NovelToon NovelToon
Sugar Daddy?

Sugar Daddy?

Status: tamat
Genre:Nikahmuda / CEO / Mafia / Tamat
Popularitas:122
Nilai: 5
Nama Author: Mga_haothe8

Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Malam yang Tidak Direncanakan"

Mobil hitam itu melaju meninggalkan gedung pernikahan tanpa iring-iringan berlebihan.

Tidak ada klakson. Tidak ada lambaian tangan. Tidak ada sorak-sorai. Hanya lampu jalan yang memantul di kaca jendela, memecah malam menjadi garis-garis cahaya yang cepat berlalu.

Di kursi belakang, Alya duduk tegak dengan tangan terlipat di pangkuan.

Gaun putihnya sudah diganti dengan gaun sederhana berwarna krem, namun cincin itu masih ada di jarinya. Ia terus-menerus sadar akan keberadaannya—dingin, bulat, dan terasa asing. Setiap kali mobil melewati jalan bergelombang, cincin itu seolah mengingatkannya bahwa hari ini bukan mimpi yang bisa ia bangunkan diri darinya.

Zavian duduk di sampingnya.

Tidak terlalu dekat. Tidak terlalu jauh.

Jarak yang aman. Jarak orang-orang yang sama-sama tidak tahu harus bersikap bagaimana.

Sepanjang perjalanan, tidak ada percakapan.

Bukan karena tidak ada yang ingin dikatakan—justru karena terlalu banyak hal yang tidak tahu harus dimulai dari mana.

Alya menatap keluar jendela. Kota terlihat sama seperti biasanya. Lampu toko. Orang-orang yang berjalan cepat. Dunia berjalan normal, seolah tidak peduli bahwa hidup seseorang baru saja berubah secara drastis tanpa persetujuannya.

Zavian melirik sekilas ke arah Alya.

Ia terlihat tenang. Terlalu tenang untuk gadis seusianya. Itu bukan ketenangan yang ia harapkan—melainkan ketenangan yang sering ia lihat pada orang-orang yang memilih diam karena tidak punya ruang untuk berbicara.

Dan itu membuat dadanya terasa sedikit berat.

Hotel itu berdiri megah, menjulang dengan cahaya hangat yang menyambut dari kejauhan. Hotel yang sama yang sejak awal dipesan untuk malam pertama bersama Evelyn.

Nama itu melintas singkat di benaknya.

Zavian menepisnya.

Hari ini sudah cukup rumit tanpa menambah bayangan yang tidak hadir.

---

Kamar hotel itu luas.

Terlalu luas untuk dua orang yang bahkan tidak tahu bagaimana harus berdiri dalam satu ruangan tanpa merasa canggung.

Lampu temaram menyala otomatis. Tirai besar menutup jendela, menyisakan cahaya kota yang samar. Di tengah ruangan, tempat tidur besar dengan seprai putih rapi tampak seperti simbol yang terlalu berat untuk ditafsirkan.

Alya berhenti melangkah tepat di ambang pintu.

Ia berdiri di sana beberapa detik, seolah berharap ada seseorang yang akan mengatakan bahwa semua ini salah alamat, bahwa ia seharusnya tidak berada di sini.

Namun pintu tertutup perlahan di belakang mereka.

Klik.

Suara kecil itu terdengar terlalu keras.

Zavian meletakkan kunci kamar di meja dekat pintu. Ia melepas jasnya, menggantungnya dengan rapi di sandaran kursi, lalu berdiri tanpa bergerak sejenak—seolah mencoba menata pikirannya sebelum berbicara.

Alya masih berdiri.

“Duduklah,” kata Zavian akhirnya. Suaranya tenang, tidak memerintah. “Kamu pasti lelah.”

Alya mengangguk pelan, lalu duduk di sofa kecil dekat jendela. Tangannya kembali saling bertaut. Ia menunduk, menatap lantai karpet yang empuk.

Hening turun di antara mereka.

Hening yang berbeda dari hening di aula. Di sini, tidak ada ratusan pasang mata. Tidak ada kamera. Tidak ada keharusan untuk tersenyum.

Justru itu yang membuat segalanya terasa lebih sulit.

Zavian menarik napas dalam. “Alya.”

Ia mengangkat kepala.

“Yang terjadi hari ini… tidak seharusnya berlanjut sampai ke sini,” lanjutnya. “Kita akan menyelesaikannya dengan cara yang paling aman untukmu.”

Alya terdiam sejenak sebelum bertanya, pelan, hampir ragu, “Aman… bagaimana?”

Zavian berjalan mendekat, tapi berhenti beberapa langkah darinya. Ia tidak ingin membuat Alya merasa terpojok.

“Kita hanya akan bermalam di sini karena itu bagian dari rangkaian yang sudah diketahui semua orang,” katanya jujur. “Besok, aku akan pastikan kamu bisa kembali ke rumah tanpa ada tekanan lanjutan.”

