Ashilla, seorang buruh pabrik, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga demi menutupi utang judi ayahnya. Di balik penampilannya yang tangguh, ia menyimpan luka fisik dan batin akibat kekerasan di rumah. Setiap hari ia berjuang menembus shift pagi dan malam, panas maupun hujan, hanya untuk melihat gajinya habis tak bersisa.
Di tengah kelelahan, Ashilla menemukan sandaran pada Rifal, rekan kerjanya yang peduli. Namun, ia juga mencari pelarian di sebuah gudang kosong untuk merokok dan menyendiri—hal yang memicu konflik tajam dengan Reyhan, kakak laki-lakinya yang sudah mapan namun lepas tangan dari masalah keluarga.
Kisah ini mengikuti perjuangan Ashilla menentukan batas antara bakti dan harga diri. Ia harus memilih: terus menjadi korban demi kebahagiaan ibunya, atau berhenti menjadi "mesin uang" dan mencari kebebasannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MissSHalalalal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3 : AKU BUKAN SAMPAH!
Langkahku terasa berat, seolah debu dari gudang kosong itu ikut menempel di tulang-tulang ku. Di belakang, tawa sinis Andra masih terngiang, berbaur dengan kepulan asap yang baru saja kutinggalkan.
Tawa itu hampa, sama hampa nya dengan janji-janji "kebebasan" yang dia tawarkan. Aku harus keluar. Bukan hanya keluar dari gedung tua itu, tapi keluar dari lingkaran setan yang mencekik leherku setiap hari.
Aku berhenti sejenak di depan gerbang rumah yang catnya sudah mengelupas. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menjernihkan paru-paru dari sisa tembakau murahan. Jemariku yang gemetar merapikan rambut, mengusap bekas air mata yang mengering, dan memasang kembali masker kainku.
Di balik kain ini, aku harus menjadi Ashilla yang biasa: si pekerja keras yang patuh, si anak yang bisa diandalkan, dan si mesin uang yang tak punya emosi.
Aku mendorong pintu perlahan. Engselnya berderit, memecah kesunyian yang ganjil.
"Ibu?" panggilku. Suaraku parau, tertelan oleh ruang tamu yang temaram.
Tak ada sahutan. Aku melangkah ke dapur, berharap melihat punggung Ibu yang sibuk di depan kompor. Kosong. Aku mengintip ke kamar orang tuaku. Sprei kusut dan bantal yang berserakan di lantai adalah sisa-sisa badai semalam. Ayah tidak ada. Ibu juga tidak ada.
Cemas mulai merambat di dadaku seperti semak berduri. Biasanya, setelah Ayah melayangkan tangan atau botol ke arahnya, Ibu akan meringkuk di sudut tempat tidur, membiarkan waktu menyembuhkan lebamnya. Jika dia tidak ada, ke mana dia pergi dengan wajah yang mungkin masih
membiru?
"Ashilla."
Suara itu datang dari sudut ruang tamu yang gelap. Aku tersentak, jantungku seakan melompat ke tenggorokan.
Di sana, di sofa tua yang pegasnya sudah menonjol keluar, duduk Reyhan. Kakak laki-lakiku. Penampilannya kontras dengan rumah ini. Kemeja rapi, rambut klimis, dan sebuah tablet mahal di tangannya. Dia sudah setahun menikah dan hidup mapan di kota, namun belakangan ini dia sering muncul secara mendadak. Kedatangannya tak pernah membawa bantuan; dia datang seperti auditor yang siap mencari kesalahan di setiap sudut rumah.
"Sudah jam berapa ini? Shift malammu berakhir dua jam yang lalu," ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar tablet. Nada bicaranya adalah interogasi yang dibungkus dengan ketenangan palsu.
"Aku... ada urusan sebentar, Mas. Beli keperluan di depan," jawabku sambil buru-buru menaruh tas di rak, mencoba menghindari kontak mata.
Reyhan meletakkan tabletnya. Dia berdiri perlahan, postur tubuhnya yang tegap mendominasi ruangan yang sempit itu. "Ibu di rumah Bu RT. Ayah? Entahlah, mungkin sedang mencari mangsa baru untuk meminjamkan uang judi."
Dia melangkah mendekat. Aku bisa mencium aroma parfum high-end miliknya—aroma kesuksesan yang egois. Dia berhenti tepat di depanku, matanya yang tajam menelusuri setiap inci wajahku hingga terpaku pada masker yang ku kenakan.
"Lepas maskermu," perintahnya dingin.
"Aku lagi flu, Mas—"
"Lepas, Ashilla."
Dengan tangan gemetar, aku menarik tali masker itu.
Begitu kain itu turun, Reyhan mendengus rendah. Matanya berkilat penuh penghinaan. "Kamu pikir aku bodoh? Aku bisa mencium bau asap rokok yang menusuk ini dari jarak dua meter. Bukan cuma di bajumu, tapi di napas mu."
