Danendra dan Alena sudah hampir lima tahun berumah tangga, akan tetapi sampai detik ini pasangan tersebut belum juga dikaruniai keturunan. Awalnya mereka mengira memang belum diberi kesempatan namun saat memutuskan memeriksa kesuburan masing-masing, hasil test menyatakan bahwa sang istri tidak memiliki rahim, dia mengalami kelainan genetik.
Putus asa, Alena mengambil langkah yang salah, dia menyarankan agar suaminya melakukan program tanam benih (Inseminasi buatan). Siapa sangka inilah awal kehancuran rumah tangga tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunflowerDream, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal mula kebohongan besar
Setelah selesai menugurus izinnya, pria berjaket coklat itu kembali fokus menatap jalan. Hari ini dia memutuskan untuk mengambil cuti kerja dan terpaksa pasiennya yang terjadwal harus menunggu sampai esok. Dokter bedah yang rupawan itu menyetir dengan tenang bahkan suasana hatinya juga tenang, berbeda dari sebelumnya, biasanya jika dia pergi meninggalkan istrinya sendirian apalagi sampai menginap di luar maka dia akan pulang cepat dan gelisah, dia tidak tenang jika wanita itu menunggunya sendirian.
Setelah menyetir hampir satu jam perjalanan Danendra sampai di perkarangan rumahnya, ia meregangkan tubuhnya yang terasa kaku dan memutar-mutar kepalanya untuk mengurangi rasa pusing yang sedikit masih mengganggunya.
Danen merogoh saku celana mencari kunci cadangan pintu rumahnya, tanpa ragu ia segera masuk dan langsung menuju kamar mandi, tubuhnya gerah sekali.
Selesai mandi ia dapati istrinya berada di dapur sibuk dengan wajan sedang di depannya.
“Danen kamu sudah sarapan?” Tanya Alena ketika suaminya keluar dari pintu kamar mandi.
“Eh, aku… “ Danen gelagapan, saat netranya berpas-pasan dengan netra sang istri yang terlihat kurang tidur dia jadi bingung, tidak mungkin dia jawab sudah sarapan di rumah wanita lain.
“Segera pake bajumu, ayo makan nasi gorengnya keburu dingin!” Tanpa membantah Danen berlari ke kamarnya, ia mengambil baju hitamnya dengan celana pendek.
Alena heran kenapa suaminya menggunakan outfit rumahan padahal ini hari kerja. Setelah Danen mendudukkan bokongnya Alena meletakkan satu porsi nasi goreng telur di hadapan suaminya, “makanlah!” Walaupun perutnya masih penuh Danendra tetap memakan hidangannya tapi dia hanya mampu menghabiskan setengah porsi.
“Kenapa gak dihabisin? Makanannya gak enak?”
“Bukan begitu!”
“Lalu, tumben kamu cuman makan sedikit.”
“’Tadi saat di lampu merah ada pedagang keliling bawa roti, jadi karena udah masuk jam sarapan aku langsung beli rotinya.” Danen mulai berbohong, padahal dia jarang sekali berbohong tapi semenjak terjebak tragedi dengan Meisya dia jadi terpaksa berbohong demi melindungi dirinya
“Salah kamu sendiri pulang terlambat, jadi sarapannya juga terlambat.”
“Iya aku tahu, maaf ya.. “ Danen berdiri mengemasi sisa sarapan mereka, dan Alena menuju mesin cuci.
“Nanti kalo sudah selesai menjemur sama cuci piringnya aku tunggu kamu di ruang tamu, bagaimanapun kamu berhutang cerita sama aku.” Seru Alena setelah mengeluarkan cuciannya dari mesin cuci dan menyodorkannya kepada Danen.
Sementara Danen sibuk menjemur baju, istrinya sibuk menyapu perkarangan depan, ini sudah menjadi rutinitas mereka selama lima tahun berumah tangga saling berbagi tugas mengurus rumah sederhana ini. Rasanya aneh Danendra merasakan tidak sepantasnya dia melakukan pekerjaan ini dia seorang laki-laki kepala rumah tangga. Padahal dulu pria itu dengan senang hati melakukan semua ini, dia tidak ingin sang istri kerepotan tapi sekarang mengapa rasanya jadi aneh, jiwa mendominasi mulai timbul.
Setelah semua pekerjaan rumah selesai Danendra segera menghampiri istrinya yang sudah duduk manis di sofa dengan tontonan serial drama favoritnya, pemandangan seperti ini sebenarnya sudah biasa dan bahkan Danen tidak mempermasalahkan itu.
Danen menekan kepalanya, rasa sakit dan pusing kembali datang, dengan suara hatinya yang terus berdatangan entah dari mana, sehingga mempengaruhi pikirannya.
“Akkh!” Erangnya mencoba mengurangi rasa pusing yang menyerangnya tiba-tiba.
Alena yang sedang menikmati tontonannya menoleh ke belakang, “kamu kenapa?” tanyanya saat melihat Danen mengerang.
Danen segera duduk tepat di samping Alena, ia memeluk tubuh itu berharap rasa kesalnya pada Alena hilang. Dia juga tidak mengerti kenapa mendadak dia kesal pada istrinya seharusnya perempuan itulah yang kesal karena suaminya tidak pulang semalaman.
“Maaf ya sayang, aku ada urusan mendadak semalam jadi terpaksa mengabaikanmu.” Danen mulai membuka cerita.
“Apa itu begitu penting? kamu tidak mengangkat teleponku dan baru membalas pesanku tadi pagi.”
“Bisakah kita matikan TV, ada hal serius yang harus aku bicarakan!” Alena mengernyit penasaran, ia menurut segera meraih remot dan menekan tombol merah lalu dia duduk bersila di atas sofa seraya menatap intens suaminya.
“Tapi kamu harus janji, jangan marah ya!” Bujuk Danen tiba-tiba membuat Alena semakin penasaran.
“Apa sayang kamu mau ngomong apa?”
“Sebelum aku cerita kamu janji ya gak marah?” Danen mulai lagi.
“Ya apa dulu, kamu ihhh.”
“Pokoknya gak boleh marah!”
“Ya apa dulu. Jangan-jangan kamu habis nabrak orang ya?” Tuduh Alena sembarangan. Jujur semalaman dia overthingking karena suaminya mengabaikan panggilannya, apa mungkin dia mabuk dan tertidur jalan lagi atau dia sedang mengoperasi pasien mendadak di luar jadwal, atau saat dia bilang ada urusan Alena berpikir mungkin Danendra kecelakaan dan berada di kantor polisi.
“Astaga! Gak gak, bukan itu.” Danen membela diri, tidak menyangka dengan pikiran istrinya.
“Terus apa?”
Bola mata Danen bergerak gelisah, ia mencoba menghindari tatapan penasaran Alena. Butuh beberapa menit bagi dia untuk menyusun kata agar Alena bisa menyakini alasan dia kali ini.
“Ini semua demi kita.” Alena mengernyit, apa maksudnya dari ucapan sang suami.
“Aku… dengarkan aku ya!” Danen semakin serius ia genggam tangan lentik istrinya, lalu binar matanya memancarkan kesungguhan.
“Mungkin ini terdengar tidak masuk akal, atau kamu sulit menerimanya tapi ini semua kita lakukan demi masa depan kita.” Ujar Danen lagi.
Alena tidak bersuara dia mulai memperhatikan setiap perkataan yang keluar dari mulut suami tercintanya, dia membicarakan masa depan ini pasti hal yang sangat serius.
“Selama beberapa bulan ini kita semua disibukkan dengan urusan Bang Aleon, aku kamu termaksud papa, bahkan aku juga menyadari setiap Bang Aleon berulah kamu terlihat sangat khawatir bahkan kurang tidur.”
“Tapi syukurlah semuanya sudah baik-baik saja, keadaan sudah normal jadi aku putuskan mungkin sekarang saatnya untuk menceritakan semua padamu.”
“Alena, kamu masih ingatkan beberapa bulan lalu kita berencana untuk melakukan program itu.”
“Program tanam benih? Kenapa kamu mau melakukannya sekarang?” Tanya Alena di tengah cerita suaminya.
“Begini sebenarnya saat kamu membicarakan itu aku langsung tertarik tapi aku ragu akan keberhasilannya, jadi sehari setelah kita membicarakan itu aku mencoba praktik sendirian.”
“Praktik sendirian?” -Alena
“Kebetulan waktu itu ada seorang wanita yang berhutang budi kepadaku, di rumah sakit saat itu anaknya hampir meninggal karena kekurangan biaya, jadi aku mencoba membantunya dan kamu tau anak dia berhasil selamat dia berkata dia tidak sanggup membayar semuanya dengan uang, jadi dia menawarkan apa saja.”
“Tunggu, jangan bilang!”
“Iya Alena aku melihatnya sangat membutuhkan uang, jadi aku tanpa pikir panjang berkata akan menyewa rahimnya, aku ceritakan keadaan kita dan dia setuju.”
“Aku praktik sendiri menyuntikan spermaku pada rahimnya, karena aku cuman coba-coba aku tidak terlalu berharap. Dan siapa disangka itu berhasil sayang, perempuan itu sel telurnya berhasil terbuahi.”
“Lalu bagaimana denganku, kamu belum mencoba sel telur dariku Danen.”
“Nah itu dia masalahnya, aku tidak menyangka berhasil jadi aku belum mendiskusikan padamu.”
Alena terdiam. Fakta suaminya mendahuluinya cukup membuat dia kecewa. Raut wajahnya berubah masam, ia merasa dikhianati.
“Alena maaf ya, tapi jika kita coba pake sel telur kamu kemungkinannya juga tipis, tetap sel telur lokal-lah yang akan mendominasi, itu tidak mudah.”
“Dan kamu tau sayang janin itu terus berkembang, bahkan sudah memasukki usia tiga bulan, dan menurut wanita itu janinnya kembar.”
Netra Alena yang memerah melirik suaminya, dia masih kecewa tapi dia harus rasional. Semua yang dikatakan Danen benar, dia tidak boleh berharap pada sel telurnya, bagaimanapun sel telur itu hanya akan menumpang dan pengangkatan sel telur tidak mudah.
“Janinnya kembar?”
“Iya sayang. Tapi jika kamu keberatan ayo kita gugurkan janin itu, bagaimanapun ini semua salahku tidak mendiskusikannya padamu, tapi aku terlalu khawatir saat itu kondisi kita sedang sibuk dengan kesehatan Bang Aleon sedangkan aku sudah terlanjur memulai praktik itu.
“Gugurkan?” Alena menggeleng, bagaimana mungkin janin digugurkan begitu saja, sedangkan di luar banyak wanita yang tidak diberkati untuk bisa menerima janin.
“Tidak mungkin Danen kita tidak boleh menggugurkannya!”
“Lalu apa yang harus aku lakukan Alena. Ini semua kerena kelalainku, jika kita memberi kompensasi yang mahal aku yakin wanita itu tidak keberatan, dia sangat miskin pasti uang segalanya.”
“Danen bagaimanapun dia anak kamu, dari darah daging kamu apa kamu sanggup menggugurkannya?” Danen terdiam, tentu saja dia tidak akan menggugurkan calon bayinya, ini semua dia lakukan agar meluluhkan hati istrinya. Dia tahu wanita itu lembut sekali.
“Aku bingung Alena.”
