Azam tak pernah menyangka, pernikahan yang ia jalani demi amanah ayahnya akan membawanya pada luka paling dalam. Nayla Azahra—wanita cantik dengan masa lalu kelam—berusaha menjadi istri yang baik, meski hatinya diliputi ketakutan dan penyesalan. Azam mencoba menerima segalanya, hingga satu kebenaran terungkap: Nayla bukan lagi wanita suci.
Rasa hormat dan cinta yang sempat tumbuh berubah menjadi dingin dan hampa. Sementara Nayla, yang tak sanggup menahan tatapan jijik suaminya, memilih pergi. Bukan untuk lari dari kenyataan, melainkan untuk menjemput hidayah di pondok pesantren.
Ini adalah kisah tentang luka, dan pencarian makna taubat. Tentang wanita yang tak lagi ingin dikenal dari masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Tahun Berlalu
Hujan turun pelan ketika Azam membawa Nayla pulang ke rumah—tempat yang dulu ia tinggalkan dengan perasaan patah dan tak dianggap. Kini, ia kembali bukan sebagai tamu, tapi sebagai istri yang kembali dipersilakan menetap, bukan karena kewajiban, tapi karena cinta yang diperjuangkan.
Azam membukakan pintu rumah dengan satu kalimat lirih yang membuat dada Nayla bergetar.
"Selamat datang pulang, istriku."
Tangis Nayla pecah tanpa bisa ditahan. Ia memeluk Azam erat, dengan tubuh yang bergetar menahan rasa syukur. Dulu rumah ini dingin, sunyi, penuh jarak. Tapi kini, setiap jengkal ruangnya memancarkan harapan baru.
Hari-hari setelah itu menjadi bukti nyata perubahan Azam. Ia bukan hanya kembali sebagai suami, tetapi hadir sebagai pembimbing, imam, dan penjaga hati.
Setiap subuh, Azam membangunkan Nayla dengan kelembutan. Ia mengimami salat mereka berdua, lalu membacakan satu dua ayat Al-Qur’an, menerangkannya, dan mengaitkan maknanya dengan kehidupan rumah tangga mereka.
Suatu pagi, Azam ngobrol kecil, sembari menyuapi Nayla yang sedang tak enak badan dengan bubur hangat.
Nayla menunduk, hatinya kembali bergetar. Dulu ia merasa tak pantas dilayani, kini Azam memperlakukannya dengan mulia.
Azam juga membimbing Nayla dalam hal-hal kecil namun berarti. Seperti mengajari manajemen keuangan rumah tangga berdasarkan prinsip syariah, menuntun cara berdiskusi sehat jika pendapat mereka berbeda, bahkan ikut membantunya menyiapkan sarapan jika Nayla terlihat kelelahan.
Malam hari, Azam mendengarkan cerita Nayla tentang kuliahnya. Tentang tugas-tugas tasawuf yang mengubah perspektifnya tentang cinta dan ampunan.
“Kalau dulu aku mencari lelaki yang bisa menerimaku,” ucap Nayla lirih di suatu malam, “sekarang aku tahu, lelaki baik itu bukan hanya menerima. Tapi juga menuntun. Seperti kamu.”
Azam tersenyum. Ia tak menjawab dengan kata-kata, tapi dengan pelukan yang menguatkan, dan doa panjang yang tak henti ia bisikkan dalam sujudnya, agar Nayla selalu dikuatkan, agar rumah tangga mereka dilindungi.
Rumah itu kembali berpenghuni. Tapi bukan sekadar dua tubuh yang tinggal bersama. Melainkan dua hati yang saling menyembuhkan dalam dekapan cinta yang diridhoi-Nya.
Setelah dua hari mengambil izin dari kampus, Azam dan Nayla kembali menapaki rutinitas perkuliahan dan pekerjaan mereka—kini sebagai suami istri yang kembali saling merengkuh dalam ikatan yang dikuatkan dengan iman dan penerimaan.
