NovelToon NovelToon
MERRIED WITH YOUNG BOY

MERRIED WITH YOUNG BOY

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua / Nikahmuda / CEO / Berondong
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”


Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.

Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.

Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”

Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.

Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10 TOLONG PERTIMBANGKAN

“Arash?” Suaranya tercekat. Napasnya terhenti ketika ia melihat pria itu berdiri sangat dekat—terlalu dekat—wajahnya penuh kemarahan.

“Apa yang kau lakukan pada keluargaku, hah?” suara Arash bergetar menahan emosi. Rahangnya mengeras, kedua alisnya bertaut rapat. “Sampai-sampai mereka mau aku menikah denganmu.”

Ava terduduk dalam kesunyian singkat sebelum berhasil menemukan suaranya. “A-Aku tidak mengerti maksudmu.”

“Jangan bohong!” Tangan Arash mencengkeram kedua bahunya, tidak sekadar memegang—tapi mencengkeram, seolah ia berusaha menahan sesuatu yang meledak di dalam dirinya. Matanya menatap tajam, menyelidik. “Mama dan Papa memintaku menikah denganmu. Dan kau pasti sudah tahu itu!”

Kaget berubah menjadi marah. Ava menyingkirkan tangan Arash dari dirinya, wajahnya memerah karena emosi.

“Kau datang-datang dengan emosi lalu menuduhku?” katanya tajam. “Kau gila? Aku bahkan baru mendengarnya dari mulutmu sekarang.”

Ia hendak melangkah pergi, namun lengan Arash kembali menghalanginya.

“Apa lagi?” Ava memutar tubuhnya dengan kesal, napasnya terengah karena campuran marah dan terkejut.

“Aku mau kau menolaknya,” ucap Arash, suaranya lebih rendah kali ini—lebih terkontrol, namun tetap mengandung tekanan.

Ava mengerutkan kening. “Menolak apa?”

“Perjodohan itu.” Kata-kata itu meluncur dari mulut Arash dengan nada kasar, seolah ia sendiri tidak suka mengucapkannya.

Ava menatapnya tajam. “Kenapa tidak kau saja yang menolaknya?”

Hening.

Arash tidak menjawab. Wajahnya memanas, tapi bukan karena marah—lebih karena tidak punya jawaban yang bisa membenarkan dirinya. Mata mereka bertemu. Pandangan tajam bertabrakan dengan kelelahan dan kejengkelan.

Detik itu terasa lama. Ava akhirnya memutuskan kontak mata terlebih dahulu. Ia berbalik, siap pergi.

“Ava!… Ava!”

Seseorang memanggilnya dari kejauhan—suara yang membuatnya teringat tugas, realitas, dan dunia yang lebih masuk akal dari drama yang baru saja terjadi.

Ava melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun, tidak memberi Arash kesempatan untuk bicara lagi. Ia merasa dadanya mengencang—bukan karena marah, tapi karena kelelahan menghadapi sesuatu yang datang begitu tiba-tiba. Udara pagi masih menusuk, namun tubuhnya terasa panas, seperti amarah Arash tadi masih menempel di bahunya.

Di depan butik, Bella bergegas menghampirinya sambil membawa tumpukan katalog. “Kau darimana? Si jutek mencarimu,” bisiknya cepat.

Ava langsung tahu siapa yang dimaksud. Hanya Irene—pemilik butik sekaligus fashion director mereka—yang pantas mendapat gelar itu. Ava hanya mengangguk lelah dan mengikuti Bella masuk. Pintu butik berbunyi kecil saat mereka melangkah masuk, meninggalkan Arash yang masih berdiri di samping pintu dengan wajah penuh emosi: bingung, tersinggung, dan entah sedikit ego yang terluka.

Ava memilih tidak melihatnya lagi.

Sementara itu, di tempat berbeda, Agam duduk di sebuah restoran tenang yang dikelilingi jendela besar. Cahaya matahari masuk lembut, memantulkan rona keemasan pada meja kayu tempat ia duduk. Asap kopi mengepul pelan dari cangkir porselen di depannya, bercampur dengan aroma tajam saus dari hidangan lain.

