I LOVE YOU, BULE

"Aku lapar." Ara berbicara sendiri. Dia lupa, kenapa tadi di rumah tidak makan dulu? Saking gugupnya menjawab pertanyaan Diana membuatnya lupa makan. Padahal kelaparan sudah melanda dirinya sejak pukul tiga.

Ara mengambil telepon gagang yang di dekat pintu apartemen, kemudian menelepon pegawai yang biasanya menjadi pembantu ketika dia membutuhkan sesuatu. Ara meminta tolong untuk dibawakan beberapa bahan makanan dan kopi kesukaan Al, dia ingin memasak dan menyiapkan hidangan untuk pria yang dia rindukan itu.

Hanya memerlukan waktu lima belas menit, pegawai itu sudah ada di depan pintu, memberikan apa yang Ara mau. Setelah memberikan pesanan, sang pegawai berpamitan. Ara tidak perlu memberikan tip, karena dia sudah dibayar besar untuk membantu keperluan Ara di sini oleh, Al.

Segera wanita cantik yang menyandang status sebagai simpanan itu memasak sesuatu yang sering dimasak ketika menyambut Al. Yang membuat Al sangat menyukai masakan Ara, meski dia bule, tapi lidahnya oriental. Dirinya mudah beradaptasi dengan makanan di sini. Mungkin karena sudah cukup sering Al datang ke negara ini, membuatnya suka dengan makanan yang ada.

TING!

Notifikasi berbunyi. Namun, tidak didengar oleh Ara. Itu adalah chat masuk dari Al. Mengabarkan jika sebentar lagi dia sampai dan sudah berada di depan gedung apartemen.

***

Al belum juga nampak batang hidungnya, Ara cepat-cepat mempersiapkan makanan sebelum pria itu sampai. Setelah memasak dia ingin membersihkan tubuh lagi karena merasa tidak sesegar tadi.

Ara tak ingin Al datang dan melihat kondisinya yang kurang segar. Dia jelas tak mau mengurangi kepuasan pria itu. Jika Al tak puas dan ilfeel dengannya, maka dia tak akan bisa lagi mendapatkan penghasilan dan tentunya 'cinta' dari pria bule yang dia idam-idamkan.

Selesai dengan semua itu, Ara duduk di dekat kaca besar yang menghadap ke taman apartemen. Dia melihat pemandangan yang indah dari atas sana. Kedua matanya tanpa sengaja menjadi fokus ke arah sebuah keluarga yang tampak harmonis.

Sepasang kekasih beserta tiga anaknya. Ara tiba-tiba teringat dengan masa kecilnya. Dia selalu diajak Arya dan Diana untuk bermain di taman. Adik-adiknya kala itu sudah lahir, tapi Ara tetap manja kepada sang Ayah. Ara tidak pernah membayangkan setelah kejadian selingkuh itu Arya akan bersikap begitu padanya, padahal sebelumnya Arya selalu baik dan bahkan baik sekali kepada Ara.

Apa mungkin karena kala itu Kakek masih hidup, sehingga Arya bersikap baik dan berusaha menjadi ayah yang terbaik? Entahlah, sesak rasanya ketika ingatan itu muncul di benaknya. Ara tak mau menangis. Ara menahan semua buliran bening supaya tidak jatuh membasahi pipinya.

Daripada terenyuh dengan pemandangan keluarga harmonis yang berhasil membuat hatinya melankolis, Ara beranjak ke arah lain, dia melihat ada sepasang kekasih pula di sana. Perut dari perempuan itu membuncit, sepertinya sedang hamil. Sang pria seolah sedang mendengar bayinya berbicara, padahal masih di dalam perut. Mereka tertawa-tawa bahagia.

Ara tersenyum melihat itu, dia berharap suatu saat nanti Al akan mempersuntingnya, mendapatkan buah hati, dan hidup nyaman selamanya tanpa ada rasa bersalah seperti sekarang ini.

Namun, segera dia tepis semua rasa yang terus tumbuh tanpa diminta. Dia sadar betul jika dirinya dan Al tak akan pernah bisa bersama dalam ikatan cinta. Dia hanyalah wanita simpanan, dibayar untuk melayani Al. Bukan untuk berbagi atau menerima cinta dari pria itu.

Sakit rasanya jika mengingat kenyataan ini. Ara juga tak mau rasa ini hadir, karena pada awalnya dia hanya melayani saja pria itu sesuai dengan bayaran yang dia berikan. Namun, setelah lama berhubungan gelap dengannya, malah membuat Ara jatuh cinta. Ditambah pesona dan fisik Al yang nyaris sempurna itu semakin menambah alasan untuk rasa cinta itu tumbuh.

"Apa ada yang akan menerimaku menjadi istri jika aku semurah ini?" tanya Ara, bermonolog sendiri. Dia tidak mungkin sendiri selamanya, dia ingin memiliki anak dan suami yang sah. Dia ingin bercinta dengan ketenangan, bukan kegelisahan seperti sekarang.

Ara menangis, bentengnya roboh seketika karena teringat betapa kotornya dia. Jika saja Al mau untuk meresmikan hubungan mereka, mungkin Ara akan menjadi wanita yang paling bahagia di dunia karena memiliki pria yang dia cintai. Namun, apakah Al adalah pria yang terbaik untuknya? Jika iya, kenapa Al tidak meresmikan hubungan dengannya supaya tidak larut dalam dosa perzinahan. Jika dia memang baik, dia tak akan pernah menyewa Ara untuk memuaskan nafsu kepriaannya. Melainkan dia akan langsung melamar dan menikahinya.

Ara terisak, kenyataan ini sungguh pelik dan amat sesak. Dia bertekad harus memupus semua cinta. Ara harus benar-benar berakting dalam dunia fana ini, ketika di dalam apartemen, dia menjadi seorang Ara yang mencintai Al sepenuh hati layaknya seorang istri kepada suami biar semua kegelisahan dan rasa dosa serta bersalah itu tertutup sebentar, biar cap wanita murahan karena dibayar untuk memuaskan pria tidak begitu buruk, karena dia melakukan itu didasari cinta. Bukan uang semata.

Namun, ketika sudah selesai dengan urusan maksiat di dalam apartemen, Ara harus menjadi Ara yang tidak ada rasa cinta untuk pria yang menyewanya. Dia harus menjadi Ara yang seorang pekerja keras menjadi pemilik salon dan kakak yang baik untuk kedua adiknya, serta anak yang berbakti untuk Bunda.

Ara semakin terisak membayangkan itu semua. Dia benar-benar dilema dan tak tahu harus bagaimana untuk bisa kembali menjadi Ara yang bersih, Ara yang ceria, dan Ara yang suci. Apakah bisa dia kembali begitu? Apakah Tuhan mengampuninya dan menerima kembali dirinya? Tuhan akan menerima siapapun yang kembali, pertanyaannya, apakah Ara mau kembali? Atau enggan karena masih ingin menikmati maksiat ini?

"Semua ini karena ayah. Aku benci ayah," ucapnya.