Rina hidup dalam gelimang harta setelah menikah dengan Aryan, pengusaha bakso yang mendadak kaya raya. Namun, kebahagiaan itu terkoyak setelah Rina diculik dan diselamatkan oleh Aryan dengan cara yang sangat mengerikan, menunjukkan kekuatan suaminya jauh melampaui batas manusia biasa. Rina mulai yakin, kesuksesan Aryan bersumber dari cara-cara gaib.
Kecurigaan Rina didukung oleh Bu Ratih, ibu kandung Aryan, yang merasa ada hal mistis dan berbahaya di balik pintu kamar ritual yang selalu dikunci oleh Aryan. Di sisi lain, Azmi, seorang pemuda lulusan pesantren yang memiliki kemampuan melihat alam gaib, merasakan aura penderitaan yang sangat kuat di rumah Aryan. Azmi berhasil berkomunikasi dengan dua arwah penasaran—Qorin Pak Hari (ayah Aryan) dan Qorin Santi—yang mengungkapkan kebenaran mengerikan: Aryan telah menumbalkan ayah kandungnya sendiri demi perjanjian kekayaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triyan89, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11
Setelah kegagalan aksi pemerasan di kios Bakso Bang Aryan, Pak Broto semakin marah dan dipenuhi rasa iri. Ia tidak ingin menyerah begitu saja. Ia memutuskan untuk menjalankan rencana lain.
Sesuai perintah Pak Broto, Jarwo, preman berkumis, dan teman-temannya segera mencari cara untuk menyusup ke dalam salah satu kios Aryan. Mereka mencari seseorang yang bisa dipercaya, namun tidak akan dicurigai oleh karyawan Bakso Bang Aryan.
Akhirnya, mereka berhasil menemukan seorang pemuda bernama Rendi. Rendi adalah pengangguran yang sedang terlilit hutang. Dengan iming-iming uang dengan jumlah cukup besar, Rendi setuju untuk melakukan pekerjaan kotor tersebut.
“Tugas kamu gampang, Ren. Pura-pura aja cari kerja. Begitu kamu diterima di kios Bakso Bang Aryan, kamu cari kesempatan buat campurin racun ke adonan atau kuahnya.” jelas Jarwo kepada Rendi di sebuah warung kopi pinggir jalan.
Rendi menelan ludah. Ia takut, tetapi uang yang ditawarkan Jarwo cukup besar baginya, cukup untuk melunasi hutangnya.
“Iya, Bang. Saya usahakan. Tapi racunnya aman, kan? Jangan sampai saya yang kena kasus,” tanya Rendi khawatir.
“Tenang saja. Ini cuma racun yang bikin sakit perut, bukan racun mematikan. Pokoknya bikin orang kapok makan di sana. Sekarang, kamu pergi,” perintah Jarwo.
Rendi menjalankan misinya dengan baik. Dengan penampilan rapi dan alasan sedang butuh pekerjaan, ia berhasil diterima sebagai karyawan baru di salah satu cabang Bakso Bang Aryan. Karyawan di sana sangat ramah dan menyambutnya dengan baik, membuat Rendi merasa bersalah atas rencana jahatnya.
Beberapa hari pertama, Rendi hanya bertugas mencuci piring dan membantu membersihkan meja. Ia terus mencari kesempatan.
Pada hari ketiga, kesempatan itu datang. Kepala Koki sedang keluar sebentar untuk membeli bahan tambahan, dan Rendi hanya sendiri di area dapur yang berdekatan dengan panci-panci besar kuah bakso.
Rendi melihat ke sekeliling, tidak ada CCTV di sudut dapur itu. Ia segera mengeluarkan bungkusan kecil berisi bubuk yang diberikan Jarwo. Jantungnya berdebar kencang.
Ia mendekati panci yang berisi kuah bakso yang ukurannya sangat besar, yang berisi kuah panas mendidih. Dengan tangan gemetar, Rendi segera mencampurkan bubuk racun itu ke dalam kuah, lalu mengaduknya perlahan agar bubuk itu larut.
‘Ini demi hutangku. Semoga semua aman,’ batin Rendi, merasa sangat takut.
Ia berhasil menyelesaikan aksinya tanpa dicurigai siapa pun. Rendi berharap, setelah ini, semua pelanggan yang makan akan keracunan, dan nama Bakso Bang Aryan akan hancur seketika.
Setelah Rendi mencampurkan racun, ia kembali ke pekerjaannya, menunggu kabar buruk tentang pelanggan yang sakit. Namun, sampai sore hari, tidak ada satu pun pelanggan yang mengeluh sakit perut, apalagi keracunan. Bahkan, kios itu semakin ramai dari biasanya.
Rendi bingung. Ia melihat para pelanggan lahap sekali menyantap bakso dengan kuah yang baru saja ia campur dengan racun.
‘Masa racunnya nggak mempan?’ pikir Rendi.