Kini mereka meninggalkan rumah kecilnya di Surabaya, dan kembali ke Jogja. Kini Nayla tak lagi tinggal di asramq. Ia tinggal bersama Azam, di rumah miliknya. Letaknya tak jauh dari kampus, hanya sepuluh menit dengan motor.
Pagi itu, sebelum Azam berangkat lebih awal untuk rapat dosen, Nayla berdiri di ambang pintu, mengenakan gamis abu dan kerudung netral. Ia tersenyum tipis, lalu merapikan kerah kemeja Azam.
"Jangan lupa makan siang, ya Mas, bekalnya sudah aku taruh dalam mobil" bisiknya.
"Terima kasih"
Azam menatap wajah Nayla sejenak. Lalu tanpa ragu, ia mengecup kening istrinya dengan perlahan.
"Hari ini kamu ngisi materi di forum tasawuf, kan? Nanti malam cerita, ya," ucapnya, lalu pergi meninggalkan rumah.
Di kampus, mereka tetap menjaga batas. Tak ada yang berubah secara mencolok dari luar, hanya satu-dua rekan dosen yang menyapa Azam dengan senyum mengerti. Sementara gosip perlahan meredup karena konfirmasi resmi telah disampaikan ke dekanat bahwa Nayla adalah istri sah Pak Azam, tanpa perlu membongkar masa lalu.
Nayla pun belajar menata dirinya di kampus. Ia lebih tenang, lebih dewasa, dan kini ia tak merasa perlu bersembunyi. Tapi tetap, ia memilih menjaga jarak dari pembicaraan yang tak perlu. Fokus pada kuliah, fokus pada tugas-tugas dakwah, dan fokus menjadi istri terbaik untuk Azam.
Sore itu, ketika perkuliahan usai dan langit Jogja mulai meredup, Azam menunggu Nayla di tempat parkir fakultas seperti biasa. Ia membuka pintu mobil dengan senyum kecil.
"Siap pulang, Bu Dosen masa depan?"
Nayla hanya tersenyum malu, namun di balik senyum itu ada keteguhan yang tumbuh—untuk mencintai Azam dengan cara yang lebih matang, dan mencintai Allah dengan cinta yang lebih dalam.
******
Dua tahun telah berlalu sejak perjalanan sunyi dan luka itu dimulai. Kini, semuanya telah berubah. Bukan karena waktu menghapus jejak, tapi karena cinta yang dibimbing iman telah menuntun mereka pada pertumbuhan.
Hari itu, kampus disulap menjadi lautan toga. Bunga-bunga segar menghiasi panggung, dan sorak bangga dari para keluarga terdengar mengiringi setiap nama yang dipanggil.
Nayla duduk di barisan depan, mengenakan jubah wisuda dengan kerudung putih gading. Wajahnya bersinar bukan hanya karena riasan tipis yang menghiasinya, tapi karena rasa syukur yang mengalir dari hatinya. Namanya tertera di buku wisuda sebagai cumlaude, lulusan terbaik jurusan Tasawuf.
Dari kejauhan, Azam duduk di kursi tamu undangan. Bukan sebagai dosen hari itu, tapi sebagai pria yang telah menjadi saksi dari proses panjang Nayla. Pandangannya tenang, namun sorot matanya tak bisa menyembunyikan rasa bangga.
Seketika suara pembawa acara menggema.
“Kami undang, saudari Nayla Azahra untuk maju ke podium, menyampaikan sepatah dua patah kata sebagai perwakilan lulusan terbaik program Pascasarjana...”
Tepuk tangan bergema. Nayla berdiri, melangkah anggun ke panggung. Ia sempat menatap Azam sejenak, dan Azam mengangguk pelan. Dukungan itu lebih dari cukup.
Nayla menghela napas, lalu menatap seluruh hadirin.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh...”
