

Nathan menutup matanya, tapi wajah Elara dan senyum tipis Marvin terus menghantuinya.

Bukan hanya stres, ia mulai merasa terancam. Untuk pertama kalinya, Nathan menyadari bahwa kehilangan Elara mungkin bukan sekedar masa lalu, melainkan kenyataan yang sedang semakin nyata.

"Apa aku masih mencintaimu, Elara?" ucap Nathan bergumam sendirian dengan frustasi.

Bersambung…

1
Rasmi Linda
kau bodoh dia naksir kau
Jumiah
jangan kawatir lara kmu akan mendapatkan yg lebih baik dri sebelum x..
Tzuyu Twice: setuju
total 1 replies
Siti Hawa
aku mmpir thoor... dari awal aku baca, aku tertarik dengan ceritanya... semangat berkarya thoor👍💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!