Ia sudah lama menunggu, namun tidak menunjukkan kegelisahan sedikit pun. Agam selalu tampak seperti pria yang memiliki seluruh waktu dunia.

Hingga suara langkah tergesa mendekat dan sebuah kursi ditarik di depannya.

“Maaf, aku terlambat. Tadi ada rapat,” ucap Luis sambil melepaskan jasnya sebelum duduk. Rambutnya sedikit berantakan, dan wajahnya menyimpan letih khas pekerja kantor—maklum, ia seorang pengacara sibuk.

“Tidak apa. Aku juga sedang tidak buru-buru,” jawab Agam tenang.

Luis meminum sedikit kopinya sebelum berbicara, “Jadi… apa yang membuatmu memanggilku saat jam kerja? Ada masalah hukum?”

Agam menggeleng. “Bukan. Aku memintamu datang untuk membicarakan soal Ava.”

Luis menghentikan gerakan mengangkat cangkir. “Kenapa dengan putriku?”

Agam tidak berputar-putar. “Aku dan Margaret berencana menjodohkan Ava dengan anak keduaku, Arash.”

Kata-kata itu menggantung panjang di udara. Luis tidak langsung membalas. Ia letakkan cangkir itu perlahan, seperti sedang menimbang sesuatu yang jauh lebih berat dari sekadar pertanyaan.

“Aku tidak mau memaksakan kehendak putriku, Agam,” ucapnya akhirnya. Suaranya datar tapi tegas. “Segala hal yang menyangkut hidupnya—pilihan, perasaan, masa depannya—itu urusannya. Tugasku hanya mendukung dan membimbing, bukan menentukan.”

Agam hanya menunduk pelan. Ia memahami jawaban itu… tapi juga tahu bahwa rencana Margaret tidak akan berhenti hanya karena satu penolakan lembut.

...----------------...

Malam datang, menutupi kota dengan lampu kuning jalanan yang berpendar. Sepulang kerja, Ava meminta Theo berhenti di depan sebuah restoran berlampu hangat. Dari luar, tempat itu tampak ramai, penuh suara tawa dan denting gelas.

“Paman mau ikut masuk?” tanya Ava dengan sopan.

“Saya menunggu di sini saja, Nona,” jawab Theo sambil tersenyum.

Ava mengangguk. Ia turun dari mobil, menarik napas panjang sebelum membuka pintu restoran. Hembusan aroma makanan khas Asia menyambutnya, membuat perutnya yang kosong sedikit bergejolak.

“Ava, sayang… sini!” suara Margaret memanggil dari meja dekat jendela.

Ava tersenyum dan berjalan mendekat. Margaret langsung berdiri dan memeluknya erat. Di mata wanita itu, ada kekhawatiran yang tidak disembunyikan sama sekali. Tatapannya segera jatuh pada perban di kening Ava, yang masih terlihat kontras di bawah make up tipis.

“Bagaimana kabarmu, sayang?”

“Ava baik. Bagaimana Mama?”

“Mama juga baik,” jawabnya sambil merapikan rambut Ava dengan gerakan lembut yang seperti refleks seorang ibu.

Mereka duduk. Percakapan ringan mengisi waktu—tentang pekerjaan Ava, tentang Bella yang mulai belajar membuat pola baru, tentang Margaret yang mencoba resep kue baru dan gagal total. Tawa mereka mengalir alami, seakan dunia baik-baik saja.

Namun itu hanya sampai makanan datang. Setelah beberapa suapan, Margaret memanggil namanya pelan. “Ava…”

Ava mendongak. “Iya, Ma?”

“Mama tidak mau kehilanganmu.”

Sendok Ava berhenti setengah jalan. Kata-kata itu menggema di kepalanya. Ada suara retak kecil dalam hatinya—retak yang muncul karena ia tahu kemana arah pembicaraan ini.

“Mama sudah kehilangan Martin…” lanjut Margaret, suaranya sedikit bergetar. “Dan Mama tidak mau kehilangan lagi.”

Ava menatapnya lekat, lalu tersenyum sedih. “Ava tidak akan pergi ke mana-mana, Ma. Kalau mama mau, kita bisa makan bersama seperti ini lebih sering. Bersama Esther juga.”

“Meskipun kau sudah menikah dengan orang lain?” tanya Margaret perlahan.

Ava terdiam. Lalu akhirnya berkata, jujur, “Ava belum memikirkan sampai sejauh itu.”

Margaret menggenggam tangan Ava. Jemarinya terasa dingin, seperti ada ketakutan yang ia genggam juga di sana. “Ava sayang… menikahlah dengan Arash.”

Kata itu menghantam dada Ava.

“Jadi benar apa yang dikatakan Arash tadi?” batinnya. “Bahkan mereka tidak memikirkan perasaanku…”

Ava menarik tangannya perlahan, sopan namun tegas. “Maaf, Ma. Ava tidak bisa. Lagipula Arash terlalu muda.”

“Umur hanyalah angka, Nak. Itu tidak mempengaruhi apa pun,” jawab Margaret, mencoba tetap lembut.

“Mungkin bagi Mama tidak,” jawab Ava lirih. “Tapi bagi Ava… berbeda.”

Ia menelan napas sesaat sebelum menambahkan, “Dan satu lagi… Martin belum lama meninggal. Apa Mama tidak mengerti perasaan Ava?”

Suasana meja langsung sunyi. Musik restoran terasa lebih keras dari sebelumnya, dan cahaya lampu seperti menyilaukan.

Ava menunduk. Kata-kata Margaret masih menggantung di antara mereka seperti beban yang sulit ia lepaskan. Margaret menatap Ava dengan mata yang memerah, rasa bersalah terpantul jelas di sana… namun rasa takut kehilangan gadis itu jauh lebih mendominasi.

“Ava sayang,” suara Margaret melembut, serak. “Mama mengerti perasaanmu… sungguh. Mama tahu bagaimana rasanya kehilangan, karena Mama juga sudah kehilangan Martin. Anak sulung Mama…”

Nada suaranya pecah. Margaret menelan tangisnya, lalu melanjutkan, “Dan Mama takut kehilanganmu. Kau sudah Mama anggap seperti anak sendiri.”

Ava terdiam. Tidak ada kata yang bisa ia keluarkan. Dadanya terasa sesak—bukan karena marah, tapi karena terjebak di tengah rasa hormat yang besar pada sosok yang selama ini begitu baik padanya.

“Mama menyayangimu, Ava. Makanya Mama memintamu menikah dengan Arash. Supaya—”

Ava tiba-tiba berdiri. Kursinya bergeser ke belakang, menimbulkan bunyi yang cukup keras untuk membuat beberapa pengunjung menoleh. “Maaf, Ma… Ava harus pulang.”

Margaret cepat-cepat meraih tangan Ava, mencoba menahannya. Namun Ava, yang sedang panik dan ingin menjauh dari percakapan itu secepat mungkin, tanpa sengaja menghempas pegangan Margaret. Sentakan kecil yang tak terkontrol itu membuat tubuh Margaret kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh ke samping—keras—membuat beberapa pengunjung terkejut dan langsung berdiri.

“Mama!” Ava tersentak, membungkuk cepat, hendak membantu. Pengunjung lain berkerumun, beberapa berebut menawarkan pertolongan. Namun ketika Ava mencoba menyentuhnya, Margaret justru menepis tangan Ava seperti terbakar.

“Jangan!” suara Margaret pecah, dan air mata mengalir turun dari pipinya. “Jangan sentuh Mama…”

Ava terhenti. Napasnya tercekat. “Mama… maaf. Ava tidak sengaja. Ava sama sekali tidak bermaksud—”

Margaret kembali terisak. “Tidak… kau pasti sengaja, kan?” Suaranya terdengar bukan seperti tuduhan, melainkan seperti hati yang patah. Seakan ia benar-benar percaya Ava menolaknya, bukan hanya menolak perjodohan itu.

Ava menggeleng cepat, air matanya mulai menggenang. “Tidak, Ma. Demi Tuhan, Ava tidak sengaja. Ava… Ava hanya kaget, Ava cuma ingin pulang.”

Margaret menutupi wajahnya dengan kedua tangan, menyembunyikan tangis yang justru terdengar lebih keras. Beberapa pengunjung mulai berbisik satu sama lain, pandangan mereka memantul antara Ava dan Margaret.

Situasinya memburuk dalam hitungan detik. Ava merasakan rasa bersalah menancap dalam di hatinya. Ia berjongkok lagi, membiarkan lututnya menyentuh lantai dingin. “Mama… Ava minta maaf. Tolong jangan salah paham. Ava tidak bermaksud mendorong Mama…”

Margaret perlahan menurunkan tangannya. Matanya bengkak, penuh luka yang seolah menuduh dirinya sendiri. Dan di situlah ia mulai berbicara—pelan, namun sangat jelas.

“Sampai segitunya kah kau menolak Mama… hanya karena Arash?” Suara itu seperti pisau yang menusuk ke dalam hati Ava.

“Tidak, Ma. Bukan begitu…” suara Ava bergetar.

“Padahal Mama hanya ingin yang terbaik untukmu.” Margaret menatap Ava dengan sorot yang begitu lembut namun memilukan, sorot yang membuat gadis itu semakin merasa bersalah. “Mama… Mama hanya ingin memastikan kau tidak sendiri di dunia ini. Arash anak baik, Nak. Mama tahu dia bisa menjagamu. Mama hanya ingin… ada seseorang yang menyayangimu setelah Martin pergi.”

Ava menggigit bibir bawahnya. Perkataan itu menghantamnya. Ia mencintai Martin lebih dari apa pun—dan kepergiannya masih meninggalkan ruang kosong yang belum sembuh. Mendengarnya dari mulut Margaret seperti luka lama yang dibuka paksa.

“Mama tidak memaksa…” lanjut Margaret lirih, padahal ia sedang melakukannya. “Mama hanya… sedih karena kau begitu membencinya sampai… sampai mendorong Mama jatuh.”

Ava menahan napas. “Ma, jangan bilang begitu. Ava tidak—Ava tidak pernah membenci Mama.”

Margaret menatapnya, seolah menunggu jawaban yang lebih dari sekadar penjelasan.

Ava bisa merasakan seluruh pengunjung mengamati mereka. Dan rasa bersalah itu—rasa tidak enakan yang selalu ia miliki—mulai mencengkeram lehernya, membuatnya sulit bernapas. Margaret pandai menyentuh titik itu. Sangat pandai.

“Ava…” suara Margaret melemah. “Mama hanya ingin kau bahagia. Tolong… pertimbangkanlah Arash. Setidaknya… jangan tutup pintunya sepenuhnya. Mama mohon.”

Ava tenggelam dalam keheningan. Hatinya terjepit antara kebutuhan untuk mempertahankan hidup dan rasa hormatnya pada wanita yang sudah memperlakukannya seperti keluarga.

Ia menelan ludah. Pelan. Berat.

“Baik, Ma…” suaranya hampir tidak terdengar. “Ava… akan mempertimbangkannya.”

Margaret menatapnya dengan air mata yang kembali jatuh—kali ini bukan karena sedih, melainkan lega. Sebuah kemenangan diam-diam terselip di dalamnya.

“Terima kasih, sayang,” bisiknya. “Mama tahu kau anak baik.”

Dan Ava hanya bisa menunduk, tenggorokannya perih, menyadari bahwa ia baru saja masuk ke dalam perangkap halus—perangkap yang dibangun bukan dengan ancaman, tapi dengan kasih sayang… dan rasa bersalah.

.

.

.

.

.

.

.

.

📌 Jangan lupa tinggalkan likeee nya yaa🤗❤️

1
Sri Peni
ceritanya bagus aq lebih tertarik pd diksinya.
Sri Peni
updatenya jgn lama2
Sri Peni
apakah ini novel terjmahan? krn diksinya benar2 pas bagiku. . benar2 bahasa sastra. maaf baru kali ini aq bc , cerita yg bhsnya bagus .. sulitdibahas dgn tertulis
Ig ; LaruArun: Bukan ka, ini bukan novel terjemahan. cerita ini pure isi kepala aku. btw, terimakasih banyak karena udah mampir dan mohon dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!