Alya mengangguk, tapi ekspresinya tetap kosong.

“Kalau kamu tidak nyaman,” tambah Zavian cepat, “kamu bisa tidur di kamar lain. Aku akan minta pihak hotel menyiapkannya.”

Alya menggeleng pelan. “Tidak perlu.”

Zavian sedikit terkejut.

Alya mengangkat wajahnya. “Saya cuma… bingung.”

Itu kalimat paling jujur yang ia ucapkan malam itu.

Zavian menghela napas, lalu duduk di kursi berhadapan dengannya. Tidak terlalu dekat.

“Kita berdua sama-sama bingung,” katanya. “Perbedaannya, kamu tidak pernah diminta siap.”

Alya menunduk lagi. “Semua orang bilang ini cuma penampilan.”

“Bagi mereka, mungkin,” jawab Zavian. “Bagi kamu, aku tahu itu tidak sesederhana itu.”

Alya terdiam lama.

Kemudian, dengan suara hampir tak terdengar, ia bertanya, “Apa Pak juga… merasa ini salah?”

Pertanyaan itu menggantung.

Zavian tidak langsung menjawab.

Ia menatap lantai, lalu menatap tangan Alya—cincin itu masih ada di sana. Nama yang salah di tempat yang salah.

“Iya,” katanya akhirnya. “Ini salah.”

Satu kata itu membuat napas Alya sedikit tersendat. Bukan karena lega—melainkan karena akhirnya ada seseorang yang mengakuinya.

“Tapi,” lanjut Zavian, “kesalahan itu tidak akan aku biarkan jatuh sepenuhnya ke pundakmu.”

Alya menatapnya. “Bagaimana kalau besok orang-orang masih menganggap saya—”

“Kamu tidak akan menjadi apa pun yang tidak kamu pilih,” potong Zavian tegas. “Aku yang akan bicara. Aku yang akan menanggung akibatnya.”

Kata-kata itu terdengar berat. Nyata.

Alya mengangguk pelan.

Untuk pertama kalinya sejak pagi, bahunya sedikit mengendur.

---

Waktu berjalan lambat.

Alya membersihkan diri di kamar mandi lebih dulu. Ketika ia keluar, mengenakan piyama sederhana yang disediakan hotel, rambutnya masih sedikit basah. Ia tampak lebih muda—lebih seperti dirinya yang seharusnya.

Zavian berdiri di dekat jendela, punggung menghadapnya.

“Kamu bisa tidur di tempat tidur,” katanya tanpa menoleh. “Aku akan pakai sofa.”

Alya terkejut. “Pak—”

“Tidak ada perdebatan,” katanya lembut tapi tegas. “Ini bukan situasi yang seharusnya membuatmu merasa terikat apa pun.”

Alya mengangguk.

Ia naik ke tempat tidur dengan gerakan hati-hati, seolah takut membuat suara. Seprai putih itu terasa dingin di kulitnya. Ia berbaring miring, membelakangi ruangan.

Zavian berbaring di sofa, masih mengenakan kemeja. Lampu utama dimatikan, menyisakan lampu kecil di sudut ruangan.

Hening kembali turun.

Namun kali ini, tidak seberat sebelumnya.

“Alya,” suara Zavian terdengar dari arah sofa.

“Iya?”

“Kalau kamu menyesal tidak pergi dulu,” katanya pelan, “itu bukan kesalahanmu.”

Alya menelan ludah. “Saya tidak tahu harus pergi ke mana.”

Jawaban itu sederhana. Dan menyakitkan.

Zavian memejamkan mata sejenak. “Aku akan memastikan kamu punya pilihan ke depan.”

Tidak ada janji besar. Tidak ada kata-kata manis.

Tapi untuk Alya, kalimat itu cukup untuk membuat matanya terasa panas.

“Terima kasih,” bisiknya.

Malam itu, tidak ada yang benar-benar tidur nyenyak.

Alya terbangun beberapa kali, mendengar suara napas Zavian yang teratur dari sofa. Setiap kali ia terbangun, ia mengingat kembali satu hal yang sama: ia berada di kamar hotel, mengenakan cincin yang bukan miliknya, setelah sebuah pernikahan yang tidak ia pilih.

Dan Zavian, di sisi lain ruangan, menatap langit-langit dalam gelap.

Sedikit kecewa—pada keadaan, pada orang-orang yang pergi, dan pada dirinya sendiri karena membiarkan Alya terseret sejauh ini.

Malam pertama itu berlalu tanpa sentuhan, tanpa janji tambahan, tanpa kepastian.

Hanya dua orang yang sama-sama terjebak dalam satu peristiwa yang terlalu besar untuk mereka pahami sepenuhnya.

Dan ketika fajar mulai menyelinap masuk di balik tirai, satu hal menjadi jelas bagi mereka berdua:

Hari ini mungkin telah selesai.

Tapi konsekuensi dari malam ini—

baru saja dimulai.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!