Di sisi lain, saat Rendi memasukkan bubuk ke dalam kuah, sebuah energi tak kasat mata menyelimuti panci kuah itu. Kuah bakso yang tadinya mendidih, tiba-tiba mengeluarkan uap yang sangat tebal, seolah ada sesuatu yang terbakar di dalamnya.
Saat bubuk racun itu menyentuh kuah, energi perlindungan gaib yang mengelilingi bisnis Aryan langsung bekerja. Racun itu lenyap seketika, diuapkan dan dinetralkan oleh kekuatan besar yang melindungi usaha Aryan. Kuah bakso itu pun kembali normal, bahkan terasa lebih gurih dari biasanya.
Perlindungan gaib yang diperoleh Aryan dari perjanjian gelapnya memang sempurna. Tidak hanya melindungi dari hukum (seperti kasus Santi), tetapi juga melindungi usahanya dari sabotase dan fitnah.
Malam harinya, Rendi melapor kepada Jarwo di tempat yang sama.
“Gagal, Bang. Saya sudah campur semua bubuknya. Tapi nggak ada yang sakit. Malah kiosnya makin ramai,” lapor Rendi dengan wajah putus asa.
Jarwo yang mendengar itu langsung geram. Ia menampar kepala Rendi.
“Gagal lagi?! Kalian ini kerjanya apa saja?! Jangan-jangan kamu bohong ya! Kamu nggak masukin racunnya!” bentak Jarwo.
“Sumpah, Bang! Saya sudah masukkan racunnya! Mungkin racunnya memang nggak ampuh,” bela Rendi, mencoba menutupi rasa takutnya.
Jarwo tidak percaya. Ia tahu, ada sesuatu yang aneh dengan Bakso Bang Aryan. Ia harus melaporkan kegagalan ini lagi kepada Pak Broto.
Sementara itu, Aryan yang sedang bersantai di rumah mewahnya bersama Rina, menerima telepon dari Jaka.
Jaka: Mas, barusan ada anak baru namanya Rendi. Dia tadi sempat di dapur pas kuah lagi mendidih. Kuahnya tadi sempat keluar uap aneh, tapi aman, Mas. Saya sudah amankan rekaman CCTV itu. Kelihatannya dia orangnya Pak Broto.
Tidak ada satupun karyawan yang tahu, Aryan memasang beberapa CCTV di semua tempat usahanya.
Aryan tersenyum di balik ponselnya. “Bagus, Jaka. Pastikan Rendi dipecat tanpa curiga. Jangan beri dia pesangon. Dan ingat, awasi Broto. Biarkan dia bermain kotor, sampai waktunya tiba.”
Aryan menyimpan ponselnya. Rina yang melihat suaminya tersenyum dengan cara yang aneh, mulai merasa ada yang disembunyikan.
“Siapa, Sayang? Kok senyum-senyum gitu?” tanya Rina penasaran.
Aryan menoleh ke Rina, memasang wajah santun dan senyum hangat. “Bukan siapa-siapa, Sayang. Cuma urusan bisnis. Ada karyawan baru yang nggak becus. Sudah, kamu nggak usah pusing. Mending kita nonton film ya.”
Rina mengangguk, tetapi ia tahu, suaminya semakin banyak menyimpan rahasia gelap di balik senyum manisnya.
---
Keesokan harinya, sesuai perintah Aryan, Rendi dipanggil oleh Kepala Koki, yang ditugaskan oleh Aryan, untuk mengelola cabang itu, ke kantor kecil di belakang kios.
“Rendi, maaf ya, kami harus memberhentikan kamu,” ujar Kepala Koki dengan nada menyesal. “Bukan karena kamu nggak bisa kerja, tapi sepertinya kerjaan ini memang belum cocok buat kamu. Kami lihat kamu kurang fokus.”
Rendi terkejut, namun ia sudah menduga ini akan terjadi. Ia mencoba melawan, tetapi Kepala Koki langsung memberikan sebuah amplop.
“Ini uang pesangon buat kamu. Ambil ini, semoga mendapat pekerjaan lain yang lebih cocok ya. Terima kasih sudah membantu kami,” kata Kepala Koki, menutup pembicaraan dengan sopan.
Rendi menerima uang itu, merasa sedikit lega karena mendapatkan pesangon, tetapi juga sangat takut. Ia tahu, kegagalannya pasti akan membuat Jarwo dan Pak Broto marah besar.
Tak lama setelah itu, Jarwo kembali melapor kepada Pak Broto di gudang tua mereka.
“Dia dipecat, Bos. Tapi dia dikasih pesangon. Dan hebatnya, semua pelanggan yang makan bakso waktu itu aman-aman saja,” lapor Jarwo.
Pak Broto tidak bisa menahan amarahnya lagi. Wajahnya memerah, urat-urat di lehernya menonjol.
“Gagal lagi?! Racun itu nggak mempan?! Anak itu pasti pakai cara lebih kotor dari kita!” teriak Pak Broto, menendang kursi besi hingga jatuh.
“Kami nggak tahu harus bagaimana lagi, Bos. Usaha Aryan sepertinya ada sesuatu yang melindungi,” kata Jarwo, suaranya bergetar.
