Dia memilihnya karena dia "aman". Dia menerima karena dia butuh uang. Mereka berdua tak siap untuk yang terjadi selanjutnya. * Warisan miliaran dollar berada di ujung sebuah cincin kawin. Tommaso Eduardo, CEO muda paling sukses dan disegani, tak punya waktu untuk cinta. Dengan langkah gila, dia menunjuk Selene Agueda, sang jenius berpenampilan culun di divisi bawah, sebagai calon istri kontraknya. Aturannya sederhana, menikah, dapatkan warisan, bercerai, dan selesai. Selene, yang terdesak kebutuhan, menyetujui dengan berat hati. Namun kehidupan di mansion mewah tak berjalan sesuai skrip. Di balik rahasia dan kepura-puraan, hasrat yang tak terduga menyala. Saat perasaan sesungguhnya tak bisa lagi dibendung, mereka harus memilih, berpegang pada kontrak yang aman, atau mempertaruhkan segalanya untuk sesuatu yang mungkin sebenarnya ada?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zarin.violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Selene berdiri di depan cermin besarnya yang usang, permukaannya dipenuhi bintik-bintik. Dia menarik napas dalam-dalam, bahunya naik turun.
Di dalam kamar kecil itu, dia memulai latihannya.
"Carino," ucapnya, suaranya datar dan hambar.
Dia menggeleng, frustrasi. Tangannya mengepal di samping tubuhnya. Selene menatap bayangannya sendiri di cermin, perempuan dengan rambut coklat emas sebahu, mata biru yang terlihat tajam setelah kacamatanya dibuka.
"Carino," cobanya lagi, kali ini dengan sedikit kenaikan nada di akhir kata, tapi tetap terdengar palsu dan kaku.
“Ck, susah sekali!” kesalnya.
Dia mengutuk dalam hati. Ini sangat sulit. Bahkan lebih sulit daripada saat dia harus menghadapi ayah pemabuknya.
Panggilan mesra ini terasa asing di lidahnya. Selene, yang hidupnya keras, tentu saja cukup sulit untuk memanggilnya dengan sebutan mesra dalam bahasa Italia itu. Apalagi dia tak pernah memiliki contoh figur mesra di keluarganya yang kacau.
Selene menghela napas lagi. Dia menutup mata, mencoba membayangkan Tom bukan sebagai bos yang dingin dan diktator, melainkan kekasihnya.
Tak lama, dia kembali membuka mata, menatap bayangannya lagi. "Carino," bisiknya, mencoba membayangkan kata itu keluar dengan hangat.
Tapi yang terlihat di cermin adalah seorang perempuan dengan tatapan waspada, bukan cinta.
Hidup Selene tidak pernah merasakan kelembutan. Sejak kecil, dia tak pernah menemukan cinta dalam hidup orang tuanya.
Ayahnya selalu lebih cepat mengangkat tangan daripada memeluk. Ibunya selalu menerima perlakuan buruk dari sang ayah yang dulunya sebenarnya merupakan pengusaha kaya.
Seorang wanita penggoda dan kebiasaan mabuk judi membuat hidup ayahnya menjadi merosot dan akhirnya bangkrut. Kebiasaan buruknya semakin menjadi setelah itu.
Pintu kamarnya terbuka. Selene berbalik dengan gerakan cepat, tangannya sudah mencapai pisau yang selalu ada di mejanya.
Selene selalu waspada jika ayahnya datang. Dan yang membuka pintu tanpa mengetuk itu pasti ayahnya.
Dia melihat ayahnya sedang menyesap rokok dengan wajahnya yang bengis. Tak hanya itu, ayahnya memeluk seorang wanita penggoda.
“Anakmu mengerikan sekali, Sayang,” ucap wanita itu menggoda, meskipun ada rasa takut di matanya.
“Apa yang kau lakukan di sini? Menghilanglah selamanya!” geram Selene.
“Aku akan menjual rumah ini. Di mana suratnya?” tanya Alfredo.
“Kau gila?” teriak Selene.
“Berikan suratnya, Bitch!! Aku akan menjualnya!” Alfredo membentak dan membuang rokoknya hampir mengenai wajah Selene jika dia tak menghindar cepat.
“Tidak! Ini rumah nenekku! Kau sudah menjual rumahmu sendiri!”
Lalu Alfredo melepaskan wanita di sampingnya dan melangkah maju. Selene mengacungkan pisaunya. “Kau mau membunuhku?” kata Alfredo dengan kening yang berkerut.
“Jika perlu, aku akan melakukannya,” geram Selene tak takut.
Alfredo tersenyum kecut dan mengangkat tangannya. Selene langsung menyabetkan pisau itu ke tangan sang ayah tanpa takut.
Tangan Alfredo tergores dan membuatnya berdarah. Wanita penggoda di belakang ayahnya langsung berteriak dan berlari pergi.
“Aku akan membalasmu! Lihat saja nanti. Rumah ini tetap akan kujual bahkan tanpa surat!” kata Alfredo dengan wajah bengisnya. Lalu pria itu berbalik pergi.
Selene masih mengacungkan pisaunya sampai sang ayah benar-benar keluar dari kamarnya. Lalu Selene berlari ke kamar ibunya.
Ketika membuka kamar ibunya, dia melihat kamar itu sudah berantakan. Tampaknya Alfredo tadi menggeledah kamar ibunya untuk mencari surat rumah.
Tapi ibunya tampak tertidur nyenyak, karena pengaruh obat dan penyakitnya. Selene menghela napas panjang.
“Sebentar lagi, Mom. Sebentar lagi. Aku akan membawamu pergi dari sini,” bisiknya sembari melihat ibunya yang semakin hari semakin lemah.
pasti keinginanmu akan tercapai..