A Promise Between Us
Lampu kantor sudah meredup, hanya beberapa meja yang masih diterangi layar laptop. Di lantai tujuh gedung startup itu, suara ketukan sepatu dan mesin kopi yang berdengung menjadi musik pengiring jam kerja yang tak kenal ampun.
Tasya menatap layar presentasinya satu kali lagi. Slide demi slide rapi tersusun, riset pasar, segmentasi, strategi digital, semua angka dan grafik yang sudah ia korek sampai larut. Besok pagi mereka presentasi final untuk proyek besar dan pemenangnya dijanjikan posisi lead project sekaligus loncatan karier.
Dia selalu jadi orang yang percaya, kerja keras yang rapi mengalahkan pesona. Itu juga yang membuatnya terkenal, tidak karena manis, melainkan karena tak pernah mau kalah.
"Ternyata kamu belum pulang juga?" suara seseorang memecah konsentrasi.
Tasya menoleh. Revan berdiri di bibir ruang meeting, jaketnya digantungkan di bahu, wajahnya tenang seperti biasanya. Pandangannya ke layar Tasya sekilas saja, cukup untuk tahu bahwa dia sedang membaca angka yang sama yang beberapa jam lalu sempat ia revisi sendiri.
"Kamu juga," jawab Tasya, datar.
Revan melangkah masuk, meletakkan secangkir kopi di meja kosong di dekatnya. "Kerja sampai pagi, ya? Atau sengaja buat bikin aku mati penasaran?"
Tasya menarik napas, menutup laptopnya setengah. Mereka sering begitu, saling sindir, saling uji coba batas. Di mata banyak orang mereka kompetitor. Di mata Tasya, Revan itu orang yang selalu tampil enteng tapi hasilnya selalu tajam, bakat yang menyebalkan.
"Jangan sok penasaran. Biar aku yang presentasi besok," Tasya menyentil, suara mengeras tipis.
Revan melirik, ada sudut senyum yang hampir muncul. "Jangan coba-coba, Sya. Aku sudah siapkan skenario yang lebih apik. Strategi kamu terlalu aman."
"Too safe wins contracts," Tasya membalas. "Too flashy just wins applause."
Mereka tertawa pendek,sebuah kebiasaan lama yang masing-masing membungkusnya dengan sengaja.
Malam semakin larut. Kulkas kantor berdengung pelan, jam digital di dinding menunjuk angka yang membuat banyak orang pulang. Tapi di ruangan itu, dua orang tetap bertahan, saling menyiapkan senjata untuk esok hari.
Di sela mengecek slide, Tasya menangkap satu hal kecil, ide Revan untuk targeting influencer lokal. Cerdas. Terlalu cerdas. Hatinya, seorang yang tak suka kalah, otomatis menyulut.
"Kamu tahu, kalau kita kerja bareng, presentasi ini bisa menang. Dua kepala, satu ide," Revan tiba-tiba berkata, nada santai namun matanya menantang.
Tasya mengangkat alis. "Kerja bareng? Kita bersaing, bukan berpasangan."
"Ada beda tipis antara bersaing dan bergabung. Pilihan ada di tanganmu," jawab Revan. Ia menjauh, lalu menoleh lagi. "Atau, kita buat janji ... siapa pun yang kalah, harus mengakui strategi pemenang di depan semua. A promise between us."
Kalimat itu, bahkan dalam bahasa Inggris sederhana mendadak terasa lain. Bukan sekadar taruhan profesional, nadanya ada yang lengket, seperti janji kecil yang bisa menahan atau meledakkan sesuatu.
Tasya menatap Revan, memikirkan gambaran pagi besok, lampu ruang presentasi, tatapan bos, dan suara detak jarum jam yang mengukur peluang. Di dalam dadanya ada kebanggaan, ada amarah, ada rasa ingin menang yang murni.
"Tantangan diterima," katanya akhirnya, suara polos namun tegas. "Tapi jangan menang karena trik murahan."
Revan mengangguk, senyumannya mengeras jadi serius. "Jangan khawatir. Aku main bersih, paling tidak, sampai kita punya alasan buat tidak bersaing lagi."
Mereka kembali menunduk pada pekerjaan masing-masing. Di luar, kota berkilau, sibuk dengan ritme yang sama. Di dalam kantor itu, dua orang bermusuhan memilih jalan yang sama, memacu diri sampai batasnya.