Pak Broto menarik napas kasar, matanya menyala penuh kebencian. “Baik. Kalau cara halus nggak bisa, kita pakai cara yang paling kasar. Bakar! Bakar salah satu kiosnya sampai rata dengan tanah!”
Jarwo dan teman-temannya saling pandang. Mereka tahu, ini adalah tindak kriminal serius yang bisa membuat mereka masuk penjara.
“Bos, ini bahaya, Bos. Kalau ketahuan, kita bisa masuk penjara. Gimana kalau ada korban?” tanya Jarwo hati-hati.
“Gue nggak peduli! Lakukan malam ini! Cari kiosnya yang paling sepi dan pastikan nggak ada orang di sana. Gue mau lihat si Aryan menangis kehilangan usahanya! Ini perintah! Kalau kalian gagal lagi, kalian yang akan gue bakar hidup-hidup!” ancam Pak Broto, suaranya dingin dan menakutkan.
Malam harinya, Jarwo dan dua temannya mendatangi salah satu kios Bakso Bang Aryan yang sudah tutup dan berada di lokasi yang cukup sepi. Mereka membawa beberapa jerigen berisi bensin.
Mereka memastikan area sekitar benar-benar kosong.
Mereka berhasil masuk kedalam, mereka memanjat, dan membuka bagian atap kios itu, untuk jalan masuk mereka. Dengan cepat dan hati-hati, mereka menyiramkan bensin ke seluruh bagian dalam kios, terutama di dapur dan area kasir.
“Cepetan, Wo! Aku takut!” bisik salah satu teman Jarwo.
“Diam! Jangan sampai ada yang lihat!” balas Jarwo.
Setelah yakin bensin sudah menyebar, mereka keluar. Jarwo menyalakan korek api dan melemparkannya ke lantai kios.
Seketika, api besar berkobar. Api itu menjilat dengan cepat, memakan perabotan, meja, kursi, hingga bangunan kios itu sendiri. Asap tebal mengepul ke langit malam. Jarwo dan teman-temannya segera berlari menjauh, puas melihat hasil kerja mereka.
“Rasain kamu, Aryan! Selamat datang di neraka!” gumam Jarwo dengan napas terengah-engah.
Saat Jarwo dan kedua temannya sedang bersembunyi di balik sebuah gang kecil, memandangi api yang melahap habis kios Aryan, tiba-tiba suhu udara di sekitar mereka turun drastis. Udara menjadi dingin, mencekam, dan muncul bau tanah basah yang menyengat.
Tiba-tiba, di tengah api yang berkobar, muncul sesosok bayangan putih yang sangat tinggi, berdiri tegak di atas atap kios yang terbakar.
Sosok itu adalah Pocong yang sangat mengerikan. Kain kafannya lusuh dan hangus di beberapa bagian, tetapi matanya memancarkan cahaya merah menyala, menatap tajam ke arah Jarwo dan teman-temannya. Pocong itu terlihat marah, seolah keberadaannya terganggu oleh ulah mereka.
“ARRGHHH!”
Ketiga preman itu menjerit histeris. Mereka sudah biasa dengan kekerasan, tetapi bertemu dengan makhluk gaib yang tampak nyata di depan mata, itu adalah teror yang paling mengerikan.
“Lari! Itu pocong! Lari!” teriak Jarwo, langsung berlari kencang tanpa menoleh lagi.
Mereka berlari tanpa henti, meninggalkan api yang terus berkobar. Mereka tahu, mereka sudah mengganggu kekuatan yang sangat besar, kekuatan yang tidak bisa dilawan dengan senjata atau ancaman. Pocong itu adalah penjaga gaib usaha Aryan, dan Pocong itu sudah melihat wajah mereka.
Di rumah mewahnya, Aryan sedang tertidur pulas di samping Rina. Pukul 02.17 dinihari ponselnya berdering. Itu adalah panggilan dari Jaka.
Aryan segera bangun dan mengangkat teleponnya, berusaha agar Rina tidak terbangun.
Jaka: Mas Aryan, maaf saya ganggu. Kios yang di Depok, Mas... kiosnya terbakar habis. Ada yang sengaja membakar.
Wajah Aryan berubah tegang. Namun, ia kembali memasang nada suara yang tenang.
“Terbakar? Apa ada korban?” tanya Aryan.
Jaka: Nggak ada korban, Mas. Kosong. Tapi habis total. Teman-teman saya sudah di sana. Pelakunya, Saya yakin itu suruhan Broto.
Aryan menutup teleponnya. Ia memandang langit-langit kamarnya dengan mata dingin. Ia tidak kaget, karena ia tahu, api itu hanya menghancurkan bangunan fisik, bukan sumber rezekinya. Namun, ia harus segera memberikan pelajaran kepada Pak Broto.
‘Kamu sudah berani sentuh apa yang menjadi milikku, Broto. Tunggu saja balasan dariku,’ batin Aryan penuh dendam, ia kembali berbaring di sebelah Rina, kembali ke dalam topeng santunnya.