Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.
Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.
"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keheningan yang Menghukum
Dunia Indira Safitri terasa sunyi, bukan karena tidak ada suara, tetapi karena suara yang paling ia tunggu-tunggu telah dimatikan. Sudah tiga hari sejak Ayahku, menyita ponselku dan mengirim pesan perpisahan pada Revan Elias Nugraha. Tiga hari tanpa notifikasi, tanpa senyum, tanpa kode rahasia yang dulu menjadi napas hubunganku.
Pagi, siang, dan malam terasa sama: hampa. Aku menjalani rutinitas seperti robot. Bangun, Sholat, kuliah, pulang. Di kampus, aku sengaja menghindari Neli dan Imel. Aku tahu mereka mengkhawatirkan ku, tapi aku tidak sanggup menerima pertanyaan atau tatapan kasihan mereka. Mereka tahu seluruh kerumitan hubungan ini, dan kini, aku merasa terlalu malu dan bersalah karena telah menyebabkan kehancuran ini.
Kekosongan itu paling terasa setiap kali aku duduk sendiri.
Aku merindukan cara Revan menyapa. Aku merindukan chat pagi yang selalu berisi kutipan penyemangat, dan pesan malam yang berisi janji untuk terus berjuang. Kini, yang ada hanyalah kekosongan di saku celanaku, tempat ponselku biasa bersarang. Kekosongan itu terasa seperti lubang hitam yang menghisap semua energiku.
Di rumah, Bunda Fatma mencoba menjadi penyeimbang. Beliau tidak pernah lagi membahas soal Revan, seolah-olah nama itu dilarang. Bunda sering membuatkan makanan kesukaanku dan menemaniku di ruang TV, tapi tatapan Bunda selalu penuh perhatian—sebuah pengawasan lembut yang membuatku semakin sulit bernapas.
"Kamu harus makan, Nak. Jangan begini," ujar Bunda suatu sore, saat aku hanya mengaduk-aduk makanan di piring.
"Aku tidak lapar, Bun," jawabku pelan.
"Bukan tidak lapar, Nak. Kamu sedang berduka. Duka karena kehilangan harapan," kata Bunda, nadanya lembut tapi menusuk. "Tapi kamu harus ingat, imanmu tidak boleh ikut berduka. Jika kamu terus menyiksa diri begini, Ayahmu akan semakin yakin bahwa keputusannya benar."
Kata-kata Bunda memang benar. Aku sedang berduka, berduka atas kematian sebuah janji.
Proses duka itu terasa unik karena tidak bisa dilakukan secara terbuka. Aku tidak bisa menangis meraung-raung di kamar. Aku tidak bisa berbagi rasa sakitku.
Setiap kali aku melintas di gerbang kampus, aku teringat mobil silver Revan.
Setiap kali aku melihat pasangan kekasih berjalan bergandengan, aku teringat kehormatan Revan yang tidak pernah menyentuhku, sebuah batasan fisik yang justru menjadi bukti betapa murninya cintanya padaku.
Setiap kali aku sholat, aku teringat Revan. Aku bertanya-tanya, apakah saat ini dia sedang sholat di kapel kampusnya, apakah dia sedang memegang kalung salibnya, dan apakah dia menerima keputusan Ayahku.
Kerudung yang kukenakan kini terasa lebih berat. Ia bukan lagi simbol keimanan yang kucintai, melainkan simbol perpisahan yang menyakitkan.
Suatu malam, aku nekat mengambil ponsel Bunda saat Bunda tertidur pulas. Jantungku berdebar kencang, penuh rasa bersalah dan adrenalin. Aku hanya punya waktu lima menit.
Aku membuka kontak, mencari nama Revan, dan mengirim pesan singkat yang bodoh:
Aku (melalui Ponsel Bunda): Van? Kamu baik-baik saja?
Aku menekan tombol kirim. Kemudian, aku cepat-cepat menghapus jejak pesan itu dan meletakkan ponsel Bunda kembali.
Aku menunggu. Aku menunggu dengan perasaan antara berharap dan takut. Hanya lima menit kemudian, ponsel Bunda bergetar sekali lagi. Aku segera mengambilnya, takut Bunda terbangun.
Nomor Tidak Dikenal: Indira. Jangan hubungi aku lagi. Om Bimo benar. Maaf.
Aku tahu itu adalah Revan. Hanya dia yang akan memanggil Ayahku "Om Bimo" dengan rasa hormat seperti itu. Dia mungkin menggunakan ponsel temannya atau email sekali pakai, hanya untuk membalas pesanku dan menegaskan bahwa dia mengikuti keputusan Ayah.
Pesan singkat itu merobek sisa harapan terakhirku. Revan telah melepaskan tali hubungan kami, bukan karena dia berhenti mencintaiku, tetapi karena dia menghormati Garis Batas Keyakinan yang ditarik oleh Ayahku. Kehormatan Revan yang dulu kunilai sebagai kekuatan kini menjadi penghukum ku.
Aku menghapus pesan itu dan kembali ke tempat tidur, menangis dalam diam. Sekarang, tidak ada lagi harapan. Ponselku mati. Kontakku terputus. Dan hatiku, kini benar-benar kosong.
Kini, aku harus belajar untuk hidup dalam keheningan yang menghukum ini, sambil menanti apa langkah selanjutnya yang akan diambil Ayahku untuk memastikan aku tidak lagi kembali pada cinta yang terlarang.