"Aku mampir di warung tadi, banyak orang merokok—"
"Cukup!" bentaknya, suaranya menggelegar menghantam dinding-dinding rumah yang rapuh. "Jangan jadikan dirimu lebih rendah dengan berbohong. Aku tahu kamu sering ke gudang itu. Aku tahu kamu bergaul dengan Andra dan sampah-sampah masyarakat lainnya. Kamu mau jadi apa? Perempuan murahan yang menghabiskan waktu di tempat sampah?"
Kata "sampah" itu memicu sesuatu di dalam dadaku. Sesuatu yang selama ini ku pendam rapat-rapat di bawah tumpukan tagihan utang dan memar di tubuh Ibu.
"Aku bukan sampah," desis ku.
"Lalu apa? Orang benar tidak akan pulang jam segini dengan bau seperti itu! Kamu bekerja keras, Ashilla, tapi untuk apa kalau ujung-ujungnya kamu merusak diri?"
Amarahku meledak. Rasa lelah karena kurang tidur dan tekanan batin selama berbulan-bulan meluap seketika. Aku melangkah maju, menantang tatapannya.
"Merusak diri? Mas bicara soal merusak diri?" suaraku meninggi, bergetar karena emosi.
"Mas pikir kenapa aku ada di gudang itu? Karena rumah ini bukan rumah! Ini neraka! Mas enak, setelah menikah Mas bisa angkat kaki dan pura-pura lupa kalau kita punya Ayah yang kecanduan judi!"
Reyhan mencoba memotong, tapi aku belum selesai.
"Gajiku, Mas... gaji yang Mas bilang harusnya buat masa depanku itu, semuanya habis buat bayar utang judi Ayah yang Mas tinggalkan begitu saja! Mas kuliah, Mas sukses, itu karena aku yang berhenti sekolah lebih awal buat bantu Ibu! Dan sekarang, Mas punya keberanian buat menghakimiku soal dua batang rokok yang ku gunakan hanya agar aku tidak gila?"
Wajah Reyhan memias. Ada kilat rasa bersalah yang melintas di matanya, namun egonya sebagai anak tertua jauh lebih besar. Dia mengepalkan tangan, mencoba mendapatkan kembali kendalinya.
"Itu tanggung jawabmu sebagai anak yang tinggal di sini! Aku sudah menjalankan bagianku dulu, aku membiayai mu sampai lulus SMA!" balasnya sengit. "Itu bukan alasan untuk menjadi liar. Kalau kamu mau keluar dari masalah, cari jalan yang benar, bukan malah lari ke laki-laki brengsek seperti Andra."
"Jalan yang benar yang mana, Mas? Jalan yang Mas tempuh? Pergi dari sini dan mengirim pesan lewat WhatsApp hanya untuk menceramahi tanpa pernah mengirim uang sepeser pun untuk obat Ibu?"
Aku menunjuk ke arah kamar orang tua kami. "Semalam Ayah memukul Ibu lagi. Sangat keras. Di mana Mas saat itu? Oh, aku lupa, Mas sedang sibuk dengan kehidupan baru yang 'bersih' di kota."
Keheningan yang mencekam jatuh di antara kami. Reyhan terdiam, rahangnya mengeras. Dia tidak punya jawaban, atau mungkin dia terlalu sombong untuk mengakuinya. Dia kembali ke sofa, mengambil tabletnya dengan gerakan kasar seolah-olah percakapan ini telah selesai dan dia adalah pemenangnya.
"Mandi sekarang," katanya tanpa melihatku.
"Bersihkan bau busuk itu. Kalau Ibu pulang, jangan sampai dia melihat anak perempuannya terlihat seperti berandalan. Aku tidak mau dia semakin menderita karena melihat kelakuanmu."
Aku berdiri mematung di tengah ruangan. Kata "berandalan" itu terasa lebih sakit daripada tamparan Ayah. Aku yang menopang atap ini agar tidak rubuh, aku yang membasuh luka Ibu setiap malam, dan sekarang aku dicap sebagai perusak nama baik keluarga oleh orang yang melarikan diri dari tanggung jawabnya.
Aku berbalik tanpa kata, berjalan menuju kamar mandi dengan langkah yang tak lagi cepat, melainkan berat oleh beban kebencian yang baru. Di bawah guyuran air dingin nanti, aku tahu bau asap itu mungkin hilang.
Namun, rasa sakit, kekecewaan, dan dendam yang membakar di dalam hatiku membutuhkan lebih dari sekadar air untuk padam.
Aku harus pergi dari sini. Aku harus menemukan jalanku sendiri, sebelum rumah ini benar-benar meruntuhkan ku hingga menjadi abu.
...****************...
Bersambung...
wah ga mati ini cuma pergi ma lelaki lain ,,