NovelToon NovelToon
Dinikahi Sang Duda Kaya

Dinikahi Sang Duda Kaya

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / CEO / Dijodohkan Orang Tua / Duda / Nikah Kontrak / Berbaikan
Popularitas:6.2k
Nilai: 5
Nama Author: Savana Liora

​Kiana Elvaretta tidak butuh pangeran. Di usia tiga puluh, dia sudah memiliki kerajaan bisnis logistiknya sendiri. Baginya, laki-laki hanyalah gangguan—terutama setelah mantan suaminya mencoba menghancurkan hidupnya.

​Namun, demi mengamankan warisan sang kakek, Kiana harus menikah lagi dalam 30 hari. Pilihannya jatuh pada Gavin Ardiman, duda beranak satu yang juga rival bisnis paling dingin di ibu kota.

​"Aku tidak butuh uangmu, Gavin. Aku hanya butuh statusmu selama satu tahun," cetus Kiana sambil menyodorkan kontrak pra-nikah setebal sepuluh halaman.

​Gavin setuju, berpikir bahwa memiliki istri yang tidak menuntut cinta akan mempermudah hidupnya. Namun, dia salah besar. Kiana tidak datang untuk menjadi ibu rumah tangga yang penurut. Dia datang untuk menguasai rumah, memenangkan hati putrinya yang pemberontak dengan cara yang tak terduga, dan perlahan... meruntuhkan tembok es di hati Gavin.

​Saat g4irah mulai merusak klausul kontrak, siapakah yang akan menyerah lebih dulu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

​Bab 11: Drama Pagi Hari & Bekal Salmon

​"Mesin kopi baru?"

​Suara bariton Gavin memecah keheningan dapur yang biasanya hanya diisi bunyi denting sendok. Pria itu berdiri di ambang pintu, sudah rapi dengan setelan kerja abu-abu charcoal. Wajahnya jauh lebih segar dibandingkan pemandangan mengenaskan semalam saat dia meringkuk di lantai kamar.

​Kiana tidak menoleh. Dia sibuk menekan tombol di mesin espresso canggih yang baru saja diinstal teknisi kemarin sore.

​"Kalau kamu mau sembuh total dari maag, berhenti minum air rendaman arang yang kamu sebut kopi tubruk itu," jawab Kiana datar. Aroma kopi arabika yang harum dan kaya langsung memenuhi ruangan, mengusir sisa-sisa udara dingin pagi hari.

​Kiana meletakkan cangkir keramik berisi americano panas di meja makan, tepat di depan kursi Gavin.

​"Ini light roast. Asamnya rendah. Aman buat lambung manja kamu," kata Kiana sambil duduk di kursinya sendiri, mulai mengoles selai pada roti gandum.

​Gavin menatap cangkir itu sejenak, lalu melirik Kiana. Ada rasa canggung yang terasa. Ingatan tentang semalam—saat dia merintih lkesakitan dan tidur di pangkuan Kiana—masih berputar jelas di kepalanya. Dia ingat tangan halus Kiana yang mengusap rambutnya. Dia ingat betapa... nyamannya itu.

​Gavin berdehem pelan, mengusir pikiran itu jauh-jauh. Gengsinya sebagai CEO kembali naik.

​"Saya nggak minta dibuatkan," gumam Gavin, tapi tangannya meraih cangkir itu dan menyesapnya. Matanya sedikit melebar. Enak. Jauh lebih enak daripada buatan Bi Inah.

​"Anggap saja layanan purna jual karena kamu nggak mati semalam," sahut Kiana tanpa melihatnya. "Gimana perutnya? Masih sakit?"

​"Sudah baikan. Obat kamu manjur," jawab Gavin singkat. Dia ingin bilang 'terima kasih', tapi lidahnya terasa kelu. "Kamu... tidur jam berapa semalam?"

​"Jam tiga. Setelah memastikan kamu nggak bakal pingsan lagi dan bikin repot orang serumah," dusta Kiana. Padahal dia baru bisa tidur subuh karena jantungnya sendiri berdegup kencang memikirkan posisi intim mereka.

​"Bi Inah!" panggil Gavin, mengalihkan topik. "Mana Alea? Jam segini kok belum turun? Sebentat harus berangkat."

​Hening. Tidak ada jawaban dari lantai atas.

​Bi Inah muncul dari arah tangga dengan wajah cemas. Tangannya meremas celemek, tanda ada kabar buruk.

​"Anu, Pak... Non Alea nggak mau turun. Katanya sakit perut," lapor Bi Inah takut-takut. "Badannya digulung selimut terus. Saya panggil-panggil nggak nyahut."

​Gavin langsung meletakkan cangkirnya dengan keras. "Sakit perut? Apa gara-gara nasi goreng kemarin? Saya panggil Dokter Gunawan sekarang."

​Gavin sudah siap merogoh ponselnya, mode ayah panik aktif seketika.

​"Tunggu," potong Kiana cepat. Dia menahan tangan Gavin yang memegang ponsel. "Jangan lebay. Anak kamu itu sehat walafiat. 

A​"Tapi Bi Inah bilang dia sakit!"

​"Sakit perut sama sakit hati itu beda tipis gejalanya kalau buat anak SD," kata Kiana sambil berdiri. Dia merapikan blazernya. "Duduk, Gavin. Habiskan kopimu. Biar saya yang cek."

​"Kamu jangan galak-galak," peringat Gavin.

​"Saya nggak galak. Saya cuma realistis," balas Kiana sambil melenggang menuju tangga.

​Kamar Alea gelap. Gorden tebal masih tertutup rapat, menghalangi sinar matahari pagi. Di tengah kasur besar bertema princess itu, ada gundukan selimut yang bergerak-gerak pelan.

​Kiana tidak mengetuk pintu. Dia langsung masuk, berjalan ke jendela, dan menyibakkan gorden dengan satu gerakan tangan yang kuat.

​Sreeet!

​Cahaya matahari langsung membanjiri kamar.

​"Silau!" teriak suara kecil dari balik selimut.

​"Bangun. Sekolah," perintah Kiana. Dia berjalan ke tepi kasur, lalu dengan tega menarik selimut itu sampai lepas.

​Alea meringkuk di sana, masih pakai piyama, memeluk boneka beruang lusuh. Matanya sembap, tapi bukan karena sakit. Wajahnya cemberut maksimal.

​"Aku sakit perut!" seru Alea defensif, memegangi perutnya dengan akting yang sangat buruk. "Aduh... sakit banget... nggak bisa jalan..."

​Kiana melipat tangan di dada, menatap Alea dengan tatapan analitis.

​"Sakit perut sebelah mana? Kanan bawah? Itu usus buntu, harus dioperasi sekarang. Pisau bedahnya tajam lho. Kiri atas? Itu lambung, harus disuntik. Atau sakit perut karena takut ketemu teman yang namanya Dino itu?"

​Mata Alea membelalak kaget. "Ko-kok Tante tahu Dino?"

​"Tante tahu semuanya," jawab Kiana santai. Dia duduk di tepi kasur, tapi tidak berusaha memeluk Alea. Dia menjaga jarak, bicara seperti mitra bisnis. "Tante dengar kamu didorong kemarin. Lututmu luka sedikit."

​Alea menunduk, memainkan telinga boneka beruangnya. Bibirnya bergetar. "Aku nggak mau sekolah. Mereka jahat. Mereka bilang aku nggak punya Ibu. Mereka bilang Papa nikah sama nenek sihir jahat."

​"Nenek sihir jahatnya itu aku maksudnya?" tanya Kiana sambil menunjuk dirinya sendiri.

​Alea mengangguk pelan, takut dimarahi.

​Kiana malah tertawa kecil. "Yah, mereka nggak salah sih. Tante memang agak mirip nenek sihir kalau lagi marah. Tapi poinnya bukan itu, Alea."

​Kiana mencondongkan tubuh, menatap mata Alea tajam.

​"Kalau kamu nggak sekolah hari ini, berarti omongan mereka benar. Berarti kamu lemah. Berarti Dino menang."

​Alea mendongak, matanya berkaca-kaca. "Tapi aku takut..."

​"Pebisnis nggak pernah kabur dari kompetisi, Alea. Sekolah itu medan perang kamu," ucap Kiana tegas. "Kalau ada yang ejek kamu, kamu hadapi. Bukan dengan nangis atau bakar sampah, tapi dengan tunjukkan kalau kamu lebih hebat dari mereka. Kamu Ardiman. Nama belakang kamu itu mahal. Jangan bikin malu Papa dengan sembunyi di balik selimut kayak kura-kura."

​"Tapi Tante Siska ibunya Dino galak..." cicit Alea.

​"Lebih galak mana sama Tante?" tantang Kiana.

​Alea berpikir sejenak. Dia ingat bagaimana Kiana menyiram kopi ke wajah wanita di kafe (Gavin sempat keceplosan cerita sedikit). Dia ingat bagaimana Kiana mengatur ayahnya.

​"Galakan Tante," jawab Alea jujur.

​"Nah, itu tahu," Kiana tersenyum miring. "Kamu punya backing-an nenek sihir paling galak di Jakarta sekarang. Jadi kenapa harus takut sama ibu-ibu arisan kayak Bu Siska?"

​Mata Alea mulai bersinar sedikit. Logika itu masuk akal baginya. Kalau dia punya pelindung yang lebih kuat, kenapa dia harus takut?

​"Sekarang mandi. Lima menit. Kalau telat, Tante seret kamu ke kamar mandi," ancam Kiana sambil berdiri.

​Alea langsung melompat turun dari kasur. Sakit perutnya hilang ajaib. "Iya! Jangan seret!"

​Dua puluh menit kemudian, Alea turun ke ruang makan. Dia sudah memakai seragam, tapi rambutnya masih dikuncir kuda asal-asalan yang banyak anak rambut keluar. Di tangannya, dia menenteng kotak bekal bergambar Frozen.

​Kiana, yang sedang menunggu di meja makan sambil mengecek iPad, langsung mengernyit melihat kotak bekal itu.

​"Bi Inah, apa isi kotak itu?" tanya Kiana tanpa basa-basi.

​"Nugget ayam sama sosis goreng, Bu. Kesukaan Non Alea," jawab Bi Inah polos.

​"Buang," perintah Kiana singkat.

​"Hah? Dibuang?" Bi Inah dan Alea kompak melongo.

​"Itu makanan sampah. Tepung, pengawet, minyak jelantah. Nggak ada gizinya buat otak," Kiana mengambil kotak bekal itu dari tangan Alea, membuka isinya, lalu dengan tega menumpahkannya ke tempat sampah di dapur.

​"Yaaah! Nuggetku!" protes Alea.

​"Ganti," kata Kiana pada Bi Inah. Dia mengeluarkan kotak bekal kaca elegan dari tas jinjingnya. "Isi ini pakai Salmon Teriyaki sisa saya sarapan tadi. Tambah brokoli rebus sama tamagoyaki. Susun yang cantik. Biar kalau dia buka bekal di sekolah, teman-temannya ngiler lihat makanan mewah, bukan makanan beku supermarket."

​Alea terdiam. Salmon Teriyaki? Itu kan makanan mahal yang biasanya cuma dia makan kalau diajak Papa ke restoran Jepang.

​"Dan rambut kamu..." Kiana menggelengkan kepala melihat kunciran Alea yang menyedihkan. "Sini."

​Kiana menarik kursi, menyuruh Alea duduk membelakanginya. Dengan cekatan, jari-jari lentik Kiana melepas ikat rambut Alea, menyisirnya rapi, lalu mulai mengepang rambut hitam tebal itu dengan gaya French Braid yang rumit tapi rapi.

​Gavin memperhatikan dari balik koran bisnisnya. Dia melihat bagaimana tangan Kiana bergerak lembut di kepala anaknya. Tidak ada jambakan, tidak ada bentakan. Alea pun duduk diam, menikmati sisiran Kiana.

​Pemandangan itu... anehnya menghangatkan hati Gavin.

​"Selesai," kata Kiana, memasang pita rambut warna navy di ujung kepangan. "Lihat kaca."

​Alea lari ke cermin besar di lorong. Dia mematut diri. Rambutnya rapi, wajahnya jadi terlihat lebih cerah dan 'mahal'. Dia merasa seperti putri sungguhan, bukan anak urakan yang kemarin bakar sampah.

​"Cantik," gumam Alea tanpa sadar.

​"Memang," sahut Kiana percaya diri. "Ayo berangkat."

​"Pak Ujang sudah siap di depan," kata Gavin, menunjuk supir yang sedang memanaskan mobil.

​"Nggak usah," tolak Kiana sambil menyambar kunci mobil SUV Porsche miliknya dari meja. "Hari ini aku yang antar."

​Gavin menurunkan korannya. "Kamu? Kamu kan sibuk. Biar supir saja."

​"Supir kamu terlalu lembek. Kalau ada yang halangi jalan, dia cuma bisa nunggu. Alea butuh lihat gimana caranya menghadapi jalanan Jakarta," jawab Kiana. Dia menoleh ke Alea. "Mau disupiri Tante atau Pak Ujang?"

​Alea menatap Kiana, lalu menatap Gavin. Ada rasa penasaran di mata anak itu. Tante ini keren. Mobilnya keren.

​"Tante aja," jawab Alea cepat.

​Gavin hanya bisa pasrah. "Hati-hati. Jangan ngebut."

​"Nggak janji," balas Kiana sambil menggandeng tangan Alea keluar.

​Perjalanan ke sekolah Alea sebenarnya tidak jauh, tapi macetnya Jakarta pagi hari adalah ujian kesabaran tingkat dewa.

​Di dalam mobil, Kiana tidak membiarkan Alea main gadget. Dia memutar musik jazz instrumental.

​"Dengar, Alea. Nanti pas turun dari mobil, dagu harus diangkat. Dada dibusungkan. Jalan yang tegap," instruksi Kiana sambil menyetir dengan satu tangan. "Jangan nunduk. Orang yang nunduk itu sasaran empuk buat di- bully."

​"Kalau Dino ngejek aku lagi gimana?" tanya Alea cemas.

​"Senyumin aja. Senyum yang sinis, kayak gini," Kiana mencontohkan senyum miring andalannya di spion tengah. "Terus bilang, 'Minggir, baju kamu bau matahari'. Itu bakal bikin dia insecure."

​Alea terkikik geli. "Oke. Baju bau matahari."

​Mobil Porsche putih Kiana akhirnya mendekati gerbang SD Anak Bangsa. Jam menunjukkan pukul 06.55. Lima menit lagi bel masuk.

​Tiba-tiba, antrean mobil berhenti total.

​"Kenapa berhenti sih? Padahal gerbangnya udah kebuka," gerutu Kiana.

​Dia memanjangkan leher, melihat ke depan.

​Di depan gerbang sekolah, tepat di area drop-off yang sempit, sebuah mobil Alphard putih besar berhenti miring, memakan hampir dua lajur jalan. Pintu belakangnya terbuka lebar.

​Seorang wanita dengan pakaian senam ketat warna pink neon dan kacamata hitam besar sedang berdiri di samping mobil itu. Dia tidak buru-buru menurunkan anaknya. Dia malah asyik mengobrol dengan ibu-ibu lain yang berdiri di trotoar. Mereka tertawa-tawa, cipika-cipiki, seolah jalanan itu milik nenek moyang mereka.

​Anak-anak lain yang mau masuk terpaksa harus menyelinap lewat celah sempit. Klakson mobil di belakang Kiana mulai bersahutan, tapi si ibu Alphard cuek saja, malah melambaikan tangan dengan genit.

​"Itu Tante Siska..." bisik Alea, wajahnya langsung pucat. "Itu mobilnya Dino."

​Rahang Kiana mengeras. "Oh, jadi itu ratu lebahnya? Parkir sembarangan, bikin macet, dan nggak punya otak?"

​Kiana melihat jam. 06.58. Alea bisa telat kalau drama ini tidak diakhiri.

​"Pegangan, Alea," perintah Kiana dingin.

​"Tante mau ngapain?"

​Kiana tidak menjawab. Dia menginjak gas sedikit, memajukan mobilnya sampai bumper depannya hanya berjarak beberapa sentimeter dari bumper belakang Alphard itu.

​Lalu, Kiana menekan klakson setirnya dengan telapak tangan penuh.

​TIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIN!!!!!!

​Suara klakson mobil sport Eropa itu bukan main kerasnya. Menggelegar seperti terompet kapal pesiar, memekakkan telinga siapa saja dalam radius seratus meter.

​Bu Siska yang sedang tertawa lebar sampai kelihatan gigi palsunya, langsung melompat kaget. Handphone di tangannya nyaris terlempar.

​Semua orang menoleh. Satpam sekolah berlari mendekat.

​Kiana tidak melepaskan tangannya dari klakson. Dia menahannya selama sepuluh detik penuh.

​TIIIIIIIIIIIIIIIIIIIN!

​Bu Siska menoleh ke belakang dengan wajah merah padam karena malu dan kaget. Dia melotot ke arah mobil Kiana, mulutnya bergerak-gerak memaki, tapi suaranya kalah lawan klakson.

​Kiana melepaskan klakson, lalu menurunkan kaca jendela mobilnya perlahan. Dia mengeluarkan kepalanya, menatap Bu Siska dengan tatapan membunuh di balik kacamata hitamnya.

​"WOY! MINGGIR!" teriak Kiana, suaranya lantang dan berwibawa. "INI JALANAN SEKOLAH, BUKAN GARASI PRIBADI! KALAU MAU ARISAN DI PASAR SANA!"

​Murid-murid dan orang tua lain yang terjebak macet langsung bersorak dalam hati. Bahkan ada beberapa supir yang ikut membunyikan klakson mendukung Kiana.

​Bu Siska tampak syok. Belum pernah ada yang berani membentaknya di sekolah ini. Dia, istri donatur yayasan, dibentak?

​Dengan wajah menahan tangis karena malu, Bu Siska buru-buru masuk ke mobilnya, menyuruh supirnya jalan. Alphard itu akhirnya minggir.

​Jalanan lancar kembali.

​Kiana menjalankan mobilnya dengan santai menuju lobi. Dia menoleh ke samping.

​Alea menatapnya dengan mulut terbuka lebar, matanya berbinar-binar penuh kekaguman.

​"Keren banget..." desis Alea. "Tante barusan ngusir Tante Siska?"

​"Sudah Tante bilang," Kiana tersenyum puas. "Nenek sihir selalu menang lawan ibu peri palsu. Sekarang turun. Jangan lupa, dagu diangkat."

​Alea mengangguk mantap. Dia turun dari mobil, menggendong tas barunya, dan berjalan masuk gerbang sekolah dengan langkah tegap, persis seperti yang diajarkan Kiana.

​Kiana mengawasi dari dalam mobil sampai punggung kecil itu hilang di balik pintu kelas. Dia menghela napas lega. Satu masalah selesai.

​Tapi Kiana tahu, ini baru permulaan. Bu Siska pasti tidak akan diam saja dipermalukan di depan umum.

​"Oke," gumam Kiana sambil memutar setir. "Perang dunia ketiga dimulai."

1
shenina
Alea; auntie Kiana is my superhero 👏😍
shenina
ceritanya bagus 👍👍🤩
shenina
kiana.... selamatkan gavin dari wewe gombel.... 🤣🤣🤣🤣
Nor aisyah Fitriani
lanjuttt
Savana Liora
mantap kak
Savana Liora
asiaaapp
Nor aisyah Fitriani
uppp teruss seharian cuma nungguin kirana
Nischa
yeayyy akhirnya kiana sadar juga dengan perasaan nyaaa, uhhh jadi ga sabar kelanjutannya😍
Savana Liora
😄😄😄 iya, mantap kiana ya
shenina
😍😍
shenina
woah badass kiana 👍👍
shenina
🤭🤭
Savana Liora: halo. terimakasih udah baca
total 1 replies
shenina
👍👍
Savana Liora: makasih ya 😍😍
total 1 replies
Savana Liora
hahahaha
Nor aisyah Fitriani
upp teeuss thorr baguss
Savana Liora: asiaaap kk
total 1 replies
Nischa
lanjut thorr, ga sabar kelanjutannya🥰
Savana Liora: sabar ya. lagi edit edit isi bab biar cetar
total 1 replies
Nischa
cieee udah ada rasa nih kyknya, sekhawatir itu sm Gavin😄
Savana Liora: hahahaha
total 1 replies
Nor aisyah Fitriani
upp kak cerita nya baguss
Savana Liora: bab 26 udah up ya kak
total 1 replies
Nor aisyah Fitriani
baguss bangett
Savana Liora: makasih kak.😍 selamat membaca ya
total 1 replies
Feni Puji Pajarwati
mantap Thor...ceritanya gak kaleng2...maju terus buat karya nya...semangat...
Savana Liora: terima kasih supportnya kakak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!