“Hari ini bukan hanya tentang gelar dan toga. Bagi saya, hari ini adalah tentang pembuktian bahwa masa lalu tidak selalu harus menjadi penjara. Saya pernah jatuh sangat dalam. Tapi Allah, dengan kasih-Nya, memberi saya kesempatan untuk bangkit, belajar, dan menata ulang arah hidup saya.”
Ia jeda sejenak, menahan getar suaranya.
“Saya berdiri di sini bukan karena saya sempurna. Tapi karena saya ditemani oleh orang-orang yang tak berhenti percaya, meski saya sempat meragukan diri saya sendiri. Terutama seseorang yang kini duduk di kursi undangan, yang dulu pernah saya kecewakan... dan hari ini, saya ingin mengatakan: terima kasih karena tidak menyerah terhadap saya.”
Suasana ruangan hening. Beberapa mata berkaca-kaca.
“Untuk seluruh mahasiswa, dosen, dan teman-teman seperjuangan—jangan biarkan masa lalu mematahkan masa depanmu. Karena Allah itu Maha Menerima taubat. Dan setiap jiwa yang kembali, layak diberi tempat baru untuk tumbuh.”
Tepuk tangan menggemuruh. Azam berdiri paling pertama, matanya berkaca-kaca, dadanya penuh haru. Dalam diamnya, ia mengucap syukur.
Nayla turun dari podium dengan senyum yang tak pernah ia miliki sebelumnya—senyum seorang perempuan yang telah berdamai dengan dirinya sendiri dan masa lalunya.
Senja mulai merambat pelan di langit Jogja. Langit jingga merekah, membalut bumi dengan cahaya hangat yang menenangkan. Setelah serangkaian ucapan selamat dan sesi foto bersama, Azam mengajak Nayla keluar dari keramaian kampus, ke tempat yang lebih tenang—sebuah bukit kecil di belakang kampus, tempat mereka dulu pernah berpapasan di tengah angin sore.
Mereka duduk berdua di atas rumput yang masih hangat oleh sinar matahari. Tak ada suara selain desir angin dan suara burung yang kembali ke sarang. Azam memandang Nayla, yang kini menatap langit dengan tenang, jubah wisuda masih melekat di tubuhnya.
“Nayla,” suara Azam pelan, “Terima kasih… karena kamu sudah berjuang sejauh ini.”
Nayla menoleh, senyumnya lembut. “Justru aku yang harus berterima kasih, Mas. Kalau saja dulu Mas Azam menyerah, aku mungkin masih tertinggal di jalan yang salah.”
Azam menunduk sejenak, lalu menatap Nayla dalam-dalam. “Kamu tahu, saat kamu bicara di podium tadi, aku benar-benar merasa… aku pernah hampir kehilangan wanita luar biasa. Dan hari ini, aku bersyukur Allah menjaga kamu, dan hatimu.”
Nayla tersenyum. “Aku cuma mencoba taat, Mas. Walau masih sering jatuh, tapi aku ingin terus berjalan ke arah-Nya.”
Azam menggenggam tangan Nayla perlahan. “Dan aku ingin menjadi seseorang yang terus menuntunmu ke arah itu. Sebisaku. Seikhlasku.”
Nayla menggigit bibirnya, menahan haru. “Mas Azam…”
“Ssst…” Azam menaruh telunjuk di bibir Nayla lembut. “Nggak usah ngomong apa-apa. Hari ini cukup. Aku hanya ingin duduk di sini… di sisimu, sebagai suami yang pernah salah, tapi tak ingin mengulangi kesalahan itu.”
Nayla mengangguk. Air matanya jatuh tanpa suara. Tapi senyumnya tak pernah seindah ini.
Dalam diam itu, mereka saling menguatkan. Tak perlu janji-janji manis. Cukup dengan hadir dan bertumbuh bersama. Langit senja menjadi saksi, dua hati yang patah kini telah pulang ke rumahnya: dalam pelukan yang benar, dan dalam cinta yang dilandasi iman.
aku juga 15th blm mendapatkan keturunan