Di tengah reruntuhan kota Jakarta yang hancur, seorang pria tua berlari terengah. Rambutnya memutih, janggut tak terurus, tapi wajahnya jelas—masih menyisakan garis masa muda yang tegas. Dia adalah Jagat. Bukan Jagat yang berusia 17 tahun, melainkan dirinya di masa depan.
Ledakan menggelegar di belakangnya, api menjilat langit malam. Suara teriakan manusia bercampur dengan derap mesin raksasa milik bangsa alien. Mereka, penguasa dari bintang jauh, telah menguasai bumi dua puluh tahun terakhir. Jagat tua bukan lagi pahlawan, melainkan budak. Dipaksa jadi otak di balik mesin perang alien, dipaksa menyerahkan kejeniusannya.
Tapi malam itu, dia melawan.
Di tangannya, sebuah flashdisk kristal berpendar. Tidak terlihat istimewa, tapi di dalamnya terkandung segalanya—pengetahuan, teknologi, dan sebuah AI bernama Nova.
Jagat tua menatap kamera hologram di depannya. Wajahnya penuh debu dan darah, tapi matanya berkilat. “Jagat… kalau kau mendengar ini, berarti aku berhasil. Aku adalah dirimu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon morro games, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Baru 1
Ruang rapat kementerian pertahanan Indonesia dipenuhi cahaya redup dari layar-layar besar yang menampilkan rekaman kabur pertempuran di pelabuhan. Gambar-gambar itu diambil dari CCTV kota, drone komersial, dan potongan-potongan laporan lapangan.
Suara dentuman, ledakan, dan bayangan logam humanoid terlihat jelas di layar. Para pejabat saling bertukar pandang dengan wajah tegang.
“Ini… jelas bukan teknologi kita,” ucap Letjen Wirawan, panglima strategi militer, dengan nada berat. “Tapi pola kerangkanya—ini sangat mirip dengan desain awal mendiang Profesor Baskara.”
Nama itu membuat ruang rapat hening. Profesor Baskara, ilmuwan robotika jenius Indonesia, meninggal lima tahun lalu dalam kecelakaan misterius. Semua orang tahu rumor yang beredar: karyanya dicuri, sebagian dijual ke luar negeri, dan sisanya lenyap entah kemana.
Seorang staf intelijen berdiri, membuka map merah:
“Kami sudah lakukan analisis. Dari tanda-tanda di lokasi, kelompok kriminal Bara Hitam yang terlibat. Namun, ada entitas lain yang mengawasi dari jauh. Potensi agen asing. Mereka tertarik dengan teknologi armor yang muncul dalam rekaman ini.”
Menteri Pertahanan mengangguk pelan. “Kalau benar ini jejak peninggalan Baskara… maka besar kemungkinan keluarganya tahu sesuatu. Jangan langsung menghakimi, tapi kita tidak boleh lengah. Bentuk tim investigasi. Lindungi keluarga itu, terutama anaknya, Jagat.”
“Baik, Pak,” jawab Letjen Wirawan. “Saya akan kerahkan tim investigasi khusus. Jika benar teknologi itu milik Baskara, kita harus pastikan jatuh ke tangan Indonesia. Bukan negara lain.”
Lampu rapat redup kembali. Arahan sudah jelas. Malam itu, roda konspirasi mulai berputar.
Di sisi lain kota, di rumah kecil pinggiran perumahan, suasana jauh berbeda. Malam terasa damai. Jagat baru saja pulang kuliah dan kerja sambilan. Motor tuanya ia parkir di halaman, padahal ia tahu kendaraan itu hanya kamuflase—Arka One masih berdiam sunyi di mode stealth jauh di langit.
Ia masuk rumah sambil membawa dua kantong belanja besar. Aroma masakan sederhana sudah memenuhi ruang makan. Bu Ratna, ibunya, langsung keluar dari dapur dengan wajah letih namun hangat.
“Gat, kamu bawa apa itu? Kok banyak banget?” suara ibunya penuh cemas. “Kamu harus hemat, Nak. Kalau tidak, tabungan peninggalan Ayahmu akan cepat habis.”
Jagat tersenyum, meletakkan belanjaan di meja makan. “Tenang, Bu. Warisan Ayah masih cukup kalau kita kelola baik-baik. Lagian aku juga nggak berhenti kerja kok. Jadi kita masih bisa bertahan tanpa harus ngirit berlebihan.”
Mata Bu Ratna bergetar saat mendengar nama Baskara disebut. Ada rasa bangga, tapi juga duka yang belum benar-benar sembuh. “Ayahmu… selalu memikirkan kita, bahkan sampai akhir hidupnya.”
Saat itu, Nadia, adik Jagat, keluar dari kamar dengan wajah penuh semangat. Ia langsung membuka salah satu kantong belanja.
“Kak, mana pesanan aku? Kosmetik sama laptop baru ada kan? Ih, Kakak pelit banget kalau nggak ada.”
Jagat melotot pura-pura marah. “Heh, dasar bocil kapitalis! Kamu pikir aku ini marketplace jalan kaki apa? Semua barang tinggal minta?”
Nadia cemberut, bibirnya manyun. “Ya iya dong! Kakakku calon miliuner, katanya punya warisan Ayah. Masa adiknya cantik ini masih pakai kosmetik murahan?”
Bu Ratna menepuk kening sambil tertawa kecil. “Astaga, Nadia… kamu itu sekolah dulu yang bener, baru ngomong soal kosmetik. Laptop aja belum waktunya.”
“Apa-apa belum waktunya!” gerutu Nadia, membuat suasana makin hangat.
Jagat akhirnya mengeluarkan sekotak kecil dari kantong belanja. “Ini ada buat kamu, Dek. Bukan kosmetik, tapi lumayan. Powerbank biar kamu nggak curi-colok charger laptopku lagi.”
Nadia langsung merebut dengan mata berbinar. “Asik! Ya udah deh, Kakak nggak terlalu pelit ternyata.”
Jagat dan ibunya tertawa. Kehangatan keluarga itu terasa nyata, seolah dunia luar dengan segala bahaya tidak ada. Tapi dalam hati, Jagat tahu semua ini rapuh. Ia harus melindungi mereka.
Saat suasana rumah cair, suara datar tapi tegas terdengar di telinga Jagat. Nova.
> “Peringatan. Tiga individu mencurigakan terdeteksi 120 meter dari rumah ini. Dua di antaranya memegang perangkat komunikasi canggih. Sinyal satelit asing terdeteksi. Kemungkinan: pengintaian. Prioritas: lindungi keluarga.”
Jagat menyembunyikan kegelisahannya. Ia tersenyum ke ibunya. “Bu, aku mau keluar sebentar setelah makan. Ada urusan kampus.”
“Jangan pulang malam-malam, Gat. Ibu khawatir,” kata Bu Ratna lembut.
“Tenang, Bu. Aku nggak akan lama.”
Nadia nyeletuk sambil memainkan ponselnya: “Eh, jangan-jangan Kakak punya pacar rahasia ya? Malam-malam keluar, gayanya misterius banget.”
Jagat menepuk kepala adiknya. “Mulutmu itu, Dek. Aku pergi sebentar aja. Nanti aku bawain gorengan kalau masih buka.”
Ibu dan adiknya tertawa, tak tahu badai apa yang menunggu.
Dari luar jendela, mata-mata asing terus mengawasi, sambil menyalakan alat komunikasinya.
“Target ada di dalam. Konfirmasi ke pusat. Anak itu… kemungkinan besar kunci warisan Baskara.”
Malam di gang perumahan itu sepi. Lampu jalan temaram, hanya ada suara jangkrik bercampur semilir angin. Jagat baru saja keluar rumah setelah pamit kepada ibunya, berniat sekadar menenangkan pikiran.
Tak berselang lama:
“Permisi…”
Sebuah suara tenang terdengar dari samping. Jagat menoleh. Seorang pria berjas rapi, dengan wajah ramah, menyapanya. Tak terlihat mengancam, bahkan lebih seperti pegawai kantor yang baru pulang kerja.
“Anak muda, malam-malam keluar sendiri? Boleh kita bicara sebentar?” tanyanya dengan senyum tipis.
