‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12 : Saya anti drama
Dahayu bergeming, menatap tanpa kedip pria yang berdiri beberapa langkah darinya.
Amran mengikis jarak, berdiri tepat di hadapan sang istri. Kembali memberi titah kala melihat raut enggan pada wajah kecoklatan terdapat banyak beruntusan kecil-kecil. “Kau sudah mendengar peraturan yang wajib untuk dipatuhi bukan? Di sana jelas tertulis – dirimu tak boleh menolak bila hal itu menyangkut program kehamilan.”
“Ayo lakukan sekarang juga! Agar saya cepat hamil, lalu terbebas dari Anda.” Jarinya mencubit kulit paha.
Cepat ataupun lambat, waktu itu pasti datang juga kan? Sekarang atau besok sama saja. Sama-sama menyakitkan untuk nya kalau berpisah dengan sang buah hati nantinya.
Amran terdiam, dugaannya melesat. Dahayu tidak berusaha protes, menolak, malah menantang.
“Mengapa Anda diam? Apa tak bernafsu melihat penampilan lusuh saya? Atau Anda terbiasa dipancing terlebih dahulu dengan wanita berpenampilan seksi?” Tangannya membuka kancing kemeja paling atas, satu, dua, tiga – hingga bra berwarna putih terlihat oleh mata sang pria.
“Apa yang kau lakukan? Tutup lagi!” sungguh dirinya tidak menyangka mendapat tanggapan berani seperti ini.
Dahayu tersenyum miring, sorot matanya mengejek. “Kenapa? Tadi Anda yang menggebu-gebu, melarang ini dan itu. Seharusnya sudah siap bukan? Tak cuma teori yang memperlambat proses penyatuan. Atau ….”
Pandangan Amran mengikuti arah mata Dahayu yang menatap miliknya di sela-sela paha dan tertutup celana selutut.
“Apa kau sudah terbiasa melakukan ini kepada seorang pria?” ingatannya langsung mundur kebelakang – perihal laporan Randu.
“Anggap saja begitu.” Dayu bersedekap tangan, tak memutuskan pandangan.
Ada yang aneh pada pancaran mata pria berambut cepak itu. Tatapannya sulit diartikan, dia langsung buang badan dan melangkah naik ke lantai atas.
Brak!
Suara pintu dibanting terdengar sangat nyaring. Membuat bi Ning dan Wiwin terkejut bukan main.
Dahayu berjalan ke sofa, menghempaskan bokongnya di sana. Kedua telapak tangannya mengusap wajah.
Dia sengaja menantang dikarenakan buat apa mengulur-ulur waktu. Yang ada akan menambah perih sakit hatinya nanti. “Dia sudah mengajak, maka mari kita tuntaskan.”
Langkahnya terlihat tegas, tak ada raut keraguan, setiap undakan anak tangga dia pijak dengan yakin. Dahayu sampai di lantai dua, dia jelas belum tahu dimana keberadaan si pria.
Ada empat pintu kamar terbuka setengah, dan disana tidak ada Amran Tabariq.
Dahayu melangkah ke kamar yang terhubung dengan balkon – tangannya menurunkan handle pintu, lalu mendorongnya hingga cukup celah untuk dirinya masuk.
Sosok pria yang dicari olehnya tengah berdiri membelakangi pintu, menatap pemandangan perkebunan karet. Saat mendengar langkah pelan, ia langsung berbalik.
“Kau?” ada getar terkejut pada nada suaranya.
Dayu menutup rapat daun pintu, menatap sekilas pada kamar bernuansa abu-abu muda, tak banyak perabotan, cuma satu set tempat tidur tanpa meja rias – jelas ruangan ini bukan kamar utama.
“Saya anti drama, apalagi menunda-nunda sesuatu yang seharusnya disegerakan malah dibuat jalan berliku.” Kancing baju yang tadi ia tutup, kembali dibuka sampai baris terakhir.
Amran mendengus, menatap tak suka. “Ternyata kau sama saja dengan wanita di luaran sana – gampangan!”
“Apa yang Anda harapkan dari wanita tanpa mau berpikir panjang langsung menyetujui menikah dengan orang asing, dan terlihat tak keberatan menyerahkan bayi yang sudah dikandungnya. Berharap kalau sosoknya masih perawan kah?” Dayu pun tertawa mengejek.
Tangan di dalam saku mengepal erat, terasa ujung kuku pendek menusuk kulit. Ekspresi wajah Amran sangat dingin dengan rahang mengetat.
‘Bagus Yu! Pancing lah terus, lukai harga dirinya. Lakukan secepatnya agar cepat pula kau hamilnya!’
Dahayu menurunkan celana jeans longgar yang warnanya sudah kusam. Tersisa buah dada tertutup bra, dan bagian bawah hanya mengenakan segitiga.
