Ketika di bangku SMA, Gaffi Anggasta Wiguna dan Bulan Noora selalu berjalan berdampingan layaknya sepasang kekasih yang penuh dengan keserasian. Di balik kedekatan yang mengatasnamakan pertemanan, tersembunyi rasa yang tak pernah terungkapkan. Bukan tak memiliki keberanian, melainkan Bulan Tengah mengejar seseorang. Anggasta memilih jalan sunyi, memendam dan mencoba tetap setia mendampingi sampai kebahagiaan itu benar-benar datang menghampiri perempuan yang sudah membuatnya jatuh hati. Barulah dirinya mundur pelan-pelan sambil mencoba untuk mengikhlaskan seseorang yang tak bisa dia genggam.
Lima tahun berlalu, takdir seakan sengaja mempertemukan mereka kembali. Masihkah cinta itu di hati Anggasta? Atau hanya bayang-bayang yang pernah tinggal dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Pecundang
Jeno tak bisa berkata ketika mendengar semua yang dijelaskan oleh Anggasta perihal Bulan. Dia menatap sang teman dengan begitu serius.
"Ini kesempatan lu buat dapetin Bulan," titah Jeno. Melihat Anggasta yang tak berkata membuat Jeno sedikit murka.
"JANGAN JADI PECUNDANG!"
Anggasta tersenyum mendengarnya. Sudah banyak makian yang Jeno keluarkan kepadanya perihal perasaan yang dimilikinya. Tapi, Anggasta memilih diam tak meladeni.
Suara mobil terdengar dari arah luar. Sudah dipastikan itu Sekai. Anggasta beranjak dari sana menuju kamar mandi. Baru saja mulut Jeno terbuka, seketika tertutup kembali melihat Sekai yang datang tak sendiri.
"Apaan ini?"
"Kenapa lu? Mendadak kayak kambing bego?" sergah Sekai melihat Jeno terdiam dengan mata yang tertuju pada sang adik. Tak ada jawaban apapun.
"Udah nyam--"
Giliran Anggasta yang terdiam melihat perempuan yang bersama Sekai. Mata perempuan itu nanar ketika melihat Anggasta di sana.
"Mas, Adek langsung ke kamar aja, ya."
Sekai mengangguk. Mata Anggasta terus mengikuti langkah adik dari Sekai yang tak lain adalah Bulan, perempuan yang dia khawatirkan.
"Dia sedang ingin menenangkan hati," papar Sekai.
Jeno menatap Anggasta yang kini sudah duduk bertiga. Dua lelaki itu tak menyangka jika Bulan adalah adik dari temannya itu.
"Ibu gua udah meninggal sedari gua umur satu tahun. Ayah gua nikah lagi dan punya-lah Bulan."
Sekai adalah panggilan khusus dari Jeno dan Anggasta. Nama aslinya adalah Langit. Lelaki itu bingung ketika kedua temannya hanya terdiam.
"Kenapa?"
"Gua mau temuin Bulan."
Mata Sekai melebar. Apalagi Anggasta sudah menuju tangga menuju lantai dua di mana kamar Bulan berada. Jeno dengan cepat menghadang tubuh Sekai.
"Biarkan!"
"No--"
"Perempuan yang si Angsa cintai dalam diam adalah Bulan."
Tercenganglah Sekai sekarang. Tubuhnya menegang dan kepalanya menggeleng dengan pelan.
"Gua yang jadi saksi gimana sunyinya cinta yang dimiliki Anggasta buat Bulan."
Ketukan pintu membuat Bulan terpaksa harus turun dari tempat tidur. Tubuhnya menegang karena Anggasta sudah berdiri di sana. Tatapan Anggasta membuat mata Bulan terasa sangat perih. Dan tetiba air matanya menetes.
"Pakailah dada gua untuk menumpahkan semuanya."
Bulan berhambur memeluk tubuh Anggasta. Isakan kecil begitu mengiris hati. Baju bagian dada terasa basah karena air mata yang tak berhenti.
"Menangislah sesuka hati lu, Lan. Sampai lu benar-benar merasa tenang."
Tangan yang melingkar di pinggangnya semakin erat. Namun, pikiran Anggasta sudah menerawang sangat jauh.
"Jangan pernah menjadi pahlawan kesiangan. Tak semua pahlawan akan menjadi pemenang."
Kalimat dari sang kakak, Gyan mulai terngiang. Pelukan Bulan kali ini terasa sedikit berbeda. Tak seperti biasanya.
Tangis itu reda setelah lima belas menit berlalu. Pelukan itupun Bulan urai dan senyum penuh keteduhan Anggasta berikan. Tangannya pun sudah menyeka air mata yang sangat membanjiri wajah Bulan.
"Sudah cukup tenang?" Bulan mengangguk.
Anggasta membawa Bulan masuk. Mereka duduk di pinggiran tempat tidur. Di mana Bulan mulai menceritakan semuanya. Pertemuannya dengan Alma serta Haidar. Anggasta menjadi pendengar yang baik, tak mencela sedikitpun.
"Kenapa enggak dari dulu aja Haidar bilang itu ke gua, Fi? Kenapa harus berpura-pura selama 5 tahun?" Suara Bulan pun bergetar.
"Lan, dari awal kan gua udah bilang ke lu. Tidak semua bisa dipaksakan. Tapi, lu kekeh dan mati-matian ngejar Haidar. Emang, Haidar lu dapatkan. Tapi, akhirnya tidak sesuai dengan yang lu harapkan kan?"
Bulan terdiam ketika mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Anggasta. Lembut, tapi begitu menusuk.
"Gua salah, Fi," sesal Bulan sambil menunduk dalam.
"Wajar kok. Lu manusia yang enggak luput dari salah." Tangan Bulan sudah Anggasta raih. Pandangan mereka pun kembali bertemu.
"Gua kangen lu, Fi." Kalimat itu begitu nyata Anggasta dengar. "Cuma lu yang tetap setia berada di sisi gua di saat gua terpuruk." Senyuman pun menjadi balasan.
"Nanti-nanti mah, kangenin gua sebagai Gaffi. Bukan sebagai tempat untuk tempat menumpahkan sedih."
Jleb!
Ucapan Anggasta begitu tajam melebihi belati. Bibir Bulan terkatup rapat mendengar kalimat tersebut. Memang, setiap kali Bulan sedih pasti yang dicari Anggasta. Dada dan pundak Anggasta adalah tempat mencurahkan kesedihannya yang mendalam. Terutama ketika lelahnya dia berjuang untuk mendapatkan balasan cinta dari Haidar.
Keheningan pun tercipta. Anggasta mengusap puncak kepala Bulan dan memberikan senyum termanisnya.
"Istirahatlah! Dan jangan lagi menyalahgunakan cuti kerja buat pergi jalan-jalan." Sedikit terguran dibalut candaan Anggasta lontarkan.
Beranjak dari sana dan meninggalkan Bulan sendirian dengan Rasa bersalah mulai menjalar.
"Apa ini alasan lu bersikap beda? Maafkan gua, Fi."
Jeno dan Sekai mulai menarik tangan Anggasta ketika dia sudah turun dari lantai dua. Wajah ingin tahu Sekai begitu kentara.
"Udah sedikit tenang. Dan biarkan dia istirahat."
Anggasta memilih untuk keluar dari rumah Sekai yang diikuti Jeno. Feeling-nya mengatakan ada yang tak beres dengan sang sahabat. Dan lagi, Anggasta pergi ke pantai di siang hari bolong.
"Lu enggak lagi kesambet kan?"
Anggasta tak menggubris. Membuka pintu mobil dan menutupnya kembali dengan sangat keras. Jeno hanya mengikuti tanpa bisa berkomentar. Lelaki mulai menyandarkan punggungnya di pohon kelapa yang ada di pinggir pantai.
"No, lu tahu enggak gimana rasanya ditolak perempuan dan keluarganya?" Dengan cepat Jeno menggeleng. Bahwasannya dia jarang nembak cewek. Dan keseringan cewek yang menembaknya.
Senyum tipis terukir di wajah sang teman. Senyum yang penuh dengan kepedihan.
"Si pecundang yang ada di samping lu udah tiga kali ditolak cewek, No. Bahkan keluarganya pun nolak gua mentah-mentah."
Jeno terkejut bukan main. Dia menatap ke arah Anggasta yang sudah menatap lurus ke depan. Menatap ombak yang tak terlalu besar.
"Ungkapan sayang yang gua lontarkan cuma dianggap candaan dan bahkan ketika ungkapan sayang gua keluarkan untuk kesekian kalinya dia ngancem kalau dia enggak mau temenan lagi sama gua. Apa ada yang salah dengan perasaan gua?"
"Gas--"
"Gua si pecundang yang lu sebut ini, pernah berhadapan langsung dengan kedua orang tuanya. Meminta ijin untuk mencintai anaknya, tapi apa yang mereka katakan? Anaknya akan bahagia dengan lelaki yang dicintainya, bukan dengan temannya." Hati Jeno perih mendengar ucapan Anggasta.
"Sesalah itukah mencintai teman sendiri?"
Anggasta menghela napas kasar ketika mengingat ulang tahun ke-19. Di mana dia sudah menyiapkan sebuah pesta yang akan dia gunakan untuk mengungkapkan perasaan untuk ketiga kalinya. Tapi, apa yang terjadi?
"Ada satu hal yang gua tutupin dari lu," ungkap Anggasta seraya menoleh ke arah Jeno.
"Bulan ngungkapin cintanya ke Haidar tepat di hadapan gua. Di hari ulang tahun gua dan di tempat yang udah gua siapin untuk nembak dia ketiga kalinya." Senyum yang penuh dengan luka terukir di wajah tampan Anggasta.
"SA-KIT!"
...*** BERSAMBUNG ***...
Mana nih komennya?
.
dari dulu selalu nahan buat ngehujat si bulan tapi sekarang jujur muak liat wanita oon yg mau aja diperbudak cinta sampe jadi nggak tau malu dan buta hadeh wanita jenisan bulan emang cocok ama laki-laki jenis Haidar sama2 rela jatuhin harga diri demi cinta kemaren sempet agak seneng liat karakternya pas lepasin Haidar sekarang jujur ilfil sudah dan nggak layak buat gagas terlalu berharga keluarga singa cuman dapet menantu sekelas si bulan
kalau cewe udah terluka
pilihan opa ngga ada yang meleset...
good job alma👍 gausah jadi manusia gaenakan nanti mereka yg seenak jidat kaya mamak nya si haidar
lagian tuh ya.... para karyawan gak punya otak kali ya , dimana dia bekerja bisa-bisanya merendahkan dan menggosip pimpinannya , pada udah bosan kerja kali ya .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lnjut trus Thor
semangat
psfshal diri ny sen d iri pun menyimpsn luka yg tsk bisa di gambar kan.
sya dukung gagas sma Alma..
saya pantau terus author nya