Edward terkejut saat istrinya yang hilang ingatan tiba-tiba mengajukan gugatan cerai kepadanya.
Perempuan yang selama empat tahun ini selalu menjadikan Edward prioritas, kini berubah menjadi sosok yang benar-benar cuek terhadap apapun urusan Edward.
Perempuan itu bahkan tak peduli lagi meski Edward membawa mantan kekasihnya pulang ke rumah. Padahal, dulunya sang istri selalu mengancam akan bunuh diri jika Edward ketahuan sedang bersama mantan kekasihnya itu.
Semua kini terasa berbeda. Dan, Edward baru menyadari bahwa cintanya ternyata perlahan telah tumbuh terhadap sang istri ketika perempuan itu kini hampir lepas dari genggaman.
Kini, sanggupkah Edward mempertahankan sang istri ketika cinta masa kecil perempuan itu juga turut ikut campur dalam kehidupan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persaingan dua lelaki
"Edward? Ada apa?"
Silva menyentuh pelan bahu milik pria itu. Namun, Edward hanya diam saja tanpa memberi jawaban apapun.
Pria itu masih terguncang. Otaknya mendadak terasa kosong dalam sekejap.
Tak pernah terlintas dalam benaknya bahwa perempuan yang selama ini terlihat sangat mencintainya dan selalu memberi pemakluman terhadap apapun sikap buruk Edward ternyata mampu meninggalkannya.
Nana benar-benar akan pergi. Nana benar-benar akan menceraikan Edward.
Dan, mendapati semua kenyataan itu, dunia Edward langsung menjadi kacau.
Nana akan menjadi apa tanpanya?
Namun, Edward menyadari bahwa itu bukanlah pertanyaan yang sebenarnya.
Edward akan menjadi apa tanpa Nana?
Itu baru pertanyaan yang sesungguhnya.
"Ed, ternyata Nana serius ingin menceraikan kamu?"
Entah sejak kapan, Silva memungut kertas yang dijatuhkan Edward dan membaca isinya.
"Sampai kapanpun, aku nggak akan pernah setuju untuk bercerai," kata Edward seraya mengusap air matanya.
Dia sendiri tidak tahu, kapan tepatnya air mata itu terjatuh.
"Ed, masih ada waktu. Kamu bisa membujuk Nana selagi kalian masih dalam tahap mediasi. Paling, ini cuma salah satu trik Nana saja untuk membuat kamu jadi perhatian sama dia."
"Kalau memang ini hanya trik, itu bagus. Setidaknya, Nana berhasil."
"Tapi, Ed... Bagaimana kalau Nana ingin aku pergi dari hidup kamu? Apa kamu akan mengabulkannya? Sementara, kamu sendiri tahu kalau tempatku bergantung di kota ini cuma kamu."
Mata Edward terpejam sesaat. Otaknya sedang memikirkan jawaban atas pertanyaan Silva.
Jika memutus hubungan dengan Silva dalam bentuk apapun adalah syarat yang akan diajukan Nana agar mereka bercerai, sanggupkah Edward melakukannya?
"Ya, tentu saja. Aku lebih memilih istriku dibanding mantan pacarku, Silva!"
Degh!
Hati Silva begitu sakit saat mendengar jawaban Edward. Mantan pacar katanya?
Bukankah mereka sudah kembali menjalin hubungan lagi? Tapi, kenapa Edward malah mengingkarinya?
"Kalau memang itu keputusan kamu, aku akan terima, Edward. Tapi, bolehkah aku tetap tinggal di sini selama kamu masih dalam proses cerai dengan Nana? Kondisiku masih belum pulih. Vertigoku masih sering kambuh."
Edward menghela napas panjang sebelum menjawab, "baiklah. Terserah kamu. Tapi, tolong jaga sikap kamu, Silva! Jangan provokasi Nana lagi! Aku benar-benar ingin dia kembali sama aku."
Setelah merasa cukup berbicara dengan Silva, Edward langsung meninggalkan perempuan itu sendirian.