Janji kecil itu sebuah taruhan profesional tercetak samar antara mereka. Besok akan menentukan siapa yang menang. Tapi belum ada yang tahu, janji itu bisa berujung pada kemenangan, pengkhianatan, atau sesuatu yang jauh lebih rumit lagi.
"Semoga aku bisa mendapatkan posisi itu dan bisa membuktikan pada Papa, bahwa aku bisa mandiri tanpa bantuannya," gumam Tasya sembari menatap foto di meja kerjanya. Fotonya bersama dengan orang tuanya yang sangat dia sayangi.
---
Pagi itu, ruang rapat dipenuhi atmosfer serius. Semua karyawan tim marketing sudah duduk rapi, menunggu giliran presentasi. Tasya menatap layar laptopnya dengan penuh konsentrasi. Slide presentasinya sudah ia susun sejak seminggu lalu, bahkan ia rela begadang hanya untuk menyempurnakannya.
"Kamu udah siapin semuanya, kan?" tanya Fira pada sahabatnya yang terlihat gugup.
Tasya mengangguk sembari meremas kedua tangannya sendiri. Padahal ini bukan pertama kalinya ia melakukan presentasi, tapi karena menurut Tasya ini adalah presentasi yang menentukan pilihannya.
"Udah ... tenang aja, kamu pasti bisa dapetin posisi itu, Tas." Fira mengusap lembut punggung Tasya.
"Aku yakin, aku pasti bisa!" ucap Tasya dengan percaya diri.
Di sisi lain meja, Revan duduk tenang sambil memainkan pulpen di tangannya. Seolah tak terpengaruh, padahal ia juga tahu bahwa hari ini adalah momen penentuan. Keduanya sama-sama mengincar satu posisi.
"Baik, kita mulai dari Tasya," suara Pak Arman, atasan mereka, memecah keheningan.
Tasya berdiri, merapikan blazernya, lalu melangkah ke depan dengan percaya diri. Ia mempresentasikan strategi digital marketing yang fokus pada campaign sosial media interaktif. Kata-katanya jelas, rapi, dan terukur. Setiap poin ia sampaikan dengan penuh keyakinan, membuat beberapa rekan kerja mengangguk setuju.
Namun, saat ia membuka slide berikutnya, layar proyektor tiba-tiba menampilkan gambar yang berantakan. Angka-angka yang ia susun rapi semalam berubah menjadi simbol tak terbaca. Tasya tertegun.
"Apa ini?" bisiknya panik.
Revan yang duduk di kursinya hanya melirik, matanya menyipit tipis. Sementara itu, beberapa orang di ruangan berbisik-bisik, heran dengan error yang muncul.
"Wah, sayang sekali. Padahal penjelasan dari awal udah bagus."
"Kenapa eror? Dia tidak seceroboh itu."
"Sayang sekali, bisa-bisa Revan yang menang."
Tasya berusaha menenangkan diri. "Maaf, sepertinya ada kesalahan teknis. Saya akan coba buka file cadangan …" ujarnya terburu-buru.
Fira ikut cemas melihat sahabatnya yang panik karena file penting yang sudah Tasya persiapkan bisa rusak seperti itu.
Tapi file cadangan pun sama rusaknya. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Ia yakin betul, semalam semua file baik-baik saja. Jadi, ada yang menyabotase.
"Kenapa begini? Kenapa semuanya rusak?" lirih Tasya. Tubuhnya terasa lemas.
"Tas, tenang," bisik Fira. Hanya itu yang bisa Fira lakukan.
Pak Arman menatapnya datar. "Tasya, waktu presentasi terbatas. Bisa tolong lanjutkan tanpa slide?"
Deg.
Jantung Tasya berdegup keras. Presentasi tanpa slide? Itu seperti berperang tanpa senjata.
"T-tanpa slide? B-baiklah, Pak." Fira berusaha menenangkan tangannya yang sudah gemetar sedari tadi.
Di saat yang sama, Revan berdiri perlahan, menawarkan flashdisknya. "Kalau berkenan, saya bisa membantu. Saya kebetulan menyiapkan file cadangan strategi saya. Siapa tahu bisa … memberi gambaran."
Tasya menoleh cepat. Matanya menatap tajam pada Revan. "Kamu …" ucapnya hampir berbisik, penuh curiga.
Apakah Revan orang yang menyabotase presentasinya?
TO BE CONTINUED
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments