Hidup Arabella hancur ketika pamannya tega menjualnya pada Edward Frederick, seorang mafia berkedok Ceo yang terkenal kejam, dingin, dan arogan, hanya demi melunasi hutang akibat kebangkrutan perusahaan.
Dengan kaki kanan yang cacat karena kecelakaan di masa lalu, Arabella tak punya banyak pilihan selain pasrah menerima perlakuan sang suami yang lebih mirip penjara ketimbang pelindung.
Perlahan, keduanya terseret dalam permainan hati, di mana benci dan cinta tipis perbedaannya.
Mampukah Arabella bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini? Ataukah justru dia yang akan meluluhkan hati seorang Edward Frederick yang sekeras batu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11
Setelah seharian membersihkan mansion, Ara merasa tubuhnya remuk redam. Namun, ia tidak menyerah. Ia tahu, ini hanyalah awal dari penderitaannya. Ia harus tetap kuat dan tegar.
Kini, saatnya Ara menyiapkan makan malam untuk Edward. Ia bertanya pada Martha, makanan apa yang disukai oleh pria itu.
"Tuan Edward sangat menyukai masakan Italia," jawab Martha dengan nada hati-hati. "Biasanya, beliau memesan risotto, ossobuco, panettone, dan puding."
Ara terkejut mendengar jawaban Martha.
Makanan Italia mewah? Ia tidak yakin bisa membuatnya.
"Makanan itu sangat sulit dibuat," ucap Ara dengan nada khawatir. "Apakah aku bisa membuatnya?"
Martha tersenyum tipis. "Nona jangan khawatir," ucap Martha dengan nada menyemangati. "Saya akan membantu Nona. Saya akan menyiapkan semua bahan-bahannya."
Ara tersenyum lega. Ia merasa berterima kasih pada Martha atas kebaikannya.
"Dulu, saat ayah dan ibuku masih hidup, mereka pernah mengajariku membuat makanan itu," ucap Ara dengan nada nostalgia. "Apalagi aku juga sangat suka puding."
Mendengar itu, hati Martha menghangat. Jarang sekali ada wanita seperti Ara yang masih tetap tersenyum meskipun sudah diperlakukan dengan tidak baik.
"Apakah Nona akan membuatnya sendiri?" tanya Martha dengan nada kagum.
Ara mengangguk mantap. "Siapkan saja semua bahannya," jawab Ara dengan nada percaya diri. "Sebelum Edward pulang, aku akan menyelesaikannya."
Martha tersenyum lebar. Ia merasa senang melihat semangat Ara. Ia yakin, wanita ini akan bisa melewati semua cobaan yang menimpanya.
Dengan bantuan tongkatnya, Ara berjalan tertatih-tatih menuju kamarnya untuk mandi. Setelah itu, ia akan segera menuju dapur dan mulai memasak.
**
Sementara itu, di kantornya, Edward terlihat sangat penat dengan pekerjaannya. Sungguh, semua konsentrasinya buyar karena memikirkan masalahnya dengan Julia.
Julia benar-benar meninggalkannya. Sama sekali tidak memberikan kabar, bahkan ponselnya pun tidak aktif.
Edward merasa sangat marah dan frustrasi. Ia tidak mengerti, kenapa Julia tega meninggalkannya begitu saja. Apakah ia melakukan kesalahan? Apakah ia tidak cukup baik untuk Julia?
"Mungkin akan lebih baik jika aku pulang saja!" Edward memutuskan untuk pulang. Ia tidak bisa lagi berkonsentrasi pada pekerjaannya.
Pria itu ingin segera beristirahat dan melupakan semua masalahnya.
Bobby membereskan semua pekerjaan Edward dan menyusulnya ke mobil. Ia melihat wajah Edward yang tampak kusut dan lelah.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Bobby dengan nada khawatir.
Edward menggelengkan kepalanya. "Tidak ada," jawab Edward dengan nada dingin. "Aku hanya ingin cepat sampai rumah."
Bobby terdiam. Ia tidak berani bertanya lebih lanjut. Ia tahu, tuannya sedang tidak ingin diganggu.
"Menyusahkan!" gumam Edward dengan nada kesal saat memasuki mobil.
**
Di dapur, Ara sedang sibuk menyiapkan bahan-bahan untuk membuat risotto. Martha membantunya dengan menyiapkan sayuran dan bumbu-bumbu.