Jagat mengerutkan kening. Ia bisa merasakan sesuatu yang tidak biasa—Nova di dalam sistemnya memberi sinyal samar, deteksi anomali. Namun Jagat memilih menahan diri.
“Iya ada apa ya?, Kalau hanya bicara sebentar, silakan. Tapi jangan di sini. Ibu saya sedang sakit, saya mau beli obat buat ibu saya,” ucap Jagat.
Pria itu tersenyum makin lebar. “Cuma sebentar saja. Mari, di ujung jalan ada warkop kecil. Kita bisa duduk sambil minum kopi. Saya yang traktir.”
Jagat menimbang, lalu mengangguk. Ia tak ingin mencurigakan. Kalau menolak mentah-mentah, bisa jadi malah membuat masalah lebih cepat muncul.
Tak lama kemudian, mereka sudah duduk di bangku kayu sederhana warkop. Penjual warkop menyalakan televisi kecil yang menayangkan berita malam. Aroma kopi hitam dan gorengan menemani suasana.
Pria itu membuka percakapan dengan sangat ramah. “Namamu Jagat, bukan? Anak Prof. Baskara?”
Jagat berhati-hati menjawab. “Nama saya Jagat. Tapi soal ayah, kenapa Anda menanyakan?”
“Ah, tidak perlu tegang. Saya hanya… kagum. Ayahmu ilmuwan hebat. Dunia kehilangan orang besar setelah beliau tiada.” Nada bicaranya lembut, bahkan seolah tulus berduka.
Jagat menatap tajam, tapi memilih diam.
Pria itu melanjutkan, “Saya berasal dari lembaga riset internasional. Kami sering bekerja sama dengan para ilmuwan besar. Sejujurnya, kami tahu warisan ayahmu tidak sesederhana yang orang kira. Dan kau, Jagat… kau adalah pewaris jenius itu.”
Jagat menegakkan tubuh. Dalam hatinya, Nova berbisik:
> [Nova Log]
Deteksi manipulasi verbal. Subjek berusaha menggiring emosi. Saran: tetap netral, jangan memberi konfirmasi.
Jagat menarik napas dalam. “Saya hanya mahasiswa biasa. Hidup saya sederhana. Kalau Anda ingin bicara soal ayah saya, beliau sudah lama tiada.”
Pria itu terkekeh kecil. “Jangan merendahkan dirimu. Kami tahu lebih dari itu. Kau punya masa depan cerah. Jika ikut bersama kami, fasilitas riset terbuka lebar. Bayangkan: laboratorium dengan teknologi terbaik, dana tak terbatas, bahkan kesempatan tinggal di luar negeri. Kau bisa menjadi ilmuwan besar, lebih cepat daripada yang kau kira.”
Jagat menahan senyum sinis. “Kedengarannya seperti mimpi indah. Tapi saya cukup di sini. Keluarga saya masih butuh saya.”
Pria itu mencondongkan tubuh, nada suaranya berubah lebih serius. “Jagat… dunia ini penuh bahaya. Kalau kau menolak, pihak lain mungkin tidak akan sebaik kami. Kami ingin melindungimu, asal kau mau bekerja sama.”
Itu jelas ancaman halus. Jagat bisa merasakan bulu kuduknya meremang. Nova berkomentar lagi:
> [Nova Log]
Potensi ancaman meningkat 47%. Skenario: subjek berusaha rekrutmen paksa.
Jagat menatap lurus ke mata pria itu. “Saya ucapkan terima kasih atas tawarannya. Tapi saya menolak. Saya tidak mengerti kemana arah pembicaraan anda. Lagipula Ayah saya mengajarkan satu hal: jangan menjual ilmu untuk kepentingan yang tidak jelas.”
Wajah pria itu sempat menegang. Namun sebelum ketegangan itu memburuk, suara lain terdengar.
“Maaf, boleh saya ikut bergabung?”
Seorang pria bersetelan jas hitam, dengan lencana kecil di dada, berdiri di samping meja. Senyumnya sopan, tapi matanya tajam mengawasi.
Pria asing itu langsung berubah ekspresi. “Oh… sepertinya kita tidak sendirian.”
Agen pemerintah itu duduk tanpa basa-basi. “Kami sudah lama mengawasi lingkungan ini. Jagat adalah warga negara yang dilindungi. Jika ada pihak asing mencoba merekrut atau bahkan mengancam, kami berhak turun tangan.”
Pria asing itu tertawa pendek, tapi nada sinisnya jelas. “Wah, begitu cepat. Luar biasa. Tapi jangan salah paham, saya hanya menawarkan masa depan cerah. Tidak ada yang salah dengan itu, bukan?”
Agen pemerintah menatap dingin. “Masa depan anak ini adalah urusan negara kami. Jika ada yang mencoba merebut, kami anggap itu pelanggaran serius.”
Jagat duduk di tengah-tengah, hatinya berdegup kencang. Ia merasa seperti pion dalam permainan catur besar.
Pria asing itu akhirnya berdiri. “Baiklah. Malam ini hanya perkenalan. Tapi ingat, Jagat… pintu kami selalu terbuka. Cepat atau lambat, kau akan butuh kami.” sambil meninggalkan kartu nama.
Ia meninggalkan warkop dengan langkah ringan, namun aura ancamannya masih terasa.
Agen pemerintah itu lalu menoleh ke Jagat. “Maaf jika kami tiba-tiba muncul. Tapi mulai malam ini, kau harus tahu: ada banyak mata yang mengincarmu. Kami di sini bukan musuhmu. Tapi ingatlah, kepercayaan butuh waktu.”
Jagat hanya mengangguk. Dalam benaknya,
Jagat meneguk kopinya yang sudah dingin. Malam itu, ia sadar, hidupnya takkan pernah kembali normal.
Jagat tahu bahwa setiap langkahnya di malam itu berisiko. Dermaga lama bukanlah tempat asing baginya—di sini ia pernah melarikan diri dari pikiran-pikiran berat, pernah menatap laut sampai tak terasa waktu. Namun malam itu ada suhu lain: bukan hanya garam dan angin, melainkan napas pengintai yang terasa di kulitnya, bisik mesin, dan lampu-lampu yang bergerak tak wajar di kejauhan.
Nova sudah memberi notifikasi berkali-kali: tiga unit bergerak mendekat, gelombang radio yang tidak biasa, tanda-tanda exosuit kelas awal. Jagat melangkah lebih pelan, menimbang: bertarung di dermaga sama saja menarik badai ke rumahnya. Di pikirannya lari gambar ibu yang menatap jendela, Nadia yang tertidur di kamar kecil—semua itu membuatnya menahan satu keputusan besar.
Mereka datang serempak. Enam bayangan muncul dari sela-sela kontainer, bergerak memakai taktik penyergapan. Di depan mereka, seorang pria berjaket gelap melangkah maju tanpa menutup jarak. Suaranya dingin tapi tak berteriak. “Jagat Baskara. Kami tak ingin melukai orang tak bersalah. Ikuti kami, dan tidak ada masalah.”
Jagat menatap lurus, napasnya lambat. “Saya tidak akan ikut ke mana pun,” jawabnya. “Kalau mau bicara, bicaralah di sini. Jangan libatkan warga.”
Salah satu dari mereka mengangkat sebuah alat kecil, seperti tongkat, dan sinar biru tipis menyambar udara. Alat itu mengeluarkan dengung, bukan dentum. Satu percobaan, lalu senyap—target diujicoba. Itu bukan peluru; itu stun gun jarak jauh, dirancang untuk melumpuhkan gerak otot dan syaraf sementara. Satu tembakan diarahkan ke udara, hanya untuk memperingatkan.
Seorang pelaku lainnya melangkah, suaranya seperti mengulur. “Kami tak ingin jadi musuh. Tapi kami punya cara untuk membuatmu kooperatif, dengan sedikit tekanan saja.”
Jagat mundur selangkah. Nanobot di pembuluhnya berdenyut, memberi sensasi aneh: kekuatan yang bisa dilepaskan, namun Nova menginterupsi cepat.
> “Rekomendasi: jangan eskalasi. Jarak ke rumah 1,2 km. Risiko kolateral: tinggi. Ops non-lethal disarankan.”