Silva tampak mengeratkan rahangnya. Sorot matanya yang semula lembut kini langsung dipenuhi dengan kebencian.
"Lagi-lagi Nana!! Kenapa aku selalu kalah sama anak bau kencur itu, Edward?" geram Silva tertahan.
Bibirnya sampai berdarah gara-gara dia gigit dengan sengaja untuk melampiaskan amarah dan kecemburuannya terhadap Nana.
*
*
*
Dihari berikutnya, Edward masih berusaha untuk mencari keberadaan Nana. Namun, ternyata menelusuri jejak Nana sama saja dengan mencari jarum ditumpukan jerami.
Sangat sulit.
"Sepertinya, keberadaan Nana sengaja disembunyikan oleh orang besar, Ed," kata Andro frustasi.
Sebagai seorang ahli IT, dia sudah menggunakan seluruh kemampuannya untuk melacak keberadaan Nana. Tetapi, hasilnya tetap nihil hingga hari ini.
"Bahkan, CCTV rumah sakit saja, sengaja dihilangkan di beberapa bagian," tambah Andro.
Edward mengepalkan tangannya. Jika memang seperti itu, maka Edward hanya bisa mencurigai satu orang.
"Sepertinya, aku tahu siapa pelakunya, Andro," kata Edward dengan suara penuh penekanan.
"Siapa? Memangnya, Nana kenal dengan orang sehebat itu?" tanya Andro penasaran.
"Dia punya satu teman lagi selain Rossa. Dylan Ferrel."
"Dylan Ferrel?" Kening Andro tampak mengernyit. Mendengar nama itu, sepertinya dia cukup familiar.
"Tunggu, Ed! Maksudnya, Dylan Ferrel yang ini, kan?" Andro menunjukkan sebuah foto yang ia ambil dari internet.
Melihat foto pria dengan bola mata berwarna hazel tersebut, membuat Edward seketika mengeratkan rahangnya.
"Ya. Itu dia."
Andro langsung menutup mulutnya tak percaya. Matanya terbelalak kaget.
"Kamu nggak bercanda, kan, Ed? Nana bisa kenal Dylan Ferrel darimana?"
Edward pun mendengkus kesal. Dia tak mau membicarakan soal Dylan Ferrel sama sekali. Demi apapun, Dylan adalah musuh yang membuat Edward membenci sampai ke tulang-tulang.
"Aku pergi dulu!"
Edward menyambar jasnya dari sandaran kursi kemudian melangkah meninggalkan Andro sendirian.
"Ed, mau kemana?" teriak Andro.
Edward berhenti sejenak kemudian berbalik untuk menjawab, "ke Hotel milik keluarga Ferrel."
"Hei, untuk apa?"
Kali ini, Edward hanya melambaikan tangannya tanpa berbalik. Yang lebih penting saat ini adalah mencari keberadaan istrinya, Nana.
*
*
*
"Tuan Ferrel!" teriak Edward ketika dia berhasil menemukan keberadaan Dylan.
Dugaannya benar. Dylan benar-benar sedang berada di hotel keluarganya.
"Pak Edward?" Dylan mendekat. Ekspresinya menunjukkan keheranan atas kedatangan Edward di tempatnya. "Anda menginap di sini?" tanyanya.
"Dimana Nana?" tanya Edward to the point.
Secara intens, dia memperhatikan perubahan mimik wajah pria yang lebih muda darinya itu. Meski hanya sedikit, Edward harus bisa menangkap kebohongan yang pasti disembunyikan oleh Dylan.
"Nana? Saya tidak tahu," jawab Dylan dengan mimik muka yang masih tampak stabil.
"Jangan bohong! Saya tahu kalau istri saya pasti disembunyikan oleh Anda!"
"Kenapa Pak Edward bisa berpikir seperti itu?" tanya Dylan dengan senyum kecil diwajahnya.
Pembawaannya masih tetap tenang. Bahkan, tatapan matanya tetap tertuju pada Edward tanpa berpaling sedikit pun.
"Anda dan Rossa adalah orang terakhir yang bersama istri saya di rumah sakit," jawab Edward.
"Saya memang orang terakhir yang bersama Nana di rumah sakit. Tapi, bukan berarti saya adalah orang yang menyembunyikan istri Anda. Lagipula, Anda selalu bilang kalau Anda adalah suaminya Nana. Tapi, kenapa disaat Nana sedang sakit, Anda malah lebih mementingkan perempuan lain dibanding istri Anda sendiri? Dan, satu lagi. Jika Nana memang istri Anda, kenapa Anda malah menanyakan keberadaannya pada saya? Bukankah... Anda adalah orang yang seharusnya paling tahu dimana Nana berada?"
Jleb!
Kata-kata yang dilontarkan Dylan sukses menohok hati Edward. Dia akui, dia memang salah karena lebih mementingkan mengantar Silva dibanding tetap menemani Nana saat di rumah sakit.
Tapi, bukankah Nana sudah ada yang menemani? Jadi, seharusnya, aman saja kan, jika Edward meninggalkannya sebentar?
"A-aku..."
"Jika Anda memang tidak benar-benar mencintai Nana, maka lepaskan saja dia!"
Kata-kata terakhir Dylan mampu menyulut emosi Edward. Dia langsung menyambar kerah jas Dylan dengan penuh emosi.
Sigap, dua orang pengawal pribadi Dylan yang berjaga dari jarak yang tidak terlalu jauh langsung berlari mendekat.
Namun, lagi-lagi Dylan memperingatkan mereka untuk tidak ikut campur.
"Kenapa saya harus melepaskan Nana, hah? Dia istri saya! Kami sudah menikah selama empat tahun!" pekik Edward penuh emosi.
Dengan sentakan kasar, Dylan berhasil melepaskan tangan Edward dari kerah jas mahalnya.
"Anda tidak mau melepaskan Nana tapi Anda tetap bermain-main dengan perempuan lain? Apa Anda masih waras, Tuan Edward?"
"Jangan ikut campur!"
"Jelas, saya akan ikut campur," sergah Dylan dengan tatapan mata yang tiba-tiba menjadi begitu berbeda.
Saat Dylan sedang terpancing emosi seperti saat ini, tatapan matanya tiba-tiba berubah kelam dan misterius.
"Pak Edward pasti sudah bisa menebak perasaan saya terhadap Nana. Ya, saya memang mencintai Nana," aku Dylan.
"Dari kecil hingga sedewasa sekarang, satu-satunya perempuan yang saya cintai hanya dia. Bahkan, saya punya rencana untuk menikahi dia setelah saya kembali dari luar negeri. Tapi, ternyata saya terlambat satu langkah. Anda berhasil memiliki dia. Tapi, sayangnya Anda tidak mensyukuri kehadiran perempuan sebaik Nana di hidup Anda."
Dylan menarik napas panjang. Tatapan matanya masih beradu dengan tatapan Edward.
"Anda sudah menyakiti Nana, Pak Edward. Dan, jangan salahkan saya jika kali ini saya tidak akan melewatkan Nana lagi. Saya akan memperjuangkan dia. Saya akan buktikan ke dia, kalau lelaki yang bisa setia pada satu wanita saja, masih ada didunia ini."
"Apa maksud Anda, Tuan Ferrel?" tanya Edward yang kembali naik pitam. "Anda ingin bilang, kalau saya tidak setia, begitu?"
"Memang begitu kan, kenyataannya?" sahut Dylan sambil tersenyum sinis. "Anda berstatus sebagai suami Nana tapi waktu Anda habis hanya untuk menyenangkan mantan pacar Anda. Apa itu yang disebut sebagai suami setia?"
Langkah Edward sontak surut ke belakang. Kali ini, dia tak bisa menampik tuduhan Dylan.
Ya, dia memang sebrengsek itu. Tapi, sekarang Edward sudah mengakui kesalahannya. Seharusnya, dia layak mendapatkan kesempatan kedua, kan?