“Apa saya harus menari meliuk-liukkan badan di depan Anda, agar pusaka itu berdiri? Atau perlu dirangsang dengan tangan dan mulut kah?” Ia melangkah tenang, berakting layaknya wanita kupu-kupu malam.
“DIAM!” Teriakan tertahan itu terdengar menusuk, bila orang lain yang mendengarnya – maka seketika akan terdiam, tetapi tidak dengan Dahayu.
Wanita nyaris polos itu, menarikan jari telunjuknya pada jakun menahan air liur, lalu membuat pola abstrak di dada masih tertutup kaos. “Bagaimana saya bisa hamil kalau hanya ditatap, tanpa berniat dirasa apalagi dimasuki. Sekiranya kejantanan Anda tak bisa menegang, biar saya buat dia berdiri – bila Anda enggan bergerak, biar saya yang bergoyang.”
“Saya sudah memperingatkan untuk diam, mengapa mulut ini semakin berucap seperti wanita murahan saja!” Dia jambak rambut pendek Dahayu, mencium kasar bibir kering, memagut rakus.
Kedua tangan Amran mengangkat dan membanting badan istri keduanya di atas kasur sampai tubuh Dahayu sedikit membal.
Dahayu tetap menjaga mimik wajah layaknya wanita penggoda, menyanggah punggung menggunakan siku, menatap menantang sang suami yang terburu-buru membuka kaos serta celana.
“Kau yang memancing, jangan berharap meminta berhenti di tengah permainan!” Amran menimpa tubuh istrinya, dia bermain kasar – mencium sembari menggerayangi tubuh yang jauh dari ekspektasinya saat melihat pakaian sehari-hari seorang Dahayu.
Tali bra di turunkan, kaitnya dilepas, dan celana segitiga dikoyak bagian samping yang membalut pinggul.
Pria yang sudah polos masih itu menarik diri, menyempatkan waktu melihat tubuh sintal dengan ukuran dada menggiurkan, bokong sintal, perut datar, dan bagian intim membuatnya meneguk air liur.
Sejenak Amran termangu, sulit percaya bila istri keduanya memiliki lekuk tubuh indah sekaligus menggiurkan. ‘Apa benar dia sudah tidak perawan?’
“Apa dengan dipandangi saja saya bisa hamil, Tuan?” Ayu menyembunyikan rasa malunya dengan kata-kata sarkas.
“Lagian apa yang Anda tunggu? Tak mungkin lah benda sekecil dan sependek itu kesulitan menembus milik saya,” hinanya tanpa hati, dan berhasil melukai harga diri si laki-laki.
“Dahayu!” Amran kembali menindih, menyerang bibir tanpa ampun, menggigit kelopak bawah hingga menimbulkan luka lecet.
Tangannya menggenggam kasar buah ranum, sebelahnya lagi meremas bokong padat. Ia mendengus saat tak merasakan getar tubuh sang wanita, seolah telah terbiasa melakukan hubungan dewasa.
Hal tersebut melukai harga diri sekaligus membuatnya kecewa. Entah mengapa dia merasa marah bila wanita dalam kungkungannya ini sudah ternoda. ‘Apa bajingan itu yang sudah meniduri mu?’
Tanpa Amran tahu, dibalik raut menantang itu Dahayu menahan nyeri, menggigit pipi bagian dalam agar air matanya tidak menetas. Dia sengaja tidak mengimbangi, sebab akan ketahuan bila dirinya seorang amatiran.
Puas menyerang bibir, mulutnya turun ke bawah, berhenti pada pucuk menantang.
Eung …
Desahan itu terdengar sungguh nyata, seolah si wanita benar-benar menikmati. Hal tersebut menambah hasrat sang pria.
Amran tidak dapat menunggu lebih lama lagi, ia berhenti melumasi, merangsang, langsung memposisikan diri tepat di antara kedua kaki istri keduanya.
Kedua tangan Dahayu terangkat, bersembunyi dibalik bantal yang ditindih kepalanya, mencubit kuat kain sprei. Rasa mengganjal, membuat tak nyaman itu berusaha menembus di bawah sana.
Mata Amran menyipit, sebuah fakta sepertinya sedang ingin mengambil alih, membuatnya kembali berpikir ulang.
Pada percobaan kedua dia tetap gagal, sang pusaka masih belum berhasil membobol gawang.
Sementara raut yang tadi tenang terlihat gelisah, titik keringat membasahi kening dan pelipis.
Argh!
Dahayu berteriak bersamaan dengan jatuhnya air matanya.
“Dahayu, kau – kau …?”
.
.
Bersambung.
tiap karyamu selalu ku pantau ☺️😍