“Sudah terlanjur. Anggap saja rumah tangga kita diberkati karena akan kelahiran bayi kembar, ini lebih baik dari pada kita mengadopsi anak panti. Itu anakmu dan anakmu juga anakku Danen.”
Danen tersenyum kecil, sepertinya dia berhasil meluluhkan hati istrinya.
“Ayo kita temui wanita itu, aku harus berterima kasih karena dia sudah bersedia mengandung calon bayi kita.”
“Apa?” Seru Alena tiba-tiba membuat Danen sedikit terperanjat. Untung saja dia ingat percakapannya dengan Mei, yang menyarankan untuk menyembunyikan identitas ibu dari calon bayi mereka.
“Itu tidak bisa Alena. Dia memberi syarat agar semua identitasnya disembunyikan.”
“Kenapa begitu Danen?”
“Dia... kamu tahu ternyata dia bersama suaminya seorang buronan, keluarga mereka terlibat tabrak lagi, dan entah bagaimana pihak berwajib menyatakan bahwa suami dia yang bersalah, karena seseorang yang menabrak mereka terjatuh ke jurang dan meninggal, padahal suaminya hanya seorang driver taxi online.”
“Jadi dia terpaksa bersembunyi dan suaminya tidak bisa mencari uang, karena dia juga dituduh menggelapkan mobil perusahaan, jadi mereka serba salah. Dan terlalu beresiko jika banyak orang tau tentang keluarga mereka.”
Alena menatap prihatin mendengar cerita yang keluar dari bibir suaminya, dia percaya itu Alena telan mentah-mentah semua cerita karangan Danendra.
“Setidaknya beri aku tahu nama wanita itu Danen.” Pinta Alena pelan, dia masih dalam suasana prihatin.
“Entahlah, aku rasa nama yang dia berikan padaku juga bukan nama asli. Pasangan suami istri itu bertahan dan terus berlari dari kejaran polisi demi tetap bersama anak mereka, mereka tidak sanggup meninggalkan anaknya sendirian.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan selanjutnya Danen, bagaimana kita memberi tahu orang tua akan kelahiran si kembar?”
Danen tersenyum, dia tidak langsung menjawab kebingungan Alena, dia berlari ke dapur dan mengambil dua botol minuman bersoda.
“Minum dulu! setidaknya kita tenangkan dulu pikiran kita, nanti jika sudah membaik mari kita bicarakan langkah selanjutnya.”
“Terima kasih sayang, istriku kamu mau menerima anakku, aku sempat khawatir kamu terluka karena langkah yang aku pilih.”
Alena tersenyum lalu memajukan kepalanya mendekati bibir tipis milik suaminya. Ia mendaratkan satu kecupan cinta dan langsung dibalas dengan lebih agresif oleh Danen.
“Apa pun itu aku akan selalu menerima kamu suamiku, yang paling penting kita harus selalu bersama dalam rumah tangga yang penuh cerita ini.”
“Dengarkan aku Danendra. Aku sangat-sangat mencintaimu, terima kasih kamu sudah menerima wanita yang tidak akan mampu memberikan kamu keturunan sampai kapan pun, aku selalu merasa menyesal setiap mengingat kekuranganku.”
“Tidak perlu ada yang disesali, dari awal kita sudah berjanji sehidup semati. Aku juga sangat-sangat mencintaimu.”
Jika bersama Alena, pria itu merasa semuanya cukup dia tidak butuh apapun lagi. Wajah anggun itu selalu mampu mendebarkan hatinya meski sudah lama mereka bersama. Dia sempat tidak paham dengan hatinya kenapa dia membandingkan Alena dengan Meisya, itu bukan hal yang pantas untuk dibandingkan.
Anggap saja Danendra mau menerima Meisya dan bersikap baik padanya karena calon bayi itu, sampai kapan pun Danen bersumpah dia akan selalu bersama Alena hanya wanita ini yang mampu mengalihkan dunia hitam putihnya menjadi lebih bewarna.
Bersambung.