Hati Nadia pecah berkeping-keping mendengar Asri, sang ibu mertua menyuruh Arkan untuk menikah lagi didepan matanya.
"Kamu kan, juga butuh penerus untuk usahamu. Kalau Bilqis kan, beda. tetap saja bukan darah dagingmu, keponakanmu ya selamanya begitu."
Percakapan di meja makan tiga minggu lalu itu masih jelas terpatri di benak Nadia.
Meski sang suami selalu membela dengan berkata bahwa pernikahan itu bukan tentang ada dan tidaknya keturunan didalamnya, melainkan tentang komitmen dua orang untuk selalu bersama dalam suka dan duka.
Hingga suatu malam Nadia menemukan sesuatu di dalam telepon genggam Arkan. Sesuatu yang membuat dunia Nadia runtuh seketika.
Apa yang Nadia temukan? Lalu bagaimana Nadia menyikapinya?
Lalu bagaimana dengan Dio, yang muncul tiba-tiba dengan segudang rahasia gelap dari masa lalu nya? Mungkinkah mereka saling menabur racun diatas hama? Atau justru saling jatuh cinta?
Ikuti kisah mereka, dalam Kau Berikan Madu, Maka Ku Berikan Racun. 🔥🔥🔥
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jee Ulya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia Gelap Ayu
Ayu terbangun, ia tidak menemukan cahaya apapun di sekitarnya. Semuanya gelap. Bahkan gorden yang biasanya mempertontonkan cahaya langit masuk pun juga tertutup rapat.
Ayu merasakan ada yang memeluknya dari belakang seperti biasa, tetapi tidak dengan aroma spicy yang tidak biasa melekat pada tubuh Arkan.
"Sudah bangun, Sayang?" suara lembut itu meluncur di telinganya, ada nada dingin yang menusuk.
Ia tau kehangatan itu familiar, tetapi bukan Arkan.
"Aaa..." Ayu mencoba melepaskan pelukan di pinggangnya, tetapi kedua tangannya terikat sesuatu, "siapa, kamu?!" suaranya pecah.
Lelaki itu berhenti sejenak, menatapnya dari belakang.
"Aku hanya..." suaranya pendek tapi intens, "kangen mungkin? Sama anakku."
Ayu menelan ludah, kata itu menusuk. Anak? Ia hampir lupa kapan terakhir kali disebut begitu. Ia tahu betul siapa yang dimaksud, tiba-tiba perutnya terasa berat. Seolah menyimpan luka yang ingin ia buang, tetapi tidak bisa.
Masih dalam kegelapan. Lelaki itu melepas pelukan. Lalu melangkah pelan memutari Ayu, dengan gerakan presisi, Ia berjongkok tepat dihadapan perut Ayu. Tangannya tetap tenang namun menuntut perhatian penuh.
"Halo... Apa kabar?" ucapnya lembut, nyaris menenangkan. Tapi, dibalik tatapan itu ada ketegangan yang tajam, menuntut kepatuhan.
Ayu menahan napas, sekuat tenaga ia mencoba tenang. Tetapi bulu kuduknya meremang.
"Kenapa datang kesini?!" teriaknya parau, mencoba menyalurkan keberanian.
"Untuk..." suaranya begitu lembut dan menusuk, "menagih utang?" lanjutnya sembari menarik tuas lampu meja.
Sejurus kemudian pandangan Ayu yang terang dapat melihat, sosok rupawan di depannya. Siapa sangka, orang se-innocent itu bisa membuat siapapun tertekan saat mengalami masalah dengannya.
"Lep-lepas. Lepaskan aku," Ayu semakin terintimidasi.
"Ingat, Ayu! Utangmu lima milyar kepadaku." Ia menjadi sosok yang berbeda, mencengkeram keras rahang Ayu hanya dengan satu tangan. Matanya melotot hampir keluar dari kelopaknya.
Ayu terdiam, tidak berani menatapnya. Hanya degupan jantungnya saja yang semakin berpacu cepat.
"Jadi..." lelaki itu kembali menjadi lembut seperti semula, "kamu harus jaga buah cinta kita, dengan sungguh-sungguh, Sayang." lanjutnya sambil melepaskan dasi bermotif yang mengikat tangan kedua tangan Ayu, dengan hati-hati.
Kemudian lelaki itu meniup lembut bekas kemerahan yang muncul di pergelangan tangan itu.
Lagi-lagi Ayu hanya diam. Tatapannya kosong.
Lelaki itu kemudian mengambil dua buah plester luka dari saku celananya, menyobeknya lalu memasangkan pada kedua luka Ayu.
Setelah merapikan dasinya kembali, ia berniat pergi dari sana. Langkahnya sempat terhenti, ada jeda singkat disana,
"Ah aku lupa..." dia kembali dari pintu, mengecup bibir Ayu sebentar. Tidak agresif, namun ada dominasi dan keintiman yang membuat Ayu terpaku.
"Jangan lupa... Mandi wajib, ya. Terimakasih untuk yang tadi." lembutnya mengacak-acak rambutnya, gerakannya nyaris seperti ritual. lalu benar-benar pergi menghilang dibalik gelapnya malam.
"Dia, bukan anakmu." lirihnya tak yakin pada kekosongan.
Sisa malam tertelan begitu saja, menyisakan kabut tipis pada awan diatas sana. Semua orang kembali beraktifitas, seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Sendok makan saling berdenting, kepulan asap dari secangkir kopi, juga dahak-dahak menyeramkan dari kamar mandi bapak-bapak seakan meramaikan dunia pagi itu.