"Apakah Nona yakin bisa membuat semua makanan ini? Makanan ini sangat rumit dan membutuhkan waktu yang lama." tanya Martha dengan nada khawatir.
Ara tersenyum tipis. "Aku akan berusaha, Aku ingin menunjukkan pada Edward, aku bisa melakukan apa saja." jawab Ara dengan nada optimis.
Martha mengangguk kagum. Ia merasa terinspirasi oleh semangat Ara. Ia yakin, wanita ini akan bisa memenangkan hati Edward.
Ara mulai memasak dengan tekun. Ia mengikuti resep yang ia ingat dari ibunya. Ia menambahkan sedikit sentuhan pribadi pada masakannya. Ia ingin membuat makanan yang lezat dan istimewa untuk Edward.
Setelah beberapa jam, Ara berhasil menyelesaikan semua masakannya. Risotto, ossobuco, panettone, dan puding tertata rapi di atas meja makan. Aroma masakan itu sangat menggugah selera.
Ara merasa bangga dengan hasil karyanya. Ia berharap, Edward akan menyukai masakannya.
"Huft, semoga saja Edward mau mencicipinya," ucap Ara sambil berdoa dalam hati.
Edward memasuki rumah dengan wajah lelah. Ia merasa sangat penat dan kesal. Namun, saat ia baru saja melangkah masuk, aroma masakan yang begitu enak langsung menyambutnya.
Aroma yang sangat familiar, aroma masakan ibunya yang begitu ia rindukan. Perutnya langsung keroncongan.
Edward melangkah menuju ruang makan dan melihat Ara berdiri di depannya, tersenyum manis.
"Selamat datang," sapa Ara dengan sopan. "Silakan nikmati makan malam. Mungkin tak seenak di restoran tapi ini buatan ku sendiri."
Edward terkejut melihat Ara. Ia tidak menyangka, wanita itu yang memasak semua makanan ini. Ia menatap meja makan yang penuh dengan hidangan mewah itu dengan tatapan curiga.
"Kau yakin memasak semua ini sendiri?" tanya Edward dengan nada sinis.
Ara mengangguk. "Aku harap kau menyukainya," jawab Ara dengan nada gugup.
Edward duduk di kursi dan mulai mencicipi makanan itu. Ia mencoba menyembunyikan ekspresi terkejutnya. Rasanya sangat enak. Persis seperti masakan ibunya.
Hanya saja, Edward tidak ingin memperlihatkan kekagumannya di depan wanita itu. Ia ingin tetap bersikap dingin dan acuh tak acuh.
"Lumayan. Tapi akan lebih baik lagi jika kau tidak memasak. Aku tidak suka makanan yang dibuat oleh orang cacat," ucap Edward dengan nada datar.
Ara menundukkan kepalanya, menahan air mata yang ingin keluar. Ia merasa sangat sakit hati mendengar perkataan Edward.
Apalagi kata-kata cacat itu. Ara tahu, ia cacat. Tapi kenapa Edward harus terus memperjelasnya setiap hari.
"Sial, kenapa aku tak bisa berhenti makan." gumamnya dalam hati. Edward malah menghabiskan semua makanan itu tanpa sisa. Ia makan dengan lahap, seolah tidak ada hari esok.
"Jangan besar kepala! Aku terpaksa menghabiskannya. Aku tidak ingin membuang makanan. Cari uang tidak gampang," ucap Edward.
Setelah selesai makan, Edward bangkit dari kursi dan meninggalkan Ara sendirian di ruang makan. Ia berjalan menuju kamarnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Ara menatap punggung Edward dengan tatapan sedih. Ia merasa sangat kecewa dan terluka.
Tetapi, Ara tidak akan menyerah. Ia harus tetap berusaha untuk memenangkan hati pria itu.
"Aku akan bertahan dan berusaha menjadi istri yang baik. Sampai kau bosan dan mengusirku dari mansion ini," bisik Ara dengan penuh tekad.
pernah lihat film ga Thor
si detektif kecil kayak Conan 😄😄😄..
badannya aja yg pitik ga sama isi kepala nya,,
dari pada uncle mu yg 1/2 ons
aihhh mau ngapain merek apa Edward mau ngetes lolipop nya Sam Jul Jul