Seperti halnya dirumah sakit, antrean panjang mengular menunggu jadwal poli buka pada pukul 08.00, juga orang-orang yang masuk lebih dulu melalui jalur orang dalam.
Nadia mengantar Asri, sang mertua satu-satunya, untuk kontrol Migrainnya uang masih sering kambuh. Ia melakukannya seperti tak pernah terjadi caci maki diantara mereka.
Ia menunggu di taman bermain anak. Hari Jumat, Hari libur bagi Taman Kanak Kanak Bilqis.
"Halo keponakan lucunya, Om." sapa Dio pada Bilqis. Ia mensejajarkan tinggi dengan jongkok dihadapannya.
Dio tidak hanya bekerja untuk Serenity Maternity Center, tetapi ia juga praktek sebagai dokter di rumah sakit besar lainnya. Jadi wajar, jika ia bisa tiba-tiba muncul di arena play ground.
Apalagi tugasnya sebagai dokter kandungan, poli tempat ia berjaga seringnya dekat dengan arena anak-anak.
"Haii, Om Dokter," sapa ramah gadis kecil itu.
Nadia tersenyum hangat mengamati.
"Sini!" Dio mengajak Bilqis untuk mendekatinya. Ia berbisik setelahnya.
Mata bulat Bilqis membulat lucu, kepalanya mengangguk kecil setelah mendengar bisikkannya.
"Makasih, Om Dokter." sejurus kemudian kecupan manis mendarat di pipi dokter itu.
Dio mematung, pipinya memerah hingga telinga. Ada desiran aneh yang menjalar di dadanya. Hangat yang aneh. Ini kali pertama Ia dicium seorang anak kecil.
"Mama, kata Om Dokter..." mulut kecil itu segera ia beri tanda dengan jari.
"Ssstt," bocah itu meniru gerakan Dio, lalu diam-diam menyembunyikan sekotak coklat dibalik badannya.
Nadia yang pura-pura tidak mendengar, seolah tidak tahu perbuatan keduanya.
"Hayoo, apa itu yang kalian sembunyikan..." kejarnya ingin menangkap putri kecilnya, tetapi Bilqis sudah lebih dulu lari menjauh.
Ia membiarkannya pergi, hatinya menghangat.
"Ngapain, disini?" Dio menyapa. Aroma citrus lembut menyentuh indera keduanya.
"Emang boleh, dokter pakai parfum?" Nadia menginterupsi.
"Ah, kecium, ya?" Dio mencium lengan juga kerah snelinya, "hidungmu kuat juga," ia tersenyum kecil.
Nadia terkekeh kecil.
"Nganterin Mama, chek up." jawabnya kemudian.
"Oh, kamu masih baik, ya." ujar dio penuh arti, mencari manik mata lawan bicaranya.
"Ha?..." kening Nadia berkerut halus, "Maksudmu?" Ia sedikit menegang, menyadari sesuatu.
"Hm... nggak papa kok. Bunga mawarnya mekar cantik, ya. Biasanya juga ada lavender dibawahnya, entahlah, mungkin sudah mati" ucap Dio tiba-tiba menunjuk mawar merah jambu, yang sedang mekar cantik merambat diatas pergola taman.
Nadia menoleh kearah dio penuh curiga. 'Benar, sepertinya dia tahu sesuatu,' batinnya dalam hati.
"Lavender gampang mati kalau nggak dirawat," lanjut Dio tanpa menoleh. Ia menatap kearah papan nama dokter jaga. "apalagi kalau terlalu sering kena bayangan." Nada suaranya datar, tetapi ada banyak hal yang dia sembunyikan.
"Aku nggak ngerti kamu ngomong apa," Nadia mencoba tertawa ringan, tetapi nada suaranya kering. Terlalu kaku untuk terdengar wajar.
"Ah... Iya, kamu kan bukan tipe orang yang suka tanaman." ucap Dio tersenyum. Pandangan nya akhirnya beralih pada Nadia, menembus terlalu dalam, seolah sedang menyingkap sesuatu yang ia kubur dalam-dalam.
"Cuma... Hati-hati aja, Nad. Kadang yang kita pikir sudah kering, bisa tumbuh lagi... Kalau disirami orang yang salah."
Suara strobo memekakkan telinga dari arah UGD memecah keheningan mereka. Bilqis setengah berlari menggenggam coklat yang tinggal separuh itu ditangannya,
"Mamaaa... Coklatnya diambil itu," tunjuknya pada seorang anak laki-laki diatas mainan kuda.
Nadia menunduk, membantu membersihkan lelehan coklat ditangannya. Ia menunduk, tidak lagi berani menatap Dio lagi. Ia tahu, ada sesuatu dalam kalimat barusan. Sesuatu yang tidak seharusnya seorangpun tahu selain dirinya dan dua orang busuk itu.
"Besok om belikan lagi, jangan bilang Mama, ya?" Dio melangkah mundur, membenarkan jasnya. "salam buat Arkan," katanya ringan seolah basa-basi biasa.
Namun gerakan Nadia terhenti, ia meremas tisu kotor yang digenggamnya.
Dio sempat berhenti di ujung taman, menatap mawar merah muda yang berayun pelan ditiup angin. Bibirnya melengkung samar,
"Cantik sekali, ya... tanpa duri."
jangnlah dulu di matiin itu si ayunya Thor..Lom terkuak Lo itu kebusukan dia ..biar tmbh kejang2 itu si asri sama Arkan kalo tau belang ayu..
dengan itu sudah membuktikan..kalo ternyata ayu bukan hamil anak arkah..hahahahahahahaha